12. Mary Sue yang Cantik

203 56 38
                                    

[ 12. Mary Sue yang cantik ]


A t l a s

"Atlas," panggilnya riang, melambaikan tangan dengan mata menyipit mengecil. "Sorry ganggu, kamu lagi latihan, ya?"

"Kenapa?"

Gadis itu terus saja memainkan tali sweater hitamnya. Dengan isi kepala yang terus berpikir karena saya bisa melihat matanya yang mulai bergerak-gerak tidak fokus.

"Kenapa, hm?"

"Mm, itu ... Nara ngajak aku jalan hehe." Dia memulai dengan ragu, mengusap tengkuknya yang tidak gatal sementara jemarinya terus saja memilin tali sweater-nya. "Kamu mau nemenin aku nggak? Kayaknya bakal canggung kalau berdua doang sama dia. Aku masih belum biasa aja."

Sesuai prediksi saya, Langit tidak akan membuang-buang waktunya dan pasti bergerak cepat mendekati Alaskaa. Tentu saja karena keduanya sekarang ada di tempat yang sama dan perasaan yang sama.

Mungkin.


"Hari ini?"

"Iya, Tlas. Gimana?"

Saya menghela napas panjang. "Aku ada latihan, Ska. Nggak tau selesai jam berapa. Makanya tadinya aku mau minta Kak Aksa anterin kamu pulang."

Dari semua orang di kampus ini, yang saya percaya bisa mengantarkan Alaskaa Ayyuvi Assegaf sampai rumah ya hanya si Aksa Bratadikara— drummer Band Enam Hari yang mungkin aja lagi nggak ada kesibukan. Walaupun saya ragu karena bagaimanapun Aksa bukan orang biasa.

Gadis itu mengerjap lalu mengangguk. "Eh iya, Sing for you sebentar lagi, ya? Sorry ganggu waktu kamu latihan," katanya cepat sembari menepuk-nepuk kepala saya. "Semangat latihannya ya, Atlas."

"Kamu nggak masalah jalan sendiri?"

Alaskaa mengangguk kemudian terkekeh kecil. "Doain aja nggak canggung."

"Mau aku tanyain Aksa? Siapa tau dia bisa nemenin kamu," kata saya, sudah bersiap mengeluarkan ponsel ketika Alaskaa dengan cepat menahan lengan saya.

"Jangan, ih. Malu-maluin banget kalau sama Kak Aksa," keluh Alaskaa dengan lengkungan bibir yang turun ke bawah. "Nanti dia pasti ngomel-ngomel, Tlas."

"Hm, emang mau jalan ke mana sama Langit?"

"Northwood Cafe, deket sih," jawab Alaskaa merujuk sebuah cafe yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari kampus. "Dia mau coba nasi goreng balakutak."

Saya hanya bergidik ketika membayangkan sepiring nasi goreng berwarna hitam karena tinta balakutak—yang walaupun sudah dipercantik dengan segala hiasan berwarna cerah tetap saja mengerikan.

"O-oke. Kamu masih ada kelas?"

Alaskaa menggeleng. "Nggak, tapi paling mau ke perpus dulu sambil nunggu waktu. Dah Atlas, sorry ganggu ya."

"Santai, kayak ke siapa aja." Saya mengakhiri obrolan sembari mengetuk pelan kepalanya. "Jangan beli yang macem-macem nanti."

"Iya, nggak. Jangan lupa makan," katanya, melambai kecil lalu berbalik pergi ke arah tangga.

Rasanya saya sudah benar memberikan kesempatan pada Langit dan Alaskaa bertemu. Mau bagaimanapun keduanya punya porsi besar dalam hidup masing-masing.




Where, Alaska? ✔ (On Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang