Seisi rumah sakit dibuat geger ketika sosok Hera datang dan menemui Seokjin. Tersenyum seolah tak pernah melakukan kesalahan apapun.
Kemarin, Seokjin sudah memantapkan hatinya. Memilih mengabaikan pesan Hera dan menghapus sekaligus memblokir nomornya. Tapi yang terjadi sekarang justru membuat kepala Seokjin hampir pecah.
Hera mendatanginya di rumah sakit. Memeluknya di depan rekan kerjanya yang lain. Mengucapkan kalimat-kalimat berisi rindu, rindu, dan rindu.
Jisoo yang baru selesai melakukan operasi besar selama enam jam jelas dibuat bingung ketika beberapa perawat tampak gelisah ketika menatapnya. Lantas kebingungannya terjawab ketika tanpa sengaja mendengar salah satu rekannya berbicara bahwa Hera kembali menemui Seokjin.
Jisoo mencelos. Berbagai praduga bersarang di kepalanya. Ketakutan demi ketakutan mulai merayapinya. Ada banyak perasaan yang tak bisa dilisankan. Dan Jisoo tanpa pikir panjang segera memacu langkahnya ke ruangan Seokjin, menuntut penjelasan pada calon suaminya itu.
Dan disana, seolah jantung Jisoo berhenti berdetak untuk sesaat. Seokjin memang ada disana. Berdiri membelakanginya dengan Hera yang tengah memeluk tubuhnya. Tidak ada yang menyadari kedatangan Jisoo. Tidak Hera sekalipun.
"Seokjin-ah, katakan padaku kalau kau mencintaiku."
Lutut Jisoo melemas. Tidak ingin mendengar jawaban yang keluar dari mulut Seokjin, tapi rasa penasaran menguasai dirinya. Jadi Jisoo tetap bertahan di tempatnya. Menunggu dengan hati yang berdebar tak karuan.
"Ya, Hera, aku memang mencintaimu."
Sudah. Sempurna sudah retakan itu. Ah, bukan retakan. Jisoo bahkan tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Hatinya kebas, mati rasa. Lalu tanpa bicara apa-apa Jisoo menyeret langkahnya untuk menjauh. Meredam gemuruh yang bertalu di dadanya. Menekan sesak yang sewaktu-waktu bisa merenggut kesadarannya.
Jisoo mengunci dirinya di salah satu bilik toilet. Menangis disana. Menumpahkan seluruh air matanya. Luruh sudah. Runtuh juga pertahanannya. Ia merutuki diri, menertawakan dirinya sendiri yang terlalu mudah menjatuhkan hati.
Tidak ada yang bisa menggambarkan kacaunya dia saat ini. Harusnya dia paham, bagaimanapun dirinya tidak akan pernah bisa menggantikan Hera di hati Seokjin. Tidak bahkan ketika Seokjin bersikeras mengatakan cinta padanya.
Jisoo merasa, pengertian cinta yang dia dan Seokjin berikan adalah dua pengertian yang berbeda. Dimana Jisoo mencintai Seokjin dengan seluruh hatinya, dan Seokjin mencintai Jisoo untuk sebuah pengalihan rasa.
Dan dengan langkah yang terseok, Jisoo membasuh wajahnya di wastafel. Menghilangkan jejak-jejak air matanya. Jisoo harus terlihat baik-baik saja. Setidaknya untuk beberapa jam ke depan.
Tapi ternyata tidak bisa. Tangisnya kembali pecah kala Jennie datang dan menanyakan keadaannya. Jisoo memeluk Jennie tanpa aba-aba, menumpahkan air matanya hingga membasahi snelli milik Jennie.
Jennie jelas terkejut. Kim Jisoo yang dikenalnya adalah sosok yang selalu menebar senyum. Tidak pernah sekalipun Jennie melihat kesedihan di mata Jisoo. Jadi melihat Jisoo menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya begini sungguhan membuat hatinya ikut terluka.
Jennie tidak tuli, dia jelas mendengar desas-desus bahwa Hera mendatangi Seokjin. Tapi melihat Jisoo yang seperti ini, Jennie jadi yakin kalau masalah yang terjadi tidaklah sesederhana Hera mendatangi Seokjin. Ini mungkin lebih buruk dari perkiraannya.
Jisoo sudah tidak peduli apapun lagi. Tidak peduli bahkan jika ada yang memergokinya tengah menangis di pelukan Jennie. Sekali ini saja. Biarkan Jisoo meluapkan emosinya sekali ini saja. Sebelum kegelapan mengambil alih tubuhnya, dan suara pekikan Jennie menjadi suara terakhir yang dia dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany | JINSOO ✔
FanficSeokjin pikir, Jisoo itu serupa malaikat tanpa sayap yang dikirim Tuhan untuk menyembuhkan patah hatinya. Ibu peri baik hati yang selalu menebar aura bahagia dimanapun tempatnya berpijak. Juga, ibu dari anak-anaknya kelak. Start : 29 April 2020 Fini...