:: 11 | Late ::

3.6K 443 71
                                    

Jisoo menghindar. Sudah beberapa hari terlewati tapi Jisoo belum juga mau bicara dengan Seokjin. Jangankan bicara, bertatap muka saja rasanya enggan. Bukan tak lagi cinta, hanya saja Jisoo sedang tidak mau terluka. Jisoo sedang menata hatinya, menata hidupnya.

Dan Seokjin menyadari perubahan itu. Juga tak luput menyadari bahwa kini Jisoo tak lagi mengenakan cincin pemberiannya. Seokjin ingin bicara, tetapi Jisoo selalu punya alasan untuk menghindarinya.

Sejauh yang Seokjin kira, Jisoo hanya marah karena Hera mendatanginya. Salahnya adalah; Seokjin tidak menelisik lebih dalam. Memilih membiarkan Jisoo dengan persepsi bahwa gadis itu mungkin hanya butuh waktu sendiri. Jadi Seokjin membiarkannya. Membiarkan Jisoo dengan dunianya.

Yang Seokjin tidak tahu; Jisoo tengah membangun dunia baru.

Tanpa dirinya.

****

Seokjin berniat bicara empat mata dengan Jisoo. Sudah cukup Jisoo mendiamkannya, mereka harus bicara. Semua harus jelas. Harus tuntas. Pernikahan mereka sudah di depan mata, jadi tidak boleh ada yang disembunyikan.

Sayangnya, Seokjin tak lagi mendapati presensi Jisoo dimanapun. Tidak di ruangannya, tidak di apartmentnya, tidak pula di kampung halamannya. Jisoo sempurna menghilang. Jisoonya pergi.

Esok harinya Jennie mendatangi Seokjin. Menyerahkan kotak beludru dan sebuah amplop berwarna hitam pada Seokjin. Jantung Seokjin bertalu saking gugupnya, jemarinya bergetar membuka kotak dalam genggamannya.

Itu cincin Jisoo. Lebih tepatnya, cincin yang ia berikan pada Jisoo. Dan surat itu, surat beramplop hitam yang ditujukan untuknya.

Sempurna sudah kekacauan di hati Seokjin. Sudah terlalu terlambat untuk dibenahi. Jisoonya pergi dengan segudang kesalahpahaman. Jisoo pergi karena Seokjin terlambat memberi pengertian.

Pemuda itu merutuki kebodohannya. Lagi-lagi harus kehilangan cintanya, lagi-lagi ditinggalkan.

Seokjin muak. Rasanya bahkan lebih sakit dibandingkan saat Hera meninggalkannya.

Maka dengan tergesa Seokjin berlari meninggalkan rumah sakit, mengabaikan tatapan bingung dari orang-orang yang dilaluinya. Mengabaikan suara-suara yang meneriakkan namanya.

Seokjin tidak peduli. Prioritasnya adalah Jisoo. Dia telah bersumpah pada semesta untuk tidak menyakiti perempuan berhati lembut itu. Tapi nyatanya, Seokjin justru menjadi pelaku utama atas kesakitan yang dialami oleh Jisoo. Perempuan yang ia janjikan untuk bahagia. Perempuan yang ia ajak menua bersama.

Ini harus diluruskan.

Lantas Seokjin memacu mobilnya. Tidak punya tujuan, terserah saja. Mengelilingi Korea pun tidak masalah. Isi kepalanya dipenuhi oleh Jisoo, Jisoo, dan Jisoo. Tidak ada nama lain. Maka persinggahan pertamanya adalah rumah Jisoo di Gwacheon. Berharap masih ada kesempatan untuknya, merapal doa agar tidak terlambat.

Tapi nyatanya Seokjin benar-benar terlambat. Jejak Jisoo tak lagi terlacak. Perempuan itu sempurna menghilang dari hidupnya. Seokjin bahkan harus mengarang cerita pada eomma dan appa Jisoo. Bilang kalau mereka sedang bertengkar.

Tidak. Kali ini, Seokjin tidak mau kehilangan lagi. Jisoonya akan kembali padanya. Salah paham ini akan segera diluruskannya. Satu tangannya memegang stir, sedang yang satu lagi meremas surat yang dituliskan Jisoo.


Seokjin-ah, terima kasih untuk semuanya.

Kau masih mencintainya, harusnya aku tahu itu. Dan harusnya, aku tidak menaruh harap padamu. Aku mendengarnya sendiri, mendengar kau mengakui perasaanmu padanya. Tidak masalah, kembali saja padanya, tidak perlu pedulikan aku. Tentang perasaanku, biar kurasakan sendiri. Biar kupungut retakan ini sendirian.

Aku pergi, Seokjin. Tidak perlu mencariku. Separuh jiwamu sudah kembali. Jaga dirimu baik-baik, bahagialah. Aku menyayangimu.

-Kim Jisoo.

Epiphany | JINSOO ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang