HALAMAN 19 : Kenyataan

9 2 0
                                    

Leva telah sampai dirumah setelah akhirnya mau diantar oleh Lulu dan Donna. Meskipun hadir perdebatan kecil diantara mereka.


Saat ia membuka pintu rumah, sesosok laki-laki dengan tubuh tinggi tegap berdiri disebelah sofa, menatap fokus pada ponsel yang ia pegang ditangannya. Laki-laki tersebut memakai kaos polos dan celana pendek yang membuat dirinya terlihat santai.

"Kamu baru pulang? Asik banget kayaknya latihan disana," ujar orang tersebut sambil menyimpan ponselnya kedalam kantong celana.

"Abang mau kemana? Bukan nya- .." Ucapan Leva terpotong ketika ia melihat sebuah baju yang Dev ambil dari bangku sofa, lalu dimasukannya kedalam tas.

Ia baru ingat jika acara besok, futsal pun diadakan sebagai pertandingan utama

"Ayo Dev," ajak seseorang yang baru saja datang dan berdiri ditengah pintu rumah miliknya.

Leva segera membalikan badan untuk melihat siapa manusia yang berdir dipintu rumahnya saat ini.

"Elo? Kok bisa disini?" Leva membuka sedikit mulutnya. Ia bingung dengan kedatangan Alvan yang membawa bola futsal dilengannya.

"Kalau ada apa-apa telpon aja. Abang jalan dulu," pamit Dev sambil mengusap kepala Leva lalu berjalan keluar rumah.

"Abang, tapi Leva kan udah-" Leva mengerutkan dahinya saat Alvan menatapnya sekilas. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah untuknya.

Leva membiarkan Dev pergi. Ia berjalan kedapur untuk mengambil segelas air lalu meneguknya perlahan.

Leva berpikir, seharusnya ia tidak membiarkan Alvan dekat dengan Dev dari awal. Karena bukan hanya osis yang membuat mereka sangat dekat, namun Alvan dan Dev juga berada dalam satu team diekskulnya. Mengapa ia baru sadar sekarang, setelah hampir dua tahun lamanya ia satu sekolah dengan abangnya.

Leva tidak mau Dev sama seperti dulu, menghabiskan waktu luang hanya dengan bermain futsal saja, walaupun sekarang Dev lebih mengurangi latihannya.

Karena pada kenyataan nya, ia tidak suka futsal, mungkin bisa sangat tidak suka dengannya. Terlalu melelahkan jika dijelaskan. Leva tidak ingin lagi memikirkan apapun, hal tersebut hanya akan membuat masalahnya muncul seketika.

Matanya melayang menyapu meja makan. Ia sudah lapar sejak selesai latihan tadi. Leva kecewa karena hanya ada piring kosong yang diletakan disana. Dengan terpaksa, ia harus meninggalkan rumahnya untuk membeli makan malam nya. Dikulkasnya pun tidak tersedia bahan masakan untuk ia masak. Roti dan selai tidak membuat perutnya kenyang.

Leva mengendarai mobil Dev keluar dari rumahnya membiarkan menyusuri jalanan. Abangnya itu sengaja meninggalkan mobilnya agar Leva dapat memakainya jika keadaan mendesak. Mungkin Dev lebih memilih untuk bersama Alvan.

Leva melipir sebentar ke minimarket untuk membeli beberapa persediaan bahan masak yang tidak ada dirumahnya. Kemudian ia kembali pada tujuan awal. Setelah mendapatkan tempat untuk makan malam, Leva langsung memesan salah satu hidangan yang ada dilembar menu restoran tersebut.

"Ramen karinya dan lemon tea nya satu. Untuk minuman nya jangan terlalu manis ya," pinta Leva ditambah dengan minuman favorit nya.

Sambil menunggu pesanan nya datang, Leva membuka ponsel untuk mengecek sosial media miliknya.

Tiga menit kemudian, ramen beserta lemon tea nya datang. Ia segera menghabiskan semua hidangan yang ada didepannya.

Tingg .. Notif handphone nya berbunyi.

Devaza Pahlevi
Kamu dimana? Gapapa?

Levara Agatha
Lagi beli makan diluar

Leva memutar matanya. Ia bosan dengan pesan yang selalu Dev berikan tentang kondisi nya saat Leva tidak bersama nya. Jika Dev merasa tidak aman dengan keadaan sekitar, mengapa ia pergi meninggalkan Leva sendirian dirumah? Aneh-aneh saja.

***

"Kapten kita dateng nih sama mantan nya," goda Rayhan pada Alvan yang melirik tajam kerahnya.

"Eh, mantan kapten maksudnya. Santai dong, jangan langsung emosi," ralatnya sambil memukul bahu Alvan. Dev hanya tertawa melihat Rayhan yang menggoda Alvan. Mungkin Alvan menjadi sangat sensitif jika berbicara tentang mantan.

Memang, jika kata mantan terucap, hal tersebut akan menarik perhatian siapapun. Kata tersebut menyimpan banyak makna dan cerita dibaliknya. Karena dari mantan, kita dapat mengetahui sisi baik dan buruknya kita.

"Udah pada siap semua kan, langsung pemanasan aja, gue mau ganti baju dulu," Dev berjalan keruang team nya untuk mengganti pakaian nya.

Latihan malam ini dipimpin oleh Dev karena besok adalah pertandingan terakhirnya. Alvan sebagai kapten dari teamnya pun menyetujui hal tersebut. Tidak mungkin ia menolak, karena yang memberi jabatan nya sebagai kapten adalah Dev yang lebih senior darinya. Mungkin Dev tidak akan sering latihan lagi seperti ini. Ia akan sibuk dengan tugas dimata kuliahnya nanti.

Dev mengambil minum ditas. Ia sedikit terkejut melihat seseorang yang sedang duduk santai diluar lapangan futsal. Orang tersebut pun menghampirinya.

"Gimana kabar Leva, baik kan?" Tanyanya dengan wajah penasaran.

Dev menelan air minumnya, "Udah puas ngebuat dia menjauh dari lo?" sarkas Dev. Ia ingin memberi sedikit pelajaran pada seseorang yang baru menanyakan kabar adiknya saat ini.

"Dev, gue perlu ngomong sama lo,"

Dev mengalihkan pandangan-nya kebelakang, semua anggota team futsal berjalan menghampirinya, "Gue tunggu besok jam 5 sore ditempat biasa." Ujar Dev menyelesaikan obrolannya. Ia tidak mau ada yang mendengar penjelasan Revan selain mereka berdua. Sebenarnya ia tau apa yang akan Revan jelaskan kepadanya.

"Kapan lo pulang kerumah lagi?" Akhirnya Revan melihat kembali adiknya yang sempat menghindari ia beberapa minggu ini.

Alvan tidak menyangka dengan hadirnya Revan disini. Ia hanya tersenyum simpul melihat Kakaknya yang sudah lebih baik dari sebelumnya, seperti yang dikatakan oleh mamanya saat itu.

"Iya nanti gue usahain kesana," ujar Alvan seadanya.

"Revan, lo kesini sama siapa? Udah sehat?" Tanya Karel yang baru saja datang sambil mengelap keringatnya lalu memperhatikan kaki Revan.

"Gue kesini sendiri, tadi Caca sih ngomongnya mau nyusul," Revan melirik Alvan sekilas, lalu mendengus.

"Ini berkat kalian yang selalu jenguk gue sebulan sekali, jadi sembuhnya baru sekarang," lanjutnya menyindir. Sudah hampir setahun lebih lamanya ia hanya dirumah aja dengan keadaan tidak begitu baik.

"Wah parah lo Rev. Seharusnya lo masih bersyukur dijenguk ama kita-kita," sarkas Karel.

"Tau nih, gimana kalau lo dijenguk malaikat maut kemaren, ajal urusan nya bro," tambah Rayhan.

"Idih, iya-iya haha, ini aja masih rada pincang gue," Revan bergidik ngeri mendengar ucapan Rayhan, ia memang harus menuruti ucapan mereka.

"Gue ke toilet duluan, ganti baju," ucap Alvan singkat.

Ia masih tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Kedatangan orang yang ia sayangi bersama orang lain, terlalu menyakitkan untuk dirasakan. Namun Alvan mencoba untuk tidak larut dalam hal itu. Semua akan berubah seiring berjalan nya waktu, kapan saja. Ia hanya ingin menikmati saat-saat ini.

***

Vote and comment for support me. Keep reading and waiting for the next chapter! Thank u!

***

LevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang