9 :: Paranoid

1.7K 291 15
                                    

Entah mau berapa kali berpikir, bahkan hingga berputar tujuh keliling, Donghyuck tahu ini tidaklah benar. Ia dan Mark sudah berakhirㅡialah yang mengusulkan hal itu dulu, maka tidak ada arti baiknya untuk menganggap bahwa segala hal yang Mark lakukan untuknya adalah afeksi merujuk pada romansa. Pria itu hanya bersikap selayak sekretaris, menyediakan bantuan ini-itu yang memang sudah masuk dalam kontrak perjanjian. Maka, Donghyuck berusaha membuat diri tak larut begitu jauh dalam angan halusinasi yang menyerempet akal sehat. Semua tidaklah benar! Termasuk dengan ide perusahaan yang mengatur mereka untuk berbagi kamar.

Donghyuck menekan dahi yang berdenyut frustasi. Memang untuk kasus-kasus sebelumnya, Donghyuck tidak akan mempermasalahkan hal ini. Dulu, sekretaris Donghyuck adalah seorang perempuan, maka perusahaan mengakomodasi dua kamar tidur, di mana ia harus berbagi dengan Jeno waktu itu. Semua tidak masalah, memang begitu cara kerjanya. Namun ketika hal ini harus diterapkan bersama Mark, Donghyuck tahu itu bukan hal waras. Maka dalam keadaan lelah dan jet lag, Donghyuck terpaksa mengurus segalanya, memesan kamar yang lain sedang kamar akomodasi perusahaan diserahkan untuk Mark. Pria itu sempat heran sebab terdapat dua ranjang berukuran cukup besar di kamarnya. Namun wajah masam Donghyuck membuat ia mengurungkan niat untuk berceloteh.

Tubuh lelah langsung dibuang ke ranjang begitu Donghyuck mendapat kartu kamarnya. Ia mendesah lelah, punggung terasa pegal sebab menghabiskan kurang lebih dua belas jam dalam pesawat dan satu jam dari bandara menuju hotel. Ia ingin segera tidur. Besok siang adalah jadwal pertemuan itu, tepatnya di aula hotel ini. Maka Donghyuck memutuskan bangkit dan mandi, menghapus jejak-jejak perjalanan dari tubuh beserta rasa jet lag dan langsung tidur di balik selimut hangat tanpa peduli makan malam.

:::

Mark mengusak rambut basah dengan handuk di sebelah tangan. Tubuhnya terbalut kaus putih oblong dengan celana pendek sepanjang lutut. Ia berjalan cepat keluar dari kamar mandi dan meraih ponsel yang berdering sedari tadi, menunjukkan foto Mina yang berkedip-kedip di layar; sang kekasih menelepon.

"Babe?"

[Hai, Mark.] Suara Mina terdengar lesu di seberang sana, dan Mark jelas mengerti penyebabnya. Seoul memiliki perputaran waktu lebih cepat delapan jam dibanding Paris, dan apabila saat ini pukul setengah enam sore di Paris, maka Seoul telah menunjukkan pukul setengah dua pagi.

"Kenapa menelepon? Tidak tidur?" Pria itu mendudukkan diri di salah satu ranjang empuk di kamar tersebut.

Dengusan manja terdengar di seberang sana, [Aku mau tahu kabarmu. Di sana pasti waktunya makan malam. Aku sengaja memasang alarm supaya bisa mengingatkanmu agar tak melewatkan makan malam seperti yang terkadang kau lakukan.]

Mark terkekeh. "Maaf karena membuatmu terbangun di tengah malam. Ya, aku pasti akan makan. Mungkin sebentar lagi. Kau lanjut tidur saja. Aku baik-baik saja di sini."

[Ya sudah. Omong-omong, bosmu tidak membuat masalah, kan? Dia tidak menyulitkanmu, kan?]

"Tidak, tenang saja."

[Baiklah kalau begitu. Selamat malam.]

"Selamat malam. Lanjutlah tidur."

[Aku mencintaimu.]

Mark terkekeh, "Ya, aku juga, Mina."

Waktu menunjukkan pukul enam malam, waktunya makan malam. Mark bergegas memakai pakaian layak, sebelum akhirnya menuju kamar Donghyuck dan mengajak lelaki itu makan bersama. Namun, entah sudah berapa kali mengetuk pintu, Donghyuck tak juga memberi respons.

Mark berdiri sejak beberapa menit lalu di depan pintu kamar Donghyuck, di samping kamar inapnya sendiri, namun pria itu tak mendapat jawaban berarti. Mark juga tidak bisa mendengar suara-suara dari dalam. Ia lantas memutuskan meninggalkan Donghyuck dan makan malam sendiri di restoran hotel; tampaknya memang harus belajar mengenal tempat ini seorang diri. Lagi pula, apa yang ia harap dari Donghyuck? Lelaki itu memang orang yang sama, namun entah mengapa juga terasa berbeda. Mark tak mau ambil pusing, memilih menikmati makan malam. Mengisi perut keroncongan dan memulihkan tenaga dari rasa lelah sebelum membuang diri ke kasur dan membangkitkan energi untuk acara besok siang. Ia yakin akan banyak tenaga yang harus dikuras untuk mengawal Donghyuck sepanjang acara itu.

:::

Pagi menjelang. Setelah mandi dan rapi, Mark kembali mendatangi kamar Donghyuck. Saat ini menunjukkan pukul delapan, dan ia berencana mengajak lelaki itu sarapan bersama setelah sebelumnya tidak bisa.

Pintu kamar terbuka setelah tiga kali ketukan, hanya untuk Mark menerima jawaban bahwa: "Aku sudah sarapan lebih dulu."

Mark mengernyit. "Kenapa kau tidak memanggilku? Aku sudah bangun dari jam 7 tadi."

Donghyuck berkedip sambil sedikit memiringkan kepala. "Ada apa? Aku tidak ingat ada aturan harus memanggilmu sebelum makan atau sebaliknya dalam kontrak kerjamu. Jadi kupikir itu tidak masalah."

Mark mengembuskan napas berat. "Ya, terserah sajalah."

Entah karena pengaruh lelah dari perjalanan atau karena sikap Donghyuck pagi ini, Mark jadi membawa perasaan dongkol ke tempat makan. Hidangan sarapan lezat khas Paris terpaksa tak berhasil memanjakan lidah. Tenggorokan seolah tersendat, perut pun bergejolak, menolak makan. Mark jadi tidak berselera sama sekali.

Bukan perkataan seperti itu yang Mark harap keluar dari mulut Donghyuck. Ia kira dengan percakapan cukup dekat mereka di pesawat, tembok es milik Donghyuck yang memisahkan mereka akan mencair perlahan-lahan. Nyatanya, tembok itu berubah semakin kokoh, diperkuat oleh embusan angin es kencang yang membawa putaran-putaran keping salju. Mark habis kesabaran. Entah kenapa ia kini setuju akan pendapat para pegawai perusahaan, bahwa Donghyuck tak lebih dari seorang atasan kaku yang egois dan semau sendiri. Sesosok monster tanpa hati.

Namun, tanpa sepenuhnya Mark sadari, sejak menolak ajakan sarapan itu, Donghyuck melamun, diam di kamar. Laptop menyala tak lagi disentuhnya. Pandangan hanya menatap kosong, seolah memikirkan suatu hal abstrak sulit terangkai. Ada sedikit rasa bersalah terhadap Mark, namun perasaan keras lebih dominan. Dan setiap Donghyuck merasa goyah, ia berusaha menggali dendam masa lalu dalam-dalam, menjadikannya bahan bakar atas perasaan benci terhadap pria itu. Donghyuck hanya tidak mau hatinya yang belum benar-benar kuat menerima segala sikap baik Mark secara gamblang. Ia bisa jatuh cinta dengan mudah, dan menjadi pihak paling sakit hati di akhirnya. Sebab, bagaimanapun atau sebesar apa pun ia menyukai Mark, ia tetap tidak bisa mendapatkan pria itu. Tidak selama Mina masih ada. Tidak selama kenangan mengenai fakta masih melekat kuat di kepala. Yang tidak pernah menghasilkan rasa lain selain was-was dan paranoid.

Ia hanya takut jatuh kepada Mark. Lagi.[]

[✓] I Met You When I was 18 #B-Side [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang