:: 4 | Sorry, Jisoo ::

5.2K 588 97
                                    

Esoknya, Seokjin mencari Jisoo di seluruh sudut rumah sakit. Tapi hasilnya nihil, Jisoo tidak tampak dimanapun. Beberapa perawat bilang kalau Jisoo absen karena sakit. Namun Seokjin yakin, Jisoo hanya ingin menghindarinya. Sialnya, Seokjin tidak tahu dimana letak apartment Jisoo.

Berkali-kali ia menghubungi Jisoo, tapi berkali-kali pula gadis itu mengabaikannya. Seokjin paham, Jisoo terlalu terkejut atas tindakannya. Mungkin malah akan membencinya.

Maka dengan berbekal alamat apartment Jisoo yang baru didapatnya dari salah satu perawat, Seokjin nekat menyambangi gadis itu. Peduli setan kalau ia akan dimaki-maki, Seokjin juga sudah pasang badan kalau Jisoo tidak segan memukulnya.

Tapi yang terjadi justru tak sesuai harapannya. Jisoo sama sekali tidak membukakan pintu untuknya. Gadis itu melihat kedatangannya lewat intercom, enggan bertemu. Masih merasa aneh dengan situasi mereka. Jadi Seokjin pulang dengan tangan hampa.

Hari-hari berikutnya juga sama kendati Jisoo sudah mulai bekerja. Mereka seolah bermain kucing-kucingan dengan Jisoo yang selalu menghindari Seokjin. Lari kalau melihat Seokjin berbelok di koridor. Seokjin frustasi, dan Jisoo lebih. Pada akhirnya Seokjin bertekad mengikuti Jisoo dan menarik lengan perempuan itu tepat sebelum Jisoo membuka pintu apartment. Membawa Jisoo dalam rengkuhannya. Erat sekali. Jisoo bahkan bisa merasakan hembusan napas Seokjin yang panas menerpa lehernya, juga deru napas yang terengah.

"Soo-ya, tolong, jangan lari lagi. Aku lelah mencarimu," bisiknya.

Jisoo juga lelah. Lelah berlari dari perasaannya sendiri. Lelah terus menampik letupan-letupan di dadanya setiap bersama Seokjin. Jisoo menyayangi Seokjin. Sejak dulu. Sejak Seokjin belum terikat apapun dengan Hera. Sejak mereka masih dua orang mahasiswa yang senang bercanda. Sejak Jisoo kandas dengan Namjoon dan Seokjin selalu ada.

Napas Seokjin memberat, tubuhnya juga. Jisoo melepaskan rengkuhan mereka, membulatkan mata kala melihat Seokjin dalam keadaan tidak baik-baik saja. Tubuhnya panas, dan Seokjin berusaha membuka matanya yang ikut memberat.

"Hei, kau sakit!" Jisoo memekik, menahan tubuh Seokjin yang hampir ambruk.

"Aku sekarat," lirihnya. "Aku merindukanmu."

Dan bersamaan dengan itu, Seokjin benar-benar kehilangan kesadarannya. Membuat Jisoo kewalahan dan segera menyeret Seokjin masuk dengan tenaganya yang tidak seberapa.

****

Seokjin membuka matanya. Kepalanya pening luar biasa. Lantas mengernyit saat dirasa sebuah benda basah menempel di keningnya. Ia meraba benda itu, sebuah kompres hangat.

Ah, Seokjin ingat. Dia berada di apartment Jisoo.

"Sudah bangun rupanya. Sudah selesai sekaratnya? Sekarang makanlah." Jisoo datang dari arah dapur, membawa semangkuk sup dan meletakkannya di hadapan Seokjin.

Seokjin tidak bergeming, justru menatap Jisoo dan sup itu bergantian. Lalu mengusap wajah, mencoba menetralisir pening yang rasanya hampir mengoyak kepala.

"Aku benar-benar hampir mati mencarimu, Soo-ya," lirih Seokjin.

"Aku tidak menyuruhmu mencariku, Seokjin."

"Tapi aku harus." Seokjin bangkit dari posisinya. Meringis, lantas menatap Jisoo. "Aku harus membuatmu memaafkanku."

"Aku tidak mau membahasnya. Sekarang makanlah, setelah itu minum obatmu. Aku akan menelepon Lisa untuk menjemputmu."

Jisoo beranjak, tapi secepat kilat Seokjin berdiri dan menarik lengannya meski terhuyung. Membawa Jisoo ke dalam rengkuhannya. Menggumamkan maaf berkali-kali.

"Sungguhan, Soo-ya, aku benar-benar minta maaf. Kepalaku kacau, pikiranku berantakan. Maaf, aku jadi mengacaukan segalanya," ucap Seokjin.

"Aku memaafkanmu, jadi menyingkirlah dariku."

"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau benar-benar memaafkanku. Aku menyesalinya, sungguh."

Jisoo tidak bisa lagi. Luruh sudah air matanya, terisak di pundak Seokjin. Tangannya terangkal memukuli punggung tegap lelaki dalam pelukannya itu.

"Benar-benar brengsek kau, Kim Seokjin! Aku membencimu, sungguh. Musnah saja sana. Sialan!"

"Iya, begitu. Marahlah sepuasmu. Luapkan. Tapi jangan pergi dariku, aku tidak bisa. Aku..., aku membutuhkanmu. Sejak dulu sampai sekarang," lirih Seokjin.

Inginnya Jisoo membalas rengkuhan Seokjin. Mengatakan perasaannya. Tapi urung, justru semakin kencang memukul punggung Seokjin. Tidak peduli kalau yang dipukul meringis sakit karena sejak awal badannya memang sudah sakit semua.

"Aku membencimu. Benci sekali."

"Tapi aku mencintaimu."

Jisoo menegang. Kalimat sederhana yang baru saja diucapkan Seokjin nyatanya mampu membuat seluruh sarafnya seolah tak berfungsi.

"Lelucon apa lagi yang coba kau katakan, huh? Mau membuatku berharap lalu menjatuhkanku, begitu?"

Jisoo memaksa melepas rengkuhan mereka, namun Seokjin justru semakin mengeratkan pelukannya.

"Aku mencintaimu, jauh sebelum bersama Hera. Kau pikir kenapa aku membuat Namjoon babak belur setelah menyakitimu? Kau pikir kenapa aku mematahkan lengan Jaehyun saat dia hampir melecehkanmu? Karena aku mencintaimu, Soo-ya. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Sejak dulu, sampai sekarang."

"Kau bilang mencintai Hera, sekarang dengan mudahnya bilang mencintaiku. Kau ini lelaki macam apa, Seokjin-ssi?"

"Jisoo-ya, menikahlah denganku."

Epiphany | JINSOO ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang