Aroma minyak kayu putih yang khas tercium memenuhi ruangan. Dirinya sudah tersadar dari kegiatan yang menimpanya.
"Ngga penting kenapa saya disini. Minum obatnya, luka kamu sudah diobatin tadi," jelas seseorang yang berdiri disebelah ranjangnya, Daffa."Tapi Leva—"
"Diminum dulu, saya masih ada urusan, semoga cepat pulih." Daffa keluar meninggalkan Leva sendirian.
Ia sedikit menyenderkan tubuhnya dibahu ranjang. Ia merasa jika Daffa bersikap tidak seperti biasanya. Sedikit ada pertanyaan tersirat di otaknya, namun ia berusaha tidak peduli itu. Leva mengambil obat yang dimaksud tadi. Dengan cepat ia menelan tablet putihnya bersamaan dengan tegukan air ditangannya. Ia kembali pusing jika dalam posisi duduk terlalu lama.
Kayaknya yang terakhir gue lihat bukan Kak Daffa deh. Si—
Tiba-tiba pintu terbuka sempurna, memunculkan dua orang perempuan yang terburu-buru masuk kedalam ruangan.
"Lo kenapa? Diapain? Kok bisa jadi gini?" Donna menghantam Leva dengan beberapa pertanyaan. Ia juga memegang tangan dan kening Leva bergantian. Tentunya Leva tidak akan menjawab itu semua.
"Iya, masa bisa pingsan gitu aja sih? Pasti ada masalah yang lo sembunyiin, ngaku lo?" Tanya Lulu mencoba untuk membuat Leva lebih terbuka.
"Gara-gara lo lama, Pak Ari jadi nitip hukuman ke kita kan," imbuh Donna. Tangannya menyilang didepan dada tanda kesal.
Leva terkekeh, "Lebay deh lo berdua. Gue ngga ada masalah apa-apa kok. Emang dia nitip hukuman apa buat gue?"
"Kerjain tujuh puluh lima soal fisika beserta soal dan jawaban ditulis tangan ngga boleh diprint," jawab Donna santai. Leva mendengus panjang.
"Sabar ya Lev, mungkin itu udah takdir lo dapat ujian yang lebih berat daripada ujian hidup lo," lanjut Donna terharu meratapi Leva yang harus menjalani hukuman dari peramal yang sepertinya menyamar menjadi guru fisika disekolahnya itu.
Lagi-lagi Leva terkekeh geli mendengarnya.
"Btw jidat lo kenapa, sampe diplester gitu," ujar Lulu melihat kening Leva.
"Gue juga ngga tau. Mungkin karena gue pingsan trus ngga sengaja kebentur lantai," alihnya cepat.
Tak lama kemudian seseorang pun kembali muncul dari pintu uks menghampiri mereka.
"Kenapa?" Satu kata beribu makna.
"Ngga apa-apa bang, ini cuman kebentur pas pingsan aja,"
"Udah dikasih obat sama anak-anak?"
"Udah," Leva tersenyum, masih berusaha agar Dev tidak khawatir pada keadaannya. Walapun ekspresi wajah Dev tidak menjamin usahanya.
"Kak Dev tenang aja, kita bakal jagain Leva disini kok," seru Donna dengan senyuman mengembang.
"Kalian ngga cari alasan buat bolos karena jagain dia kan?"
"Ngga kok Kak, tadi pelajaran pertama kita masuk. Tapi ngga tau deh kalo yang kedua," Donna menyengir lebar, lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Abang tau Leva disini dari siapa?" Ia heran, mengapa beritanya bisa sampai ketelinga Dev. Padahal cuman masalah biasa.
"Alvan yang kasih info," jawabnya to the point. Mata Dev beralih melihat jam dipergelangan tangannya.
"Saya ke kelas duluan, bentar lagi bel. Kalian jangan lupa masuk kelas, ngga usah bolos, udah baik juga kan?" Tanya Dev memastikan sebelum dirinya berlalu keluar ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Levan
Novela JuvenilLeva tidak bisa menanggung masalahnya sendiri, ia selalu menghindari hal tersebut, apalagi turut dalam penyelesaian-nya. Bagaimana ia bisa tersandung dalam masalahnya? Mengapa ia memiliki kebahagiaan pada circle yang sama? *** Alvan harus rela memut...