HALAMAN 17 : Kepergian

14 5 0
                                    

Setelah setengah perjalanan, Alvan menepikan mobilnya didepan toko. Sambil lewat, Diva meminta Alvan untuk mampir sebentar untuk menemaninya mengeprint poster bazar. Jika berkaitan dengan osis, apa boleh buat?

Meskipun sedang dikejar waktu, Alvan tetap menerima permintaan Diva. Bagaimanapun juga, ia akan mendukung semua panitia acara dalam kegiatan esok. Setelah selesai, Alvan langsung menancapkan gasnya dan melenggang jauh dari toko tersebut.

Namun tiba-tiba, mobilnya menuntut untuk berhenti sebentar tepat disebrang lapangan komplek tersebut. Ia tak sengaja melihat seseorang yang sedang berduaan dibangku taman. Bukan. Bukan Caca yang berada disana. Jika perempuan tersebut adalah mantan kekasihnya, jangan tanyakan Alvan yang akan ia perbuat. Lalu siapa?

Alvan tidak ingin membuang waktunya hanya untuk melihat tontonan yang seharusnya ia lihat. Ia kembali menjalankan mobilnya menuju rumah Diva.

"Lo kenapa sih Van, dari tadi bete banget mukanya," tanya Diva heran. Sedari tadi ia merasa kesal karena Alvan selalu mengabaikan usahanya untuk dapat perhatian dari laki-laki tersebut.

Lagi-lagi Alvan tidak merespon ucapannya. Diva memutarkan bola matanya malas, hampir saja ia menyerah. Namun satu ide terlintas dipikirannya, "Gue bener-bener ngerasa patung disini Van. Lo gasuka ya gue disini?"

Alvan belum menjawab, namun Diva berniat melanjutkan perkataannya. "Yaudah kalau gitu, gue turun disini aja." Diva mencoba menguji perhatian Alvan kembali dengan cara yang berbeda.

Alvan menatap Diva sekilas. Ia meminggirkan mobilnya, dan langsung menarik rem tangan dengan cepat.

"Loh kok malah beneran sih?" Panik perempuan disebelahnya saat Alvan dengan serius menanggapi apa yang disuruh. 

"Sumpah lo jahat banget Van. Kenapa lo ngga bilang dari awal kalo ngga bisa nganter gue? Trus sekarang gue pulang sama siapa,"

Alvan hanya menatap lurus kedepan. Diva tidak menyangka jika Alvan sungguh diluar dugaan. Padahal baru saja tadi laki-laki tersebut mau menemani dirinya.

Yang sebenarnya ia harapkan adalah Alvan menyikapinya seperti yang ada dinovel-novel remaja, ketika Si Cewe meminta untuk turun dipinggir jalan, Si Cowo akan menahan dan berusaha mengembalikan moodnya. Namun semua itu sama sekali tidak terjadi pada mereka.

"Gue kan udah bilang ada urusan Div. Dan kalau gue ngga lupa, rumah lo masuk gang sana kan?" Akhirnya Alvan pun mau buka suara walapun dengan nada cuek. Kepalanya menengok kesebelah kiri, lalu dagunya bergerak menujuk ke arah tempat yang dimaksud.

Diva reflek melihat ke jendela yang ada sampingnya, "Oh iya udah sampe. So—sorry Van, tadi omongan gue ngelantur gara-gara .. kerjaan osis tadi," ralatnya menyengir lebar.

"Kerjaan osis gausah dijadiin alasan. Udah sana, gue buru-buru nih," tegur Alvan saat Diva tidak kunjung membuka pintu mobilnya.

Diva yang mengerti kode tersebut langsung membuka pintu mobil dan menutupnya kembali.

"Iya deh maaf. Lo emang pantes jadi ketua, apalagi motivasi gue," ujarnya asal.

"Btw, makasih ya Van. Kurangin cueknya kalo lagi sama gue," lanjutnya dari luar jendela mobil yang masih terbuka.

Alvan menautkan kedua alisnya. Ia heran, mengapa Diva sangat over pada dirinya? Mulai dari mengajaknya jalan, menawarkan makan, menjadikan dirinya sebagai motivasi, hingga mengomentari sikapnya. Mungkin masih ada yang lainnya?

Namun Alvan tidak ingin ambil pusing, dengan segera ia melajukan kendaraannya meninggalkan Diva. Sedangkan Diva tersenyum senang karena rencana pertama telah berhasil.

LevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang