Rasa gugup menggerogoti Donghyuck tanpa henti. Mark telah merencanakan apa yang akan mereka lakukan ketika di hotel nanti, sehingga beberapa bungkus kondom sudah siap terbeli.
Suara kuncian pintu kamarnya membuat Donghyuck berkeringat. Ia melihat Mark yang berjalan lewat, mendekat menuju ranjang. Pria itu terlihat santai dari sisi mana pun, seolah melakukan hal intim bukanlah sesuatu yang begitu memusingkan. Sementara Donghyuck, ia harus menahan diri agar tidak pingsan setiap waktu.
Mark duduk di sisi ranjang. Dengan santai melepas mantel, sepatu dan kaus kaki. Ia kemudian mendongak, menatap Donghyuck yang masih memperhatikan dari lorong masuk. "Kau tidak mau melepas baju?"
Saat itulah Donghyuck tersadar hingga berkedip beberapa kali. "Ah, benar." Ia berjalan masuk semakin jauh, berdiri di dekat lemari dan mulai menanggali pakaian satu demi satu.
Donghyuck sudah pernah melakukan kegiatan seks sebelum ini, dimulai sejak hubungannya berakhir dengan Mark. Namun ia bersumpah kali ini jantungnya siap meledak. Gairah dan sensasi yang dirasakan sangat berbeda dengan pasangan kencan semalam yang dulu selalu ia lakukan. Bahkan, tangan yang berusaha melepas kancing kemeja sampai gemetaran.
Mark bergerak mendekat. Dengan bertelanjang dada, ia menahan tangan Donghyuck yang bergetar, membuat lelaki itu mendongak padanya. Mark menunduk, membalas tatapan itu lewat pandang menenangkan, berusaha membuat si lelaki tenang. Tangannya dengan terampil membuka seluruh kancing kemeja Donghyuck, menyingkap perlahan-lahan, mengeskpos dada dan perut polos dengan puting kecokelatan yang mulai menegang. Mark turut melepas celana lelaki itu hingga jatuh ke mata kaki. Donghyuck masih menatap Mark, terlalu malu untuk menunduk dan memandang tubuh telanjangnya sendiri.
Mark menyeringai. "Kau terlihat tegang untuk ukuran orang yang sering melakukan seks, Donghyuck."
"Memangnya dengan melakukan berkali-kali akan menjaminmu untuk tak gugup?" lelaki itu berbisik, yang mana langsung disambut ciuman oleh Mark.
Mata saling terpejam, melumat bibir satu sama lain. Telapak tangan kasar milik Mark mulai membelai tubuh telanjang Donghyuck, sementara lelaki itu meraih leher sang lawan, memeluknya dan menarik diri semakin dekat.
Mark menuntun mereka bergerak menuju ranjang, masih dengan bibir yang bertautan, serta lidah yang membelai tiap batas kewarasan. Suara kecipak tak mampu dihindari, berikut udara panas yang menguar, mengabaikan hujan deras di luar sana.
Donghyuck dibaringkan perlahan ke atas ranjang, diperhatikan dan diperlakukan sangat baik oleh Mark. Sebuah bantal diletakkan di bawah kepala, sedang sebuah lagi mengganjal bawah pinggang, berusaha memberi posisi senyaman mungkin. Donghyuck yang diperlakukan semanis dan setelaten itu merasa meleleh. Ia menarik Mark agar kembali mendekat, menyatukan bibir dengan telapak tangan mengusap perut atletis milik pria itu.
Mark tak tinggal diam, jari-jemari turut menyusuri tubuh Donghyuck, mulai dari belaian di area leher, sesaat sebelum bergerak turun menuju dada. Donghyuck tersentak ketika Mark membelai ujung putingnya. Ciuman terlepas, menciptakan benang saliva, dan lelaki yang belum puas menghirup udara itu sudah harus kembali merasa sesak lantaran Mark yang menurunkan ciuman menuju perpotongan lehernya, bersama tangan kasar yang masih membelai puting telanjang. Donghyuck meregam rambut pria itu, mata sayunya terpejam, menikmati sentuhan penuh ketelatenan.
Bisikan demi bisikan lembut tak selesai dilantunkan. Mark membuat Donghyuck mengawang ke langit ketujuh. Sentuhan dan kata-kata manis serta perlakuan penuh penghormatan; segalanya sempurna bagi Donghyuck. Entah sudah berapa lama ia mendambakan hal seperti ini untuk dilakukan bersama Mark.
Mark memberi ciuman turun menuju dada. Lidah bertugas membelai puting kecokelatan, sementara tangan sudah mencapai perut dan terus bergerak turun, meraih kejantanan Donghyuck. Lelaki itu mendesah nikmat, kaki mulai bergerak gelisah, dengan ujung-ujung alis yang saling bertautan. Tangan mencari tumpuan, yang satu memegang rambut Mark, sedang yang lain meremas ujung bantal di bawah kepala. Tak jarang bibir bawah turut ia gigit; apa pun hal yang sekira mampu meredam rasa nikmat berlebih.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] I Met You When I was 18 #B-Side [Bahasa]
Fanfiction[SUDAH TERBIT] Selanjutnya, ini bukan kisah tentang orang ketiga sebagaimana badai yang menerpa mereka sebelumnya, bukan pula masalah pertentangan orang tua. Ini hanya soal kematangan sukma, ini hanya soal kematangan atma, yang 'kan jadi tolok ukur...