Rindu

49 6 0
                                    

Kesenduan malam ini sangat terasa bahkan angin pun menyapa sampai ke sukma. Melengkapi sepi yang kian menepi. Kei diam tertatih di balkon. Matanya menatap langit malam, tidak ada satu bintang pun yang dia temukan. Hanya rinai hujan yang masih terlihat. Entah apa yang mengganggu pikirannya kali ini. Kei hanya perlu memastikan bahwa hatinya baik-baik saja.
"Ternyata aku sudah 3 tahun berada di sini. Rasanya baru kemarin. Waktu memang berlalu dengan cepat. Rasanya kali ini aku benar-benar merindukan rumah. Apa tahun ini aku kembali ke Indonesia aja ya? Tapi, sebentar lagi musim dingin. Mungkin lebih baik aku masih berada di Kanazawa. Setidaknya sampai musim dingin berakhir." Gumam Kei pelan.

Kei beranjak dari tempat berdirinya. Dia masuk ke kamar dan menutup pintu balkon. Kei hanya perlu menenangkan dirinya.

Aroma petrikor menyebar ke setiap sudut bumi. Rinainya masih bercengkrama dengan alam. Kei kembali menatap ke luar jendela. Pandangannya seolah menembus dunia di luar sana. Banyak hal yang ia rindukan. Sungguh, Kei ingin beranjak dari tempat duduknya kemudian berlari ke alam bebas. Berteriak di tanah lapang, di atas bukit. Melepas sesak yang membuatnya terisak. Melepas beban yang membuatnya tertekan. Sungguh, Kei ingin melakukannya. Saat ini juga! Tapi... Semua itu hanya sampai pada batas semunya. Seketika, Kei memalingkan wajahnya dari jendela, ia beranjak dari tempat duduknya bukan untuk berlari melainkan untuk berbaring menenangkan risau yang tengah mengacau.

Sesekali, Kei memejamkan matanya. Berharap semuanya lekas membaik ketika ia membuka mata. Tapi, keadaan tak semudah itu berubah. Setiap hal memerlukan proses dan proses membutuhkan waktu. Hanya menunggu yang bisa ia lakukan hingga waktu akan membawanya pada sebuah temu penuh rindu.

Ruang dan waktu sedang berotasi pada porosnya. Saling berjuang demi luang yang telah hilang. Memberi harap bahwa hidup akan baik-baik saja. Hati yang meronta, logika yang berputar, bahkan rasa yang bergemuruh seakan menjadi pelengkap beberapa hari ini.

Kei tidak mempertentangkan persoalan ini. Ia tidak ingin menetap dengan meratap. Kei hanya rindu. Itu saja. Perihal rindu yang mengangkasa membuatnya terjerembab di antara beribu asa.

Kei beranjak dari tempat tidurnya. Tangannya meraih sebuah buku yang tergeletak di atas meja. Ia membaca halaman demi halaman hingga sampai di halaman terakhir. Namun, seketika ia terdiam sejenak. Lagi-lagi pikirannya tak tentu arah. Hatinya benar-benar meronta. Logikanya kali ini berontak. Kei benar-benar rindu semua kenangan ketika ia masih di Indonesia. Sesekali, Kei teringat raut wajah Bundanya yang khawatir. Bundanya seringkali khawatir karena Kei memiliki masalah kesehatan dengan paru-paru yang mengharuskannya terapi selama bertahun-tahun dan berobat berkali-kali. Terlebih, kondisi Kei yang sedari kecil memang memiliki imun yang lemah. Bagi Kei, belasan tahun lamanya bolak-balik ke dokter bukan lagi sesuatu yang aneh. Bahkan, di Kanazawa pun sebulan sekali Kei harus mengecek perkembangan kesehatannya. Untung saja, paman Kantan memiliki teman dokter sehingga Kei pun tidak kesulitan mencari dokter yang cocok untuknya.

Sudah beberapa hari, Kei menjadi sedikit pendiam. Keceriaannya tak seceria yang dulu bahkan tawanya mulai meredup. Terlalu banyak hal yang mengusik pikirannya. Tiba-tiba dadanya kembali terasa sesak. Ia harus berjuang menstabilkan aliran oksigen untuk mengatur nafasnya. Kei selalu berusaha mensugestikan pada dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.

Dunia hari ini tidak senyaman dunia masa kecilnya ketika Kei bebas berlari ke sudut Bumi mana pun, mengejar mimpinya, bahkan terbang bersama arus imaji. Kei kembali berbaring, ia mulai memejamkan matanya. Berharap hari esok akan lebih baik.

Sakura TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang