Impossible Is Nothing

111 7 0
                                    

"Siapa dan seperti apa latar belakangmu, tidak akan menjadi penentu akan menjadi apa dirimu. Serendah apapun orang lain memandangmu, akan terkalahkan dengan besarnya proses dan perjuanganmu."

*Author*

“Sih… Ningsih..,”

“Iya…”

“Kemari kau jangan bergelut saja pada buku-bukumu itu!”

Ya, seperti itulah teriakan membisingkan yang jujur sangat membosankan. Jika tak ingat dosa, mungkin sudah ku umpati suara yang tak kalah kerasnya.

Namaku Miracle, seorang gadis yang terlahir dari keluarga yang masih memegang kuat ajaran nenek moyang. Adat, budaya, dan tradisi jawa masih begitu kental di istanaku ini. Miracle? Melihat latar belakang keluargaku, seperti tidak mungkinkan jika namaku sebagus itu, tentu saja itu bukan namaku yang sesungguhnya.

Nama asliku adalah Arumi Ningsih, nama yang kata bapak dan ibuku adalah nama terbagus di kampung ini. Dan Miracle hanyalah nama buatanku sendiri, entahlah aku punya harapan besar atas nama itu. Bukan aku tak menghargai apa yang kedua orang tuaku berikan, namun aku ingin suatu saat nama itu akan melekat di diriku tanpa menyingkirkan nama asliku. Aku benar-benar ingin nama itu menjadi do’a yang terkabulkan, Miracle (keajaiban).

“Kau itu jangan bergelut terus dengan buku-bukumu itu, sudah bapak bilang berulang kali masih saja ngeyel.”

“Aku ini sekolah Pak, sudah seharusnya aku belajar. Lagi pula apa salahnya dengan banyak membaca, toh tak buatku merugi. Angkasa saja selalu dibiarkan belajar sesuka hatinya,” bantahku.

Mampu aku dengar suara geraman dari mulut bapak dan kemudian berucap lagi padaku dengan nada bicara yang juga dinaikkan, “Jangan meri (iri) kamu dengan Angkasa, dia itu laki-laki sedang kau perempuan. Memang tugasnya untuk berpendidikan sedangkan tugasmu adalah di dapur, membantu ibumu!” beliau melenggang pergi setelah menyelesaikan ucapannya.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang, tak ada guna aku menimpali ucapan bapak. Hanya akan berujung pada pertengkaran yang tak mengenakan jika terdengar sampai tetangga. Hampir setiap hari kalimat seperti itu terdengar di telingaku, tak salah jika aku pun merasa geram dibuatnya.

Angkasa Prawijaya, jujur aku begitu iri dengan laki-laki itu. Dia bisa belajar dan mengikuti kegiatan sekolah dengan bebasnya. Selain namanya yang terdengar modern, otaknya juga modern. Laki-laki itu sangat cerdas dan pintar, tak sedikit yang mengagumi laki-laki itu dari kalangan muda sampai tua, kecuali aku. Usianya hanya terpaut dua tahun denganku, lebih tua dia. Aku tak boleh kalah darinya, meski aku wanita  kurasa aku punya hak yang sama, apalagi dalam hal pendidikan.

Aku sangat mencintai keluarga dan desaku, namun satu hal yang sangat tidak aku suka yaitu, wanita hanya dianggap kaum yang hanya bertugas 3M, Macak (dandan), Masak (memasak), Manak (melahirkan). Apalah guna ibu Kartini memperjuangkan emansipasi wanita jika pendidikan saja tak boleh disentuhnya. Jikalau pun boleh hanya sampai SD dan aku bukan salah satunya.

Sifatku yang selalu membangkang dengan pemikiran sempit para orang tua membuat diriku menjadi salah satu gadis beruntung di desa ini, karena saat ini aku bisa sampai di jenjang SMA. Tak sampai di situ, aku akan terus memperjuangkan hak pendidikanku selanjutnya. Tak sudilah aku jika aku dilahirkan bertaruh nyawa lalu pada akhirnya hanya menjadi manusia yang harus berjalan merangkak di depan pria. Menjilati kaos kakinya yang dekil hanya untuk meminta sesuap nasi, hah tidak! Itu mimpi buruk bagiku.

MIRACLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang