Sejak kejadian tadi, Leva memutuskan untuk pulang kerumahnya, begitupun dengan yang lain. Waktu mereka tidak akan cukup jika dipaksakan untuk latihan karena perdebatan tadi.
Dev menaikan alisnya, "Kok jam segini udah pulang, kenapa?" tegurnya saat melihat Leva membuka pintu rumah dengan keadaan kesal.
Leva mengabaikan teguran Dev, moodnya sedang tidak berniat untuk menjawab. Ia berjalan kedapur untuk mengambil segelas air minum. Lalu menaiki tangga menuju kamarnya.
Dev menggelengkan kepala seketika saat melihat sikap adiknya yang tiba-tiba berubah. Leva tidak mau langsung membicarakan masalah yang sedang dihadapi, apalagi menyelesaikan hal tersebut.
***
Setelah mengistirahatkan dirinya beberapa jam, Leva terbangun seketika karena cacing diperutnya sudah tidak bisa menahan kelaparannya. Entah mengapa disaat seperti ini ia sangat ingin memakan sate padang. Dengan terpaksa, Leva harus mengelilingi seluruh jalanan kota untuk menyelesaikan masalah perutnya. Namun sayang, tidak ada satu tusuk sate pun yang masih tersisa. Semua habis terjual. Mengapa? Ya, tidak akan ada jika ia mencarinya ditengah malam gini.
Dan akhirnya ia menyerah. Leva memutuskan untuk membeli makanan di sebuah minimarket yang letaknya tidak jauh dari rumah. Tidak mungkin ia pulang begitu saja dengan tangan kosong. Lalu bagaimana nasib supir taksi yang mengantarnya? Mungkin jika supir tersebut berani mengeluh, ia akan berucap : Maaf, daritadi saya ngaterin adek keliling ujung-ujungnya cuman ke minimarket?
Ya mau gimana lagi pak, tadi bapak sendiri liat kan ga ada abang sate yang masih buka? Balas Leva membela dirinya.
Leva berjalan dilorong tempat makanan. Ia melihat lihat apa yang ingin ia beli untuk makan malamnya.
Mie instan. Ya, makanan sejuta umat. Ia sudah terlanjur mendorong troli belanja. Padahal hanya beberapa saja yang masuk kedalam sana. Daripada tidak sama sekali, Leva mengambil berbagai rasa baru dari mie intan tersebut. Akward sekali bukan. Mungkin jika Dev tau, sudah pasti ia akan kena marah. Stok dirumah masih ada, kenapa harus membelinya lagi?
Mengingat Dev diotaknya, ia lupa sesuatu. Leva pergi keluar rumah tanpa sepengetahuan abangnya. Bagaimana jika saat ini Dev sedang menunggunya didepan ruang tv, lalu menguncinya dikamar saat ia kembali? Banyak hal negatif lainnya yang muncul seketika.
Leva menjadi sedikit terburu-buru untuk meraih barang yang ingin ia beli. Namun disaat seperti ini, suara seseorang menghentikan aktivitasnya.
"Ngapain tengah malem disini? Laper? Butuh bantuan ngga?"
Leva menengok kesumber suara tersebut, lalu membulatkan matanya sempurna. Ia tidak menyangka akan adanya makhluk tampan berjalan menghampirinya.
"Kak Daffa? Kok bisa disini?" Sial. Leva ke-gap berada diminimarket tengah malam gini.
Laki-laki itu mendengus, "Tengah malem gini sendirian aja?" Tanyanya lagi.
"Gatau tiba-tiba kebangun, trus laper aja sih," Leva menunjukan jajaran giginya dengan kaku. Oh God! Ia terlihat salah tingkah.
Daffa tersenyum melihat gelagat Leva. Kemudian matanya bergerak mencari sesuatu. "Dev mana? Saya anterin ya, gabaik cewe malem-malem gini sendirian," tawarnya saat tidak melihat Dev disamping Leva.
"Eh gausah Kak, ngerepotin. Lagian juga deket, Leva bisa naik taksi nanti. Duluan ya,"
Mampus, bisa gawat kalo sampe gue pulang bareng dia. Batinnya.
Leva ingin berlalu, namun tangannya ditahan dengan cekalan pelan yang Daffa berikan.
"Sama saya aja, nanti saya yang bilang ke Dev. Ayo," Tanpa persetujuan, Daffa menarik tangannya menuju kasir. Setelah membayar, mereka langsung masuk kedalam mobil. Keheningan dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Levan
Teen FictionLeva tidak bisa menanggung masalahnya sendiri, ia selalu menghindari hal tersebut, apalagi turut dalam penyelesaian-nya. Bagaimana ia bisa tersandung dalam masalahnya? Mengapa ia memiliki kebahagiaan pada circle yang sama? *** Alvan harus rela memut...