"Kei, tolong siapkan 2 mangkuk ramen untuk meja No 17, kemudian 1 porsi tempura, 1 porsi onigiri, dan 2 porsi mochi untuk meja No 24." Ucap paman seraya membaca list pesanan para pelanggan.
"Baik, paman."
Kei segera menuju dapur kedai, dia mempersiapkan semua pesanan untuk segera diantarkan ke mejanya masing-masing. Hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit semua pesanan sudah siap dihidangkan.
"Selamat menikmati." Ucap Kei dengan ramah seraya memberi senyuman kepada setiap pelanggan.Kei selalu merasa bahagia jika masakannya dapat membuat orang lain tersenyum. Ya! Dia memang pandai mengolah bahan makanan. Hampir semua orang di sekitar Kanazawa tahu bahwa Kedai Zutto adalah kedai terbaik. Makanan apapun yang dipesan tidak pernah mengecewakan pelanggannya. Sebenarnya, sudah hampir 10 tahun kedai ini berdiri namun baru 3 tahun terakhir ini kedai selalu ramai pengunjung. Ya... 3 tahun yang lalu sejak Kei pertama kali menginjakkan kakinya di Jepang. Dan sejak itulah Kei bekerja di Kedai Zutto, kedai milik pamannya.
"Paman, aku izin keluar sebentar ya?"
"Oke. Hati-hati, Kei."
"Siap, paman."Kei keluar melalui pintu depan. Dia berjalan menuju salah satu toko buku yang tidak terlalu jauh dari kedai. Memang sudah rutin, satu minggu sekali Kei mengunjungi toko buku dan jika ada buku yang dirasa cocok maka dia langsung membelinya.
"Kei..." Teriak seseorang yang tidak asing lagi ditelinga Kei.
"Yara?"
"Mau kemana?"
"Biasa.. Ke toko buku."
"Toko buku Kazumi?"
"Iya."
"Tutup, Kei. Baru saja aku dari sana."
"Wah? Kenapa tutup ya?"
"Gak tahu. Mungkin memang tidak buka untuk hari ini."
"Ooo.. Ya udah deh gak apa-apa. Makasih, Ra."Yara berlalu dari hadapannya. Kei pun memutar arah. Tapi bukan untuk kembali ke kedai melainkan ke sebuah taman yang seringkali dia kunjungi. Dengan memakan waktu sekitar 30 menit, Kei sudah sampai di tempat tujuannya.
Kei duduk di atas rerumputan hijau yang lembut. Kei menekuk lututnya dan menyimpan dagu diatasnya. Kedua tangannya memegangi kedua lutut yang telah ditekuk itu. Pikirannya kembali tanpa arah. Ia menatap jauh ke arah matahari terbenam. Kei hanya merasa bahwa dirinya telah kehilangan sesuatu. Entah apa. Tapi rasanya hampa."Hei, jangan melamun! Kenapa sih?" Sontak suara itu mengejutkan Kei hingga ia terperanjat dibarengi sepasang mata yang terbelalak.
"Kenzooooooooo... Ya ampun ngeselin banget. Nggak usah ngagetin bisa nggak sih?" Teriak Kei kesal.
"Nggak bisa. Ha.. Ha.. Ha.."
"Malah ketawa. Dasar tukang iseng."
"Gomen..."
"Hmmm..."
"Ya habisnya sih kamu melamun. Jadi anak broken home itu jangan kebanyakan melamun, ntar kelihatan crazy tanpa arah."
"Gak usah sebut kata itu lagi, bisa?"
"Jangan marah. Gomen."
"Ya udahlah lagian gak apa-apa sih. Kamu gak perlu minta maaf. Aku memang anak broken home. Dan kamu nggak salah bilang seperti itu."Senja semakin menghilang dari peraduannya. Nuansa gelap kembali menyelimuti langit yang masih menunggu bintang-bintang untuk menghiasinya dengan kerlipan-kerlipan yang indah. Setidaknya sekumpulan kerlip itu memberikan sedikit cahaya untuk langit.
Broken home. Kata itu seringkali mengusik pikiran Kei. Bahkan tidak jarang membuat harinya kembali berantakan. Kei memang seringkali sensitif jika kata itu terlontar untuknya tapi sampai kapan pun, Kei tidak akan pernah bisa memungkiri hal itu.
Hatinya telah patah sejak lama. Kei merasa bahwa hatinya tak pernah utuh semenjak peristiwa belasan tahun yang lalu. Tapi, Kei selalu berusaha berjuang dalam hidupnya meski ia merasa tak sesempurna yang dulu. Kei sadar bahwa kehidupan tidak melulu soal keutuhan hati, lebih dari itu ada sekumpulan bahagia kecil yang harus ia perjuangkan. Misalnya, kebahagiaan para pelanggan Kedai Zutto ketika menikmati makanan buatan Kei.
Awalnya, Kei memandang bahwa broken home telah membuatnya tak tentu arah. Mencari kebenaran yang sebenarnya sejak dulu telah ada dihadapannya. Sekarang Kei sadar, broken home atau pun tidak, dia tetap harus berjuang dan semangat dalam setiap langkah hidupnya. Ternyata, memandang sebuah broken home dari sudut yang lain tidak semenyakitkan sebelumnya. Jauh lebih baik. Rasanya lebih damai.
"Ganbatte, ne!" Ucap Kei kepada dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakura Terakhir
Fiksi UmumWaktu membawa pemiliknya kepada hal-hal tak terduga. Membuatnya terpana bahkan tertatih. Begitupun perihal juang. Selalu ada air mata yang tak pernah terlewat. Selalu ada luka yang seringkali menganga. Bahkan ada pula tawa yang mengikis sepi. Semua...