:: 16 | Meet ::

3.5K 426 58
                                    

Seokjin tidak langsung kembali ke hotel. Usai menghadiri seminar, kakinya justru ia bawa berkeliling. Mencoba peruntungan untuk menemukan wanitanya. Tidak ada kata yang bisa menjelaskan kacaunya Seokjin di tahun-tahun pertama kepergian Jisoo.

Seokjin jadi berkali-kali lipat gila kerja. Menghabiskan waktu hampir dua puluh empat jam di rumah sakit. Menyusuri seluruh sudut rumah sakit di Korea. Berharap setidaknya bisa menemukan nama Kim Jisoo di antara mereka.

Meski hasilnya nihil. Jisoo tidak pernah ia temukan lagi dimanapun. Dan Seokjin, tidak pernah berhenti mencari celah menemukan Jisoo. Ini sungguhan lebih sakit daripada kehilangan Hera waktu itu. Berkali lipat lebih menyesakkan hingga Seokjin rasa bernapas pun sulit.

Langkahnya menuntun Seokjin hingga tiba di depan sebuah toko roti. Aroma mentega membuat Seokjin lantas memutuskan untuk singgah. Seokjin tersenyum samar. Jisoonya juga suka membuat roti. Dulu, hampir setiap hari Jisoo membawakannya roti. Croissant, muffin, bagel, pannacotta, Jisoo benar-benar pandai membuatnya.

Lalu dunianya seakan berhenti detik itu juga. Seokjin mematung di depan pintu. Menatap tak percaya sosok yang saat ini berdiri di balik etalase sambil merapikan roti miliknya. Perlahan, Seokjin melangkah mendekat meski wanita itu belum juga menyadari kehadirannya.

Milisekon selanjutnya, saat mata mereka beradu, Seokjin ingin sekali menghambur dan memeluknya. Mengucap rindu, menyuarakan segala sesak yang selama ini membelenggunya.

"Soo-ya," lirih Seokjin, suaranya tercekat.

Jisoonya ada disini. Di hadapannya. Ini benar-benar Jisoo, bukan halusinasi semata.

Sementara itu Jisoo mematung di tempatnya. Kakinya seolah rekat dengan lantai, tatapannya terkunci pada iris jelaga milik lelaki di hadapannya. Lelaki yang sudah memporak-porandakan hatinya. Lelaki yang tiap malam dirindukannya.

Seokjin mendekat, Jisoo menjauh.

"M-maaf, kami sudah mau tutup," ucapnya.

"Soo-ya, kita perlu bicara," lirih Seokjin. Ada putus asa dalam nada suaranya. "Kau salah paham."

"Tidak. Tidak pantas seseorang yang sudah beristri bicara pada wanita lain." Jisoo beranjak.

"Bagaimana bisa kalau calon istriku saja menghilang selama lima tahun terakhir?!"

Jisoo membatu di tempatnya, sementara Rebecca tahu diri untuk tidak terlibat dalam percakapan mereka.

"Kau salah paham, Soo-ya. Aku hanya mencintaimu, kalau kau mendengar aku mengucapkan cinta pada Hera, kau jelas belum dengar kelanjutannya."

Seokjin mengikis jarak, menatap Jisoo yang terus menunduk, enggan menatap balik dirinya. Perasaannya masih tak karuan, belum siap menerima penjelasan apapun dari Seokjin yang sejujurnya ia nantikan.

Ada debar yang tak kuasa disembunyikan. Ada rindu yang tak lagi bisa menunggu. Maka dengan berbekal keberanian yang entah darimana, Seokjin semakin merapatkan jarak. Merengkuh Jisoo ke dalam pelukannya.

Sungguh, Seokjin merindukan aroma lembut Jisoo. Merindukan dekapan ini. Merindukan Jisoonya.

"Kau salah paham," lirihnya. "Aku tidak kembali pada Hera, sama sekali tidak. Aku sudah akan menikahimu, apa kau lupa? Kau hanya tidak mendengarkan sampai selesai, keburu mengambil kesimpulan dengan asumsimu sendiri. Pulanglah, Soo-ya, aku merindukanmu. Aku hampir gila hanya karena mencarimu."

Benteng yang Jisoo bangun pada akhirnya runtuh. Liquid bening itu leleh menganak sungai di pipinya. Menyisakan isakan kecil yang berusaha ia tahan.

"Tapi kau bilang mencintainya. Aku membencimu, Kim Seokjin. Benar-benar benci."

"Kau salah paham. Biarkan aku meluruskannya."

Mereka tetap pada posisi seperti itu, hingga tak menyadari sepasang mata yang menatap mereka dengan terluka.

Yoongi berdiri disana. Menghalau pening di kepala hanya karena merasa bersalah telah melimpahkan marahnya pada Jisoo. Tapi yang didapatnya justru lain. Membuat hatinya yang sudah remuk jadi semakin remuk saja.

Hanya dengan melihatnya, Yoongi paham kalau usahanya hanya akan sampai disini. Min Yoongi menyerah, mengaku kalah. Lalu langkahnya dengan berat ia paksa melangkah, menepis sesak yang semakin merantai di dada.

"Ya, Jisoo. Seperti itu seharusnya. Bahagiamu dengannya, bukan denganku."

Epiphany | JINSOO ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang