HALAMAN 10 : Keraguan

22 13 0
                                    

Hari ini, tepat pukul 5 sore. Leva dan team basketnya telah selesai berlatih untuk acara sekolahnya nanti. Bersyukur, latihan kali ini dapat berjalan lancar tidak seperti hari kemarin.

Beberapa siswa yang ikut latihan tadi sudah kembali kerumahnya masing-masing. Mungkin hanya Leva saja yang masih berada dilingkungan sekolahnya. Tersangkut beberapa urusan yang mengharuskan dirinya pulang lebih lama.

Tangannya bergerak mengambil tas dan segera berjalan kedepan gerbang sekolah. Leva sudah menelpon Dev menggunakan ponsel yang ia genggam untuk menjemputnya sekarang.

Dev sedang berada dirumah karena tugasnya sudah ia berikan pada Alvan. Untuk apa ia calonkan Alvan jika laki-laki itu tidak bisa menggantikan dirinya? Manfaatkan seseorang untuk hal yang baik, bukan yang buruk. Benar bukan?

Leva masih memainkan ponselnya sambil menunggu Dev sampai tujuan. Namun suara ajakan menghentikan aktivitasnya seketika. Kepalanya otomatis terangkat dan langsung menengok kesumber suara itu datang.

"Udah selesai kan? Pulangnya bareng sama saya ya," Seorang laki-laki berdiri dihadapannya.

"Kak Daffa masih disini?" Tanyanya bingung, matanya beralih menyapu keliling sudut sekolah. Semoga saja Leva tidak salah lihat jika ada Daffa sendirian disini setelah semua siswa telah pergi.

"Tadi abis nitip lampiran ketoko fotocopy," Leva mengangguk.

"Bareng saya ya?" Tanya Daffa lagi. Pertanyaan sebelumnya memang belum dijawab oleh perempuan itu.

"Maaf, tapi Leva udah ada janji sama abang,"

Leva kembali beralih pada layar pipihnya. Ia tidak mau melihat raut wajah kecewa laki-laki tersebut.

"Nanti saya yang coba ngomong sama Dev,"

"Gapapa, duluan aja. Palingan juga bentar lagi dia sampe,"

Leva menengok keujung jalan untuk melihat mobil yang sedang ia nantikan.

"Oh gitu? Yasudah, saya tunggu sampai Dev dateng. Lagi pula mobil saya masih terpajang diparkiran,"

Leva melebarkan matanya tak yakin, "Aduh, gausah Kak. Mungkin Dev kejebak macet jadi lumayan lama datengnya. Leva gaenak kalo Kak Daffa ikut nunggu,"

"Justru karena lama, saya bakal nemenin dan nungguin kamu disini," Daffa tetap pada pendiriannya.

Leva mendengus, ia tidak bisa memaksa Daffa untuk mengikuti keinginannya. Daffa memang keras kepala, seperti yang selalu Dev bilang.

Tak lama kemudian, diujung jalan terlihat mobil sport hitam mulai menghampiri mereka. Tidak lain tidak bukan, itu adalah mobil Dev.

'Aduh, bisa mampus gue. Dia masih disini lagi.'

Jendela mobil pun perlahan menurun. Leva memicingkan matanya saat melihat sosok laki-laki muda yang tidak seharusnya berada dimobil abangnya. Apa-apanya ini?

"Buru masuk,"

"Kok lo bisa disini? Dev kemana?" Ujarnya sedikit berteriak karena tidak menyangka dengan adanya laki-laki yang masih berpakaian kaos futsal itu ada didalam.

"Dia nyuruh gue jemput lo. Gausah banyak tanya, langsung masuk aja, gue masih banyak urusan,"

Daffa mulai geram. Ia tidak terima saat melihat sikap Alvan yang sedikit memaksa Leva, "Kalau dia ga mau, gausah maksa. Songong banget lo baru dikasih amanah juga,"

Leva tidak tau harus apa. Ia tidak mungkin memilih Alvan untuk pulang dengannya. Jika itu Dev, mungkin masalah ini akan selesai, walaupun dirumah masih akan dibahas.

LevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang