Setelah kepergian Dev. Mata keduanya—Leva dan Alvan saling bertemu tatap. Entah apa yang membuat mereka seperti ini. Mungkin ada yang ingin disampaikan satu sama lain?
Tatapannya langsung Leva alihkan terlebih dahulu. Ia tidak mau terjadi suatu ikatan diantara mereka. Bahunya sedikit bergidik membayangkan itu semua.
"Ini rumah lo?"
Agar tidak terlalu hening karena hanya berdua saja, Leva memutuskan untuk berbasa-basi dengan makhluk rege disampingnya saat ini.
Ia menyenderkan kepalanya dibahu sofa, menerima perlakuan Dev dengan berat hati.
"Cuman buat selingan gue aja," Alvan mulai menyalakan playstation ditelevisi miliknya.
"Maksud lo?" Seketika menengok menatap wajah Alvan. Ia tidak mengerti dengan ucapan tadi.
"Kalau lagi ada masalah aja gue kesini," Matanya menatap televisi, tangannya tidak lepas dari stick ps-nya.
Ya, sebenarnya ini bukan rumah milik Alvan. Karena yang membeli rumah ini bukan Alvan. Mamanya memberikan rumah sederhana ini hanya untuk peralihan dari masalahnya. Hanya mamanya seorang yang dapat mengerti jalan pikiran Alvan.
Lalu mengapa tidak menginap dirumah teman? Alvan merasa tidak enak jika harus mengambil keputusan tersebut, karena ada saatnya ia butuh menyendiri dan tidak ingin diganggu oleh orang lain. Hanya disinilah yang bisa membuat dirinya sedikit tenang dengan desain warna bernuansa hijau disetiap sudutnya.
Leva tidak tau harus melakukan apa disana. Ia masih berada pada posisi tadi, mencoba melihat Alvan yang mulai asik pada permainannya.
"Eh, gue laper deh, cari makan yu,"
Hening. Lama tidak mendapat jawaban, Leva sudah tidak tahan, ia sedikit jail untuk mengancam Alvan.
"Yaudah, gue mau pulang naik taksi aja, bye."
Namun niatnya menjadi serius, karena tidak ada kepedulian dari sang empunya. Leva langsung mengambil tas dan memakai sepatu yang sempat ia lepas tadi. Kemudian berjalan keluar dari rumah tersebut.
"Bentar elah, ngambekan banget sih lo jadi cewe,"
Akhirnya Alvan segera menaruh stik ps-nya dilantai dan langsung mengambil kunci mobil miliknya yang berada diatas meja, lalu menyusul Leva.
Masih sama. Perjalanan mereka lagi-lagi dilanda keheningan, hanya ditemani dengan suara radio dan langit malam.
"Mau makan apa?" Alvan membuka pembicaraan. Mereka sudah sampai ditempat jajaran makanmalam.
"Ga ada siomay ya?" Matanya menyapu gerobak yang ada disana. Penghilatannya kurang maksimal karena mereka masih berada didalam mobil, tidak langsung mengelilingi tempat tersebut.
"Makan malam, bukan pengganjal," Alvan melirik Leva sekilas. Kalau ia beli siomay, sama saja ia tidak makan malam. Aneh-aneh saja perempuan ini.
"Ya gue maunya itu," Leva kembali dengan ekspresi kesal saat Alvan kembali menancapkan gas. Tangannya dilipat didepan dada.
Namun tidak ia sangka, Alvan memberhentikan mobilnya didepan gerobak siomay.
"Sana," Alvan menyuruh Leva agar membeli makanan tersebut, walau tadi sempat ia larang.
Leva mengangkat bibirnya, memberikan senyuman manis untuk Alvan, dan baru saat ini. Alvan yang melihatnya pun ikut tersenyum.
"Lo mau beli apa?" Leva mencoba menawarkan sebelum membuka pintu mobil disampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Levan
Teen FictionLeva tidak bisa menanggung masalahnya sendiri, ia selalu menghindari hal tersebut, apalagi turut dalam penyelesaian-nya. Bagaimana ia bisa tersandung dalam masalahnya? Mengapa ia memiliki kebahagiaan pada circle yang sama? *** Alvan harus rela memut...