Part 6

0 0 0
                                    

Saya kembali pulang ke Indonesia setelah tiga tahun lamanya, bareng dengan Shel. Setelah sampai di bandara Jakarta, ia telah ditunggu oleh keluarganya. Sehingga baru saja kami sampai, saya sudah berpisah lagi dengannya. Haha, maaf sedikit lebay bagi saya perkataan barusan.

Bunda memang selalu agak lama dalam hal seperti ini. Mungkin sekitar satu jam setelahnya baru akan sampai. Yah, bagian saya menunggu bunda tidak ada yang spesial. Setelah bosannya menunggu hingga bunda datang, saya hanya duduk sedikit kesal karena seperti anak hilang.

"Cie, tampilan udah sopan lagi, kenapa nih?"

Suara itu, bukan bunda, melainkan Kak Helen. Ia langsung mengacak rambut saya saat bertemu. Yang seharusnya pelukan karena sudah lama tidak bertemu, Kak Helen malah mengejek adiknya.

Saya menggeleng dan menyangkal ucapannya, "ngga tuh."

"Iya deeh.. Orang rumah udah pada tahu kalau kamu pulang."

"Ohya? Terus mereka, Bunda sama yang lain mana, ga ikut jemput? Kakak doang? Katanya Bunda yang mau jemput."

Kak Helen tersenyum kecil, "mereka sibuk.."

"Tapi mereka senang dan bangga padamu, yon. Apalagi Ayah di sana."

Saya mengeluarkan napas pelan, mereka selalu sibuk, bahkan Kak Helen juga. Sejujurnya, saya sedikit lega ketika bunda menginginkan saya kuliah di luar negri. Karena terasa sama saja saat saya di apartemen sana maupun di rumah. Perbedaannya, saya bisa bertemu Shel dan saat saya di rumah belum tentu.

"Ayo pulang, bunda udah luangin waktu masak banyak. Tadi juga gue denger bunda udah hubungin Mel, dia bakal mampir."

Saya terlonjak. Hari yang capek ditambah bertemu manusia yang membuat capek bertambah dua kali lipat. Saya ingin protes namun Kak Helen menahannya. Kak Helen memaksa saya masuk mobil untuk segera pulang.

°°°

"BRIII! YOOON!!"

Benar saja, jam setengah sembilan malam, seorang pria dengan suara berat memanggil. Saya mengacak rambut dan membuka pintu dengan kasar. Dengan tubuhnya yang sedikit lebih berotot dari saya, ia layangkan sebuah pelukan yang erat. Terlalu erat.

"Kangen gue woi!"

Saya menjauhkan wajahnya, terlihat raut yang dibuat-buat mewek itu. Saya berdecak, "gue enggak!"

"Loh? Tumben baju lo ga bau rokok, Bri!"

Bunda datang dan menyambut baik Melvin. Bahkan bunda menawarkan makanan yang masih ada dan hebatnya Melvin menerima dengan senang hati. Saya mendengus dan bilang jika ia sudah selesai, saya menunggu di kamar saya.

Saya memasuki kamar yang..., sedikit berdebu. Mungkin tidak terlalu sering di bersihkan. Cat tembok dengan warna biru, meja belajar yang hanya terdapat beberapa buku bimbel dan kasur dengan seprai yang sama. Tidak ada yang berubah sama sekali.

Saya tertegun dan membersihkan konsol game yang sudah lama tidak terpakai. Mungkin sekarang saya dan Melvin akan kembali bermain ini sekarang.

Tak lama, pintu terketuk beberapa kali dan muncul pria dengan sawo matangnya yang khas banyak digemari oleh para cewek saat itu. Melvin muncul dengan senyuman seperti biasanya dan langsung duduk di atas kasur.

"Gue belum sempat lagi beli game yang baru, yang terakhir kita maenin aja?"

Melvin menyengir dan menerima lemparan stick game. Tidak ada yang berubah, seperti saat terakhir saya bermain dengannya. Saya dan Melvin saling melemparkan kata kasar. Saya sedikit rindu pada masa ini, masa saat dahulu.

Tiba-tiba, Melvin mendiamkan karakternya dan ia habis terbunuh oleh karakter milik saya. Saya menoleh dan mendapati dia yang terlihat kebingungan.

"Bri, gue mau ngasih tau sesuatu."

Melvin meletakkan stick game dan menatap mata saya sesaat lalu mengalihkan kembali.

"Ada orang yang mau gue lamar, tapi gue belum pernah kontakan sama sekali. Saling kenal aja mungkin dia ga tau, tapi gue selalu inget dia."

Saya seperti pernah mendengar hal mirip ini. "Oh yang namanya-"

"Ta'aruf."

Melvin tersenyum kecut. Melihat raut merah di wajah bodohnya, saya tertawa tidak bisa tertahan.

"Lo ga tau kalo ga nyoba. Sejak sma kan lo yang paling banyak dikejer cewek daripada gue."

"Serius lo, ngaku gue lebih laku ya?"

Saya melempar bantal tepat pada wajahnya. Ia tidak menghindar sama sekali.

"Apapun itu, gue bakal terus jadi sahabat lo, Bri. Kalau lo nemu cewek yang lo suka kasih tau gue."

Saya tersenyum miris. Saya tengah menyukai seseorang. Namun, saya tidak bisa memberitahu padanya, entah mengapa.

•••

(not) PLATONICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang