Ini adalah hari keberangkatan Mark dan Donghyuck ke Paris, Prancis, untuk menghadiri Chief Editor Forum selama tiga hari. Hanya berdua.
Pagi itu, Donghyuck sudah di bandara dengan Jeno yang mengantar. Ia masih merasa resah, perihal Jeno yang tak ikut terbang bersamanya, membuat ini merupakan perjalanan bisnis pertama tanpa pemuda itu. Bersama Mark pula. Apa yang lebih absurd dari ini semua?
"Santailah, Hyuck. Semua bakal baik-baik saja."
"Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan dan mempermalukan perusahaan kita?"
Jeno terkekeh. "Untuk seorang pekerja keras sepertimu, cukup aneh jika melihatmu pesimis begini. Sekarang ingat, pernahkah sepanjang karier memimpin divisi peninjauan, kau melakukan kesalahan? Yang ada divisi itu berkembang dan menjadi divisi contoh di perusahaan kita. Kau akan melakukan hal baik di sana."
Donghyuck mengembuskan napas berat. "Dengan konsekuensi aku punya pemberontak di mana-mana. Menyebalkan."
"Kau terlalu keras, sih," gumam Jeno namun Donghyuck tak mendengar. "Lagi pula, di mana bocah itu?"
"Entahlah. Bagaimana bisa sekretaris lebih terlambat dari bosnya."
"Sebenarnya ... kita memang datang lebih awal, sih."
"Tutup mulut, Jeno."
Pria itu hanya manggut-manggut, memaklumi sifat kawan sekaligus bos super menyebalkannya.
Tak lama setelah perbincangan itu, sosok yang ditunggu-tunggu datang. Menyeret koper bersama seorang wanita yang bergelayut mesra di lengannya. Mark tiba di hadapan Donghyuck dan Jeno dengan senyuman lebar, sementara dua orang itu menyambut tanpa suara selain angguk sapaan.
"Apa aku sangat terlambat?" tanya Mark, lalu melirik jam tangan. "Kupikir kita janjian datang jam 9? Sekarang baru 8.45."
"Tidak. Kami memang datang terlalu pagi," jawab Jeno.
"Sebaiknya bergegas," kata Donghyuck tiba-tiba. "Pesawat berangkat setengah jam lagi."
"Ah, benar," Mark menimpali. Ia menoleh pada wanita yang mengantarnya, Mina; orang yang tak pernah Donghyuck suka. "Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik, oke?"
Mina mengangguk. "Jangan lupa, selalu hubungi aku."
"Pasti."
Donghyuck muak akan interaksi pasangan itu. Bagaimana tatapan Mark pada Mina, cara bicaranya, dan interaksi-interaksi lain yang membuat hati Donghyuck berdenyut-denyut tak suka. Jeno yang seolah menyadari kekesalannya pun melirikkan mata pada Donghyuck, mendapati putaran mata malas dari lelaki itu.
"Jeno, aku berangkat. Jaga kantor baik-baik."
"Tentu."
"Jangan ada gosip baru lagi."
"Ooh, aku tidak bisa jamin."
"Sialan." Donghyuck mendengus, namun Jeno menyeringai. Lelaki itu menarik koper menuju ruang tunggu, meninggalkan Mark yang masih bercakap-cakap dengan kekasihnya. Kekasih yang bukanlah ia, melainkan yang lainnya.
Mark yang ditinggalkan lantas panik. Ia mempercepat pembicaraan dengan Mina dan mengecup pipi wanita itu sekilas sebelum menarik koper dan berlari di belakang Donghyuck. "Bos!"
:::
Perjalanan dari Seoul ke Paris memakan waktu kurang lebih dua belas jam. Melewati waktu itu, dengan pelayanan khusus kelas bisnis yang mengesankan, Donghyuck punya dua pilihan; mengerjakan beberapa pekerjaan atau tidur. Tidak ada Jeno yang bisa diajak bicara, dan dengan keberadaan Mark di dekatnya, membuat ia semakin tak bisa berlaku benar (Donghyuck jelas tidak bisa berbincang-bincang dengan pria itu meski ia mau). Rasa gengsi lebih besar dari segalanya, belum lagi kekesalan akibat adegan semalam dan di bandara tadi.
"Donghyuck." Tanpa diduga, Mark berpindah tempat ke sampingnya, menggagalkan niat Donghyuck yang ingin tidur selama beberapa jam ke depan. Lelaki itu terpaksa menaruh atensi pada si pria, masih dengan wajah datar serta tatapan mata tegas; citra yang sudah melekat sejak lima tahun lalu.
"Apa?"
"Perjalanan bakal lama dan aku tidak mau bosan sendiri. Jadi, ayo ngobrol." Mark nyengir.
"Aku sibuk," respons Donghyuck malas.
"O ya?"
"Aku mau tidur."
"Oh ...." Mark mengedikkan bahu. "Oke, kalau begitu. Akan kulakukan hal lain."
Entah kenapa Donghyuck malah merasa bersalah. Ia merasa bagai ialah si pengganggu suasana, walau faktanya Mark-lah yang menggagalkan rencana tidurnya. Melihat wajah lesu pria itu membuat Donghyuck mendesahkan napas berat. "Oke, baiklah. Apa yang ingin kau lakukan? Aku bisa menahan kantuk hanya satu jam. Cepat."
Mark menyeringai. "Kau berusaha menyenangkanku?"
"Cepatlah ketika kuberi kesempatan! Jangan melunjak."
"Oke, oke." Mark tertawa, dengan kedua telapak tangan yang diangkat ke depan dada. "Banyak yang kulewatkan darimu selama lima tahun ini, Donghyuck. Jadi, kenapa kita tidak berusaha memperbaiki hubungan? Kau jadi sangat berbeda, aku nyaris tidak mengenalmu."
"Jadi, apa itu masalah? Lagi pula, kita tidak punya alasan untuk tetap akrab setelah itu."
"Yah, sekarang kita punya alasan. Kita rekan kerja, ingat?"
"Kalau begitu, tetap di tempatmu. Rekan kerja punya batasan, ingat?"
Mark mendesah. "Bagaimana kalau aku ingin lebih dari sekadar rekan kerja?"
Donghyuck tersentak mendengar kalimat itu, membuatnya dengan cepat menatap ke arah Mark.
"Aku ingin kita berteman baik, sebagaimana hal itu belum terjadi. Tidak bisa? Lagi pula, kau tidak perlu terus marah padaku jika kenyataannya kaulah yang meninggalkanku, menyudahi hubungan kita tanpa sepatah kata pun."
Donghyuck memalingkan muka ke arah jendela. "Tidak usah mengungkit masa lalu."
"Nah, bahkan sekarang pun kau tidak memberi kesempatan buatku tahu. Patutkah kau mendendam selama ini padaku yang bahkan tak tahu apa pun?"
"Kubilang cukup, Mark. Atau pergi sajalah. Aku mau tidur."
"Maaf." Mark akhirnya menyerah. "Jadi, kau bahagia sekarang?" tanyanya.
"Tentu."
"Kulihat kau makin galak daripada dulu."
"Yah!" Donghyuck merungut sedangkan Mark tertawa.
"Tidak apa-apa. Itulah Lee Donghyuck. Aku suka."
Kalimat itu membuat Donghyuck tidak bisa berpikir benar. Dadanya sontak bertalu, membuatnya berdeham untuk menetralkan rasa. "Kulihat kau juga langgeng dengan pacarmu."
"Yah ...." Mark menggaruk tengkuk. "Sudah kurang lebih lima tahun sekarang."
"Kau bahagia?"
"Itu ... akuㅡya, aku bahagia." Mark menjawab ragu, pandangan teralihkan.
"Kau mengambil langkah cepat setelah perpisahan kita, ternyata."
"Kau pun juga." Mark menyeringai, kembali menatap Donghyuck. "Kau mendahuluiku dalam merintis karier. Kini kau jadi orang terpandang, sedang aku hanyalah bawahan."
Donghyuck mendengus. "Kau iri?"
"Sedikit."
Mereka kemudian sama-sama tertawa.
"Apa pernah ada yang berusaha masuk lagi, Donghyuck? Setelah perpisahan kita. Berusaha membahagiakanmu, tentunya."
"Ada," jawab Donghyuck cepat. "Jeno. Dia selalu berusaha memacariku. Tapi aku tidak bisa. Bukan karena tidak menyukainya. Hanya saja ... ada beberapa alasan personal untukku agar tak melakukan itu."
Mark angguk-angguk mengerti. "Dan ... apa sekarang kau tidak memikirkan hal seperti itu lagi?"
"Kupikir tidak. Aku sudah cukup sibuk dengan pekerjaan dan jelas tidak ada waktu untuk tetek bengek macam itu."
"Baiklah ...." Mark mendesah pasrah.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] I Met You When I was 18 #B-Side [Bahasa]
Fanfiction[SUDAH TERBIT] Selanjutnya, ini bukan kisah tentang orang ketiga sebagaimana badai yang menerpa mereka sebelumnya, bukan pula masalah pertentangan orang tua. Ini hanya soal kematangan sukma, ini hanya soal kematangan atma, yang 'kan jadi tolok ukur...