"Saat sebuah rasa cinta tak berorientasi pada obsesi, maka ikhlas adalah ujung dari rasa yang aku miliki. Untukmu, teman berbagi"
~Kim Nara Akila~
"Bukan begitu maksudku, harusnya kamu itu sedikit lebih responsif padanya."
"Tidak bisa, kalau dia baper lagi bagaimana?"
"Itu tergantung caramu menyampaikan bosku, gimana sih."
"Ayolah beri saran yang lebih bermutu, kamu ini satu-satunya orang yang bisa aku ajak cerita." pintanya lagi.
Aku mulai sedikit geram, "sudahlah, aku mau pulang. Terserah kamu saja, dikasih saran ini katanya ga cocok, dikasih saran yang itu katanya bikin baper. Sudah, bye."
"Woe.., adek durhaka lo!" teriaknya saat aku benar-benar beranjak pergi.
"I don't care!" balasku tak kalahnya memekikan teliga.
Masih bisa aku dengar orang itu ngomel-ngomel tidak jelas. Sebenarnya aku bukan tidak peduli sungguhan tapi karena berbagai macam saran yang aku berikan selalu dianggap tidak memungkinkan, ya sudah daripada serba salah dan buang-buang waktu aku pulang saja.
Namaku Kim Nara Akila Wirdaningrat, nama belakang adalah nama keluargaku dan jarang sekali aku menggunakanya karena terlalu panjang, aku tidak terlalu suka. Dari namaku saja mungkin terdengar seperti sebuah nama anak sultan, padahal kenyataanya tidak seperti itu. Hanya saja untuk segala kebutuhan selalu terpenuhi dan tidak pernah kurang.
Usiaku 19 tahun, seorang mahasiswi Psikologi di sebuah Universitas favorit di kotaku. Aku duduk di semester 4, saat-saat dimana kuliah adalah hal yang paling membosankan bagiku.
Aku punya seorang kakak, bukan kakak kandung sih tapi saking dekatnya sampai dikira aku ini kekasihnya, mungkin karena kita sama-sama jomblo dan kemana-mana selalu bersama meski sebenarnya semua serba disertai debat.
Satu lagi, aku dan kakak sepupuku ini berada dalam satu tempat kerja dan kami sama-sama jadi seorang barista. Sungguh mendukung untuk dikatakan kami memang pasangan yang kompaknya minta ampun. Wait, seorang keluarga Widianingrat bekerja? Yeah, aku bukan gadis yang terlahir dimanja dengan segala keinginan selalu dituruti. Keluargaku memberikan didikan yang cukup keras, tidak ada istilahnya manja dan bermalas-malasan. Bahkan mereka sudah mengatakan jauh sebelum aku masuk perguruan tinggi bahwa mereka akan membiayai aku hanya sampai lulus SMA saja, setelahnya jika aku ingin kuliah aku harus mencari biaya sendiri dan beginilah akhirnya, setelah pulang kuliah aku langsung bekerja.
Dari sinilah aku benar-benar merasakan bagaimana berjuang untuk hidup, mulai makan sehari-hari, bayar kos, biaya UKT dan belum kebutuhan yang lainya. Awalnya, aku sedikit kaget dengan duniaku yang baru tapi seiring berjalanya waktu, aku memang perlu latihan agar terbiasa nanti ketika sudah berumah tangga.
Balik lagi bicara soal kerja, aku sudah hampir 2 tahun bekerja di cafe tempatku bekerja sekarang. Itu bukan tempat pertama, terhitung sudah tiga kali aku pindah kerja sejak aku lulus SMA dan di cafe itulah aku merasakan kenyamanan, selain cocok dengan bosnya aku juga cocok dengan lingkungan dan partner kerjanya.
Oh ya, aku lupa belum mengenalkan nama kakak sepupuku. Namanya, Ardan Prawira Wijayadiningrat. Semua nama belakang anggota keluargaku ada Ningrat-Ningratnya. Susah sekali menyebutnya, apalagi adik sepupuku yang kedal.

KAMU SEDANG MEMBACA
MIRACLE
Short StoryCover by@ritawhy26 Ini bukan cerita novel tapi kumpulan dari berbagai kisah nyata inspiratif yang pernah Penulis temui. Cerita-cerita yang Penulis muat disini sudah mendapat izin dari tokoh-tokohnya, nama dan tempat disamarkan. Ada beberapa juga yan...