Chapter 2.5 : Dibalik Kenyataan

76 21 18
                                    

Bagiku ... perang adalah sebuah adat.

Adat di mana dua kubu saling beradu senjata untuk menumpahkan cat merah.

Adat di mana sebuah tarian penghantar nyawa terus dilaksanakan.

Adat di mana milliyaran nyawa tak berdosa melayang akibat setetes kesalahan dari pemerintahnya.

Hanya demi sebuah kekuasan, iming-iming keadilan terus mereka tipukan. Hanya demi keangkuhan, dosa-dosa berani mereka emban. Hanya demi kekayaan, sebuah nyawa rela mereka jual. Hanya demi serintih ego, beragam nyawa diterbangan dengan menyisakan sebidang luka.

Karena hal seperti itulah ... kebencian ini, tak pernah hilang dari dalam diriku.

Dari buku sejarah yang akhir-akhir ini kubaca, terdapat seorang wanita memakai topi laksamana bersurai perak panjang membawa sebuah busur di tangannya pernah berkata. “Perang itu tidak akan pernah berubah, kapan pun zamannya.”

Benar sekali, pertumpahan darah tersebut, tidak akan berubah kapan pun zamannya, di mana pun tempatnya. Semuanya tetap mengarah ke hal yang sama seperti sebelumnya. Terus berulang-ulang terjadi kapan pun waktunya.

Meski begitu, dengan bodohnya mereka terus mengulangi 'adat' tersebut bak sebuah rantai makanan.

Akibat berbagai kenaifan itu. Mereka 'Manusia' akhirnya terjerumus ke jurang kegelapan berabad-abad lamanya.

Sampai ketika Sang Pencipta marah lalu menurunkan hukuman pertamanya.

Tepat di malam tahun baru 2027, First Armageddon pun terjadi. Sebuah peristiwa aneh seketika menenggelamkam seluruh daratan yang ada di bumi. Alhasil, manusia kehilangan akses penuh terhadap jalur daratnya. Perekonomian makro mereka pun akhirnya lumpuh total bak sebuah buku harian yang hangus terbakar. Belum lagi hadirnya musuh-musuh baru yang jauh lebih kuat, membuat mereka terkurung dalam keterpurukan.

Meski begitu, makhluk yang dinamakan 'Manusia' ini tetap berusaha berdiri dengan sok gagahnya. Membangun kota-kota mereka kembali, membangun negara-negara mereka kembali, membangun pertahanan mereka kembali demi berkuasa dengan membual sebuah kebebasan lalu menentang hukum Sang Pencipta.

Orang yang baru mengenal lingkungan sepertiku, tak akan pernah mengerti pemikiran mereka.

Lagi pula, apa 'kebebasan' yang mereka maksud itu?

Di kala aku terus memikirkan hal tersebut, sebuah terpaan angin sejuk menusuk seluruh tubuhku yang kini tengah berdiri di atap sekolah memandangi matahari terbenam.

Dibalik pagar besi setinggi 3cm dari orang dewasa ini, aku bisa melihat dengan jelas betapa luasnya lautan dunia yang indahnya bagai permata tak bisa digapai. Ditambah matahari yang mulai tergelincir pada porosnya, membuat pantulan dari muka air laut bak sebuah bintang yang berkilauan.

“Padahal lautan ini hanyalah 'bekas' dari hukuman Sang Pencipta. Tapi ... kenapa bisa seindah ini?” lirihku.

Untuk sesaat, mataku sedikit berbinar memandanginya.

“Apa mereka memilih 'kebebasan' ... hanya untuk melindungi pemandangan ini?”

Wuush!!

Lagi-lagi angin sejuk ini kembali menusuk seluruh tubuhku. Jika terus begini, mungkin aku akan sakit. Apa sebaiknya aku pulang? Padahal pemandangan lautan ini cukup menenangkan pikiran, sangat disayangkan jika ditinggalkan. Lagi pula, tujuan utamaku datang ke sini bukan untuk memandangi lautan, melainkan menunggu seseorang. Dan lebih dari setengah jam sudah berlalu dari waktu yang dijanjikan, tapi orang yang ditunggu tersebut tak juga datang.

Sebenarnya bagiku ini cukup mengesalkan, tapi mau gimana lagi, aku sudah sepakat dengannya untuk bertemu di sini. Lagi pula, sepertinya ia tahu sesuatu tentang 'itu', jadi mana mungkin aku membiarkannya begitu saja.

Last Period : Struggle Of Future WizardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang