11. Ikuti Alur

218 55 38
                                    

↪ [ 11. Ikuti Alur ]↩


A t l a s

"Atlas, fokus anjir suara lo jadi sumbang."

Saya menghela napas panjang ketika pemuda di samping saya, Aditya Taelandy, menghentikan segala lamunan yang ada di dalam kepala saya saat ini.

Ini bukan teguran pertama karena pasalnya sudah hampir tiga kali senior saya di UKM Seni itu menegur dengan sabar.

"Sorry, boleh ulang dari awal lagi? Ini yang terakhir deh serius."

Saya mencoba tersenyum penuh permintaan maaf pada mahasiswa, yang saat ini memang sedang berkumpul di dalam ruang Unit Kegiatan Mahasiswa Seni di gedung kesekretariatan karena event musik bertajuk Sing For You memang akan dimulai kurang dari sebulan lagi.

Saya bisa melihat Meta memutar bola matanya jengah. Sepertinya saya benar-benar sudah kelewatan saat ini karena ... wah orang yang jelas-jelas menaruh perhatian pada saya saja bisa terlihat sesebal itu.

"Yaudah lah, istirahat. Nanti kita mulai 30 menit lagi. Mendingan sekarang lo minum dulu, Tlas." Taelan memutuskan dengan tenang.

Saya mengangguk menyepakati, bergegas mengikuti saran Taelan untuk mengambil botol air yang sejak tadi memang ada di samping tas.

"Kenapa, lo? berantem sama Aska?"

Saya terbatuk keras, nyaris saja menyemburkan semua air yang baru masuk ke dalam mulut akibat ulah pemuda berkaus hijau mencolok—yang saat ini justru melongo di tempatnya karena respon saya yang terlalu berlebihan.

"Lah, anjir, beneran berantem sama Aska? Gue bercanda loh, Tlas."

Pemuda itu, Jeffirio Astara, terbahak keras hingga matanya yang minimalis itu tampak semakin menyipit.

Saya berdeham, mencoba memperbaiki tenggorokan saya yang sedikit perih akibat tersedak tadi. "Nggak anjir."

"Jadi gue salah nebak dong?"

Sebetulnya tidak juga. Saya memang tidak bertengkar dengan Alaskaa, tapi gadis itu memang yang menjadi alasan kenapa saya bisa-bisanya tidak fokus saat sedang latihan seperti sekarang.

Karena tidak biasanya saya bersikap tidak profesional seperti ini.

"Tapi pasti ada hubungannya sama Aska, sih," ujar pemuda jangkung dengan garis wajah yang sejak tadi jelas menguping obrolan saya dengan Jeffirio. "Jadi, lo sama Aska kenapa?"

Saya memutar bola mata jengah, lebih memilih menghabiskan air dalam botol minum daripada harus menjawab ocehannya.

Johnny Reagan berdiri bersedekap dengan sudut bibir yang terangkat semakit tinggi. "Parah anjir, nggak cerita-cerita lo."

"Ya gue kalau kepo tinggal nanya Aska, sih," cetus Jeffirio santai. "Aska pasti mau jawab pertanyaan gue."

Percuma kamu nanya Alaskaa sih, orang dia aja mungkin nggak sadar kalau kedatangan Langit cukup membuat saya berpikir lebih jauh hingga tidak fokus seperti sekarang.

"Jef." Saya memanggil Jeffirio hingga pemuda itu menoleh. "Kalau misalnya cinta pertama si Rose balik, lo bakal bersikap gimana?"

Jeffirio Astara mengerjap dengan mata melebar. "Anjir, cinta pertama Rose siapa?!"

Gue menghembuskan napas sebal karena sepertinya gue salah langkah dan akhirnya ganti menatap Johnny yang sejak tadi sudah terfokus pada ponselnya.

"Jo, kalau cinta pertamanya Manisha dateng lagi gimana?"

Johnny Reagan tampak berpikir sejenak kemudian tertawa. "Kagak bakal dateng sih."

Where, Alaska? ✔ (On Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang