10. Bandung dan Yupi

234 63 36
                                    

↪[ 10. Bandung dan Yupi ]↩

L a n g i t

"Jadi, lo kapan balik lagi ke sini?"

Suara gadis itu bahkan terdengar lebih nyaring, daripada suara petugas bandara yang baru saja mengabarkan keberangkatan pesawat dari speaker besar di Bandara Husein Sastra Negara—yang tentu saja tetap seramai yang ada dalam ingatan gue.

"Please, gue baru turun dari pesawat dan lo udah nanya kapan gue balik lagi?" Gue memutar bola mata jengah, buru-buru merespon sebal. "Gue bahkan masih jetlag ya gara-gara transit dulu."

Gue bisa mendengar jelas jika Gianna Averyl terkekeh geli di ujung sana. "Belum sampai di rumah tante lo?"

"Belum, gue masih di bandara."

Gue menarik pegangan koper biru yang sejak tadi ada dalam genggaman, buru-buru melangkah keluar menuju pintu utama Bandara yang rasanya semakin lama semakin ramai saja.

Rasanya gue iri hanya karena melihat segerombolan orang dengan bunga mencolok mata di tangannya dan senyuman manis terpasang di wajahnya karena menunggu kedatangan seseorang yang spesial.

Apa karena gue tau tidak ada seorang pun yang menyambut kepulangan gue hari ini?

"Lo langsung ke rumah dia?"

Dia.

Tanpa perlu berpikir lebih jauh pun, gue tahu persis siapa 'dia' yang baru saja gadis itu sebutkan diikuti kuapan malas itu.

Dia adalah satu-satunya orang yang gue harap akan ada di bandara, menyambut kepulangan gue dengan senyumannya manis yang seminggu lalu baru gue lihat dari sosial medianya.

Miris.

Gue bahkan tidak bisa menekan fitur 'love' ketika melihat semua senyumnya.

"Iya, semoga dia belum pindah rumah," jawab gue pelan.

Bayangan rumah besar dengan pagar tinggi menjulang dan halaman luas penuh bunga mendadak hinggap di kepala gue tanpa perlu diminta lagi.

Gue juga seakan bisa mendengar tawa cekikikan gadis mungil yang sedang bersembunyi di balik grand piano besar yang tentu saja tidak mampu menutupi tubuhnya sepenuhnya.

"Nara, ayo cari Yupi," katanya riang diikuti kekehan kegirangan yang terdengar samar karena dia berusaha membekap mulutnya sendiri yang selalu penuh tawa.

Lalu gue, Langit Anara Putra, akan berpura-pura sibuk mencari dia ke seluruh penjuru ruangan yang padahal posisinya berada terlihat jelas dari tempat gue berdiri.


"Kalau dia udah pindah rumah gimana?" Suara Gianna terdengar ragu.

"Gue balik lagi ke New York sekarang juga," cetus gue, kembali terkekeh ketika mobil dengan plat sama seperti yang tertulis di aplikasi penyewaan online tampak meluncur mendekat kemudian berhenti tepat di depan gue.

"By the way, Gi." Gue memanggil namanya sembari membuka pintu belakang Avanza hitam mengkilat yang kemungkinan besar baru keluar dari tempat cuci mobil itu.

Where, Alaska? ✔ (On Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang