23. Free Pass dari Aska

173 47 19
                                    

[ 23. Free Pass dari Aska ]


A t l a s

Wangi kaldu ayam tiba-tiba menyeruak di penciuman saya tanpa permisi. Rasanya kayak sesuatu yang enak, tetapi ... entahlah ... mungkin terlalu gurih. Sejujurnya, ini cukup aneh karena itu saya membuka mata perlahan, mengerjap berkali-kali berusaha menyesuaikan pencahayaan dengan mata.

Jam di nakas sudah menunjukan pukul lima sore dan bibi yang biasanya memasak dan bersih-bersih rumah tidak mungkin masih ada di rumah.

Jadi, siapa yang memasak?

Ibu nggak mungkin pulang mendadak tanpa pemberitahuan seperti ini.

Alaskaa juga nggak mungkin ada di sini, karena dia jelas sedang menghabiskan waktu untuk quality time dengan Langit.

Mungkin ... mereka sedang mengelilingi Kota Bandung, karena selain suka hujan, gadis itu juga suka mengelilingi Bandung sampai batuk-batuk karena masuk angin.

Mungkin mereka juga sekalian makan soto ayam di daerah Ciumbuleuit karena itu tempat soto ayam kesukaan Alaskaa.

Harum kaldunya semakin kuat.

Ketika saya bangun dengan gegabah untuk melihat apa yang terjadi di dapur, pening mendadak menyergap dan membuat kamar yang bercat abu-abu ini kembali berputar pelan.

Saya selalu benci sakit.

Serius.

Karena sakit selalu membuat saya inget semua hal tentang Ibu.

Saya bisa membayangkan bubur nasi kemanisan buatan ibu dan bagaimana telatennya ibu mengurusi saya yang tingkat manjanya akan naik ke tingkat maksimal karena sakit.

Rasanya menyenangkan.

Tangan hangat ibu akan mengelus rambut saya dengan lembut sementara bibirnya mulai bersenandung lagu pengantar tidur.

Bahkan ketika meninggalkan masa kanak-kanak, saya masih sering mendengar ibu menyenandungkan lagu penghantar tidur yang sangat kekanak-kanakan namun menenangkan di waktu yang bersamaan.

Namun itu dulu, sewaktu ibu dan ayah masih tinggal di rumah yang sama dengan saya. Ibu mengikuti Ayah yang dipindahtugaskan ke Manado sementara saya memutuskan untuk tetap tinggal di rumah ini.

Waktu itu, saya masih kelas 11 dan saya pikir, saya harus menetap di sini. Saya harus mulai fokus mengikuti persiapan ujian masuk universitas.

Walaupun alasan sebenarnya, hanya karena saya mulai lelah berpindah dari satu sekolah ke sekolah lain.

Ini memang keegoisan saya yang tidak bisa mengerti situasi keluarga yang segala hal dilibatkan dengan militer itu.

Pintu kamar yang tiba-tiba terbuka membuat saya mengalihkan fokus dalam sekejap. Saya mengerjap bingung ketika seorang gadis dengan kemeja tosca dan rok hitam selutut melangkah masuk dengan nampan di tangannya.

"Selamat pagi," sapanya, melirik jam di nakas sebelum akhirnya melanjutkan, "atau lebih tepatnya, selamat sore? Hehe."

"Kamu ngapain di sini?" tanya saya, mengibaskan selimut lalu menduduki pinggiran kasur dengan kening berkerut.

Alaskaa tersenyum lebar, menyimpan nampan yang dibawanya di atas meja lalu tanpa bicara apapun, dia menyentuh kening saya perlahan.

"Masih agak panas," gumam Alaskaa dengan kening berkerut samar. "Udah makan bubur langsung minum obat ya, Tlas."

"Kamu ngapain di sini, Ska?"

Gadis itu menyerahkan mangkuk dan sendok yang dibawanya.

"Aku tadi lihat bungkus obat alergi, Tlas. Alergi kamu kambuh? Kamu abis makan apa? Kok kamu nggak bilang, sih, kalau sakit?" celotehnya dengan nada yang semakin menurun.

Where, Alaska? ✔ (On Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang