17. Antara Kebenaran dan Pembenaran

143 40 31
                                    


↪[ 17. Antara Kebenaran dan Pembenaran ]↩

A t l a s

Ada satu pertanyaan tidak penting yang anehnya selalu membuat saya pusing setiap kali bertemu Langit Anara Putra- atau yang sering saya dan Aksa Bratadikara sebut 'Kesayangan Aska' dengan nada nyinyir.

Kenapa setiap kali melihat Langit, Malaikat dan Iblis seakan lebih aktif mengeluarkan apa yang mereka pikirkan daripada biasanya.

Seperti sekarang, ketika saya tidak sengaja melihat Langit di lobi Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra sedang sibuk memperhatikan setiap mahasiswa yang lalu lalang, Malaikat seakan berkata dengan tenang dan bersahaja:

"Atlas kamu harus sapa Langit karena sesungguhnya Tuhan menyukai orang-orang baik berhati mulia yang mampu berlapang dada menghadapi saingannya."

Sedangkan Iblis merah dengan dua tanduk kecil berwarna serupa, dengan nada nyinyir bak netizen twitter yang baru aja kebasahan teh, berkata:

"LAH NGAPAIN LU SAPA SI KESAYANGAN ASKA. DIA KAN NYEBELIN YA ANJIR. UDAH NYEBELIN, TUKANG NYINYIR, SUKA NGAJAK RIBUT LAGI. MENDING PURA-PURA GAK LIHAT AJA DAH"

Sebenarnya, Iblis sadar nggak, sih, kalau dia juga lebih nyinyir daripada Langit yang sepertinya sudah menyadari keberadaan saya karena dia sekarang menatap saya dari atas sampai bawah dengan dahi berkerut.

Kenapa sih tatapannya itu seolah berkata kalau outfit saya aneh padahal saya hanya pake kemeja biasa dan celana kain yang nggak ada motifnya karena ini merupakan standar mahasiswa pendidikan di sini.

"TUH, KAN, TATAPANNYA AJA DAH NYINYIR! CABUT, LAH, TLAS, NGGAK USAH DI SAPA." Iblis kayaknya belum bosen ngomporin saya.

"Aldebaran Atlasi, mungkin Langit hanya kagum dengan dirimu yang terlihat luar biasa dengan kemeja putih." Malaikat masih mencoba menenangkan saya dengan kata-kata yang tentu saja bohong.

Saya akhirnya memilih menaiki tangga menuju lantai dua dengan cepat, bukan karena mendengarkan Iblis tapi karena ini memang saya yang biasanya.

Toh, selama ini orang-orang juga tahu seperti apa Aldebaran Atlasi yang irit bicara dan berwajah datar tanpa emosi seperti biasanya.

Ngomong-ngomong desakan Malaikat dan Iblis tadi tentu saja hanya terjadi dalam kepala saya alias saya kebanyakan halusinasi karena keseringan main sama Alaskaa.

Hari ini, saya cukup beruntung karena antrian lift di lantai dua tidak sepenuh biasanya karena itu, saya bisa sampai di lantai empat tanpa perlu sakit kaki karena harus naik tangga.

Pintu lift terbuka dan saya bisa melihat Alaskaa yang sedang menatap ponselnya dengan serius di dalam lift. Rambutnya dikepang satu dengan rapih dan kemeja putihnya belum terlalu kusut walau samar-samar saya bisa melihat noda saus di pergelangan kemejanya.

Tidak ada seorang pun yang naik sampai pintu lift kembali tertutup dengan cepat karena aturannya, kita harus membiarkan orang-orang di lift turun hingga lantai satu lalu menunggu lift naik hingga lantai dua lagi. Setelahnya, baru boleh dinaiki.

Sebenarnya agak ribet, tapi karena sudah terbiasa dilakukan setiap hari jadi bukan sesuatu yang aneh lagi.

Lift yang saya naiki sekarang tidak terlalu penuh karena hanya diisi oleh saya, seorang pemuda jangkung dengan kemeja biru dongker, dan seorang wanita yang sejak tadi sibuk dengan diktat yang ada di tangannya.

Saya buru-buru melangkah keluar ketika pintu lift terbuka di lantai yang saya tuju, kemudian memasuki ruang kelas yang menjadi tempat berlangsungnya sesi saya sekarang.

Where, Alaska? ✔ (On Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang