Part 8

0 0 0
                                    

Shel belum memesan apapun, hanya buku yang dibaca yang menjadi fokusnya. Dengan cepat saya memasuki resto, tanpa sadar kalau helm masih menempel di kepala saya. Shel yang melihat saya seketika tertawa. Saya membalas dengan tawaan menahan malu.

"Buru-buru amat, lagian aku dari sini ga kabur."

Setelah melepas helm, Shel tersenyum dan saya membalasnya serupa.

"Apa aku udah pernah bilang? Penampilan sopan kamu sekarang menurutku lebih menarik daripada saat kita pertama bertemu."

Bagus, sekarang saya seperti ingin pergi saja ke angkasa. Melihat dirinya yang fokus lagi pada buku, saya berdeham dan kembali memulai pembicaraan.

"Ngomong-ngomong, mau bicara apa? Mau lanjut S2?"

Shel menggeleng kecil, "Ah iya. Link, kamu di Indonesia sampai kapan?"

"Sekitar tiga minggu lagi? Ga tau juga sih, kenapa?"

"Ooh.. Aku cuma mau ngundang kamu ke acara pernikahan."

Saya mengangguk-angguk, "kakakmu menikah?"

"Bukan, dia udah punya anak. Lupa?"

Saya mengernyit, menunggu ia melanjutkan pembicaraan. Shel menyengir dengan lebar.

"Aku dilamar."

"Dan.. pernikahannya dua minggu lagi, cepet banget."

Napas dan jantung saya seakan berhenti. Bahkan rasanya seperti merosot.

"Wah, bagus dong, aku senang. Siapa yang lamar?"

"Melvin Muzaffar."

Ah. Saya pernah bilang, jika keberadaannya saja saya sudah cukup bahagia, walau tidak pernah kontak fisik pun, saya senang bersamanya. Saya tidak peduli jika saya bukan takdirnya. Tapi, mengapa sakit sekali? Saya menelan ludah dengan kesusahan.

"Juga.. Terima kasih, Link. Selama tiga tahun ini kita berjuang bareng."

Saya mengalihkan pandangan. Apa boleh, saya memberitahukan perasaan saya? Setidaknya agar saya lega karena sudah mengeluarkannya. Setidaknya agar ia tahu. Kapan lagi saya bisa bertemu dengannya jika ia sudah menjadi milik orang lain? Terlebih lagi sahabat saya.

Mungkin juga, saya baru menyadari dari sekian lamanya, ini bukanlah platonik, melainkan cinta sepihak.

"Nanti undangannya paling aku kirim lewat pesan, pernikahan ini sederhana dan tamunya juga-"

"Leila."

Saya memanggilnya.., dengan nama depannya. Tanpa sedikitpun tersadar. Shel yang tengah berbicara pun berhenti dan mengangkat kedua alisnya.

"Gu-a-s-saya!"

"Maaf, saya suka kamu sudah hampir tiga tahun dan.., saya banyak berubah sejak kita bertemu. Saya tau diri kalau kita bukan takdir tapi tetep aja.."

Shel menghembus napas lembut. "Setiap orang ditakdirkan berpasangan.., dan di sini aku sudah bertemu dengan jodohku. Kamu juga, cepat atau lambat pasti akan bertemu dengan tulang rusukmu... Terima kasih, udah menyukaiku, Bri."

Mata saya pedih. Jangan sampai air panas keluar dari mata di hadapan Shel. Saya mengangguk dan tersenyum seperti biasanya. Setelahnya, saya kira akan menjadi canggung. Ternyata, ia langsung mencari topik dan mendapatkan pembicaraan yang tak kunjung usai. Hingga lupa waktu, matahari pun hampir tenggelam. Namun, hujan masih belum berhenti dari tadi. Malah, semakin deras. Niat saya yang akan pamit sebelum matahari terbenam, malah kebangblasan seperti ini.

Shel membuka ponsel saat mendengar notifikasi masuk. Ia membuka matanya lebar dan melihat keluar jendela. Mobil hitam sudah terparkir di depan resto. Saya ikut menoleh dan langsung mengenal pemilik mobil tersebut. Siapa lagi kalau bukan Melvin.

Shel langsung pamit pada saya. Saya pun mengantarnya hingga depan. Melvin keluar dan sedikit kaget mendapati saya sedang bersama calon istrinya. Ia mendekat dengan payung miliknya.

"Bri?! Waw kalian saling kenal juga?"

Saya sedikit khawatir untuk kedepannya. Rasa cemburu yang dimiliki Melvin itu.. Bahkan lebih kecil dari satu butir gula. Melvin menghantar Shel dengan payungnya sampai ia memasuki mobil. Lalu, balik lagi pada saya. Saya mengernyit, ketika ia menyodorkan payung miliknya.

"Gue naik motor, ngapain pake payung?"

Balasannya, ia membulatkan mulutnya. Ck.

Saya mendekati motor dan membuka bagasi. Lalu menyodorkan bunga yang baru saja saya beli pada Melvin. Ia kebingungan. "Bri, gue kan mau nikah."

"Ya, anggap aja ini bunga atas selamat pernikahan lo. Gue bakalan dateng kok."

Tatapan Melvin serius, sepertinya ia menyadari sesuatu. "Bri, kenapa lo ga ngasih-"

"Ngga kok. Gue gada niatan segitunya. Apalagi kepercayaan gue kan berbeda."

"Please, be perfect husband for her. Pergi lo, Shel nungguin."

Melvin terkekeh, "bisa cringe juga lo. Makasih, Bri!"

Ia pun berlalu dengan membawa bunga dari saya, lalu memasuki mobil setelah melambai sekali lagi. Tak lama mereka pun pergi menjauh menerobos hujan.

Saya mengambil napas dalam. Mengambil permen sebagai pengganti rokok. Saya benar-benar berhenti merokok setelah beberapa bulan lalu. Mungkin hampir setahun. Saya menatap atap yang menampung air hujan dan mengalirkannya hingga berjatuhan ke tanah. Seiring jatuhan hujan yang cepat, air yang terasa panas pun mengalir sama cepatnya. Saya menutupi wajah dengan kedua tangan. Merutuki diri sendiri.

Maaf Ayah, saya tidak pernah menangis, saya sudah menjadi pria kuat seperti yang ayah ucapkan, tapi seketika saya menjadi cengeng seperti ini. Terlebih lagi hanya karena seorang wanita.

•••

(not) PLATONICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang