Bagian V

113 3 0
                                    

Aku tidak tahu pastti pukul berapa bisa tertidur lelap. Seingatku kala itu malam sudah sangat hening. Aku berada di sebuah tempat yang sangat terang. Tidak ada apa-apa selain kehampaan. Tiba-tiba suara air menderu dari arah timur. Seketika tubuhku dihanyutkan dan tak tahu kemana air itu membawaku. Anehnya, air itu sangat bening dan menyejukkanku. Tak lama kemudian aku sudah  berada di sebuah ruang kosong. Sangat gelap dan menakutan. Tubuhku bergidik kedinginan dan terasa kaku. Tiba-tiba kakiku menyentuh sesuatu yang lebih dingin dari dingin yang pernah kurasakan. Segera kutundukkan pandangan dan “Es? Ini salju?” gumamku. Kemudian kuedarkan pandangan ke sekeliling. Terlihat putih-putih menutupi seluruh permukaan. Aku memejamkan mata sekedar untuk menikmati suasana ini.
“Hihihihihihihihihihihihihihihihi....Selamat datang di alam kedamaian Onaku. Tak lama lagi kau akan menajdi bagian dariku” sentuhan hangat menyusup masuk ke sela-sela jariku. Aku tersentak dan membuka mata. Sosok yang sangat menakutkan itu hanya beberapa melimeter dari puncak hidungku. Mata merah yang tidak utuh mengeluarkan bau busuk. Hidung yang datar mengeluarkan nanah dan darah. Membuatku merasa mual dan ingin muntah. Bibirnya seperti mengucapkan sesuatu dan tangan-tangan hangus itu berusaha untuk merangkul tubuhku. Kali ini tubuhku lebih menggigil dari sentuhan es itu. “Kuntilanak sialan, kenapa kamu selalu menggangguku? Apa salahku? Apakah ada sesuatu yang salah dari sikapku? Atau bagaimana?” rintihku dengan menghiba seraya terus menghindari sosok menjijikkan itu. Tiba-tiba kakiku menginjak sesuatu dan tubuhku melayang ke dalam lubang yang sangat jauh menembus inti bumi.
Dengan nafs tersengal-sengal, aku terbangun. Rasanya sungguh nyata, tetapi ternyata hanya mimpi buruk. Untungnya kali ini aku tak berteriak. Tapi kenapa kuntilanak yang sama lebih sering muncul dalam mimpiku. Bahkan hampir disetiap tidurku selalu diganggu. Aku termangu di atas tempat tidur. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul empat pagi hari. Aku emncoba memberanikan diri berjalan ke arah jendela sekedar menghirup udara pagi ini. Barangkali aku kekurangan udara bersih sehingga pikiranku selalu digelayuti hal-hal yang buruk.
Di jendela kulayangkan pandangan menembus kabut tipis. Di ujung sana kulihat sebatang pohon yang samar-samar. Tetapi lama kelamaan pohon itu seperti bergerak dan daun-daunnya tidak terlihat seperti daun-daun. Kucoba mengingat-ingat, barangkalai itu bukan pohon. Tepai...ah bukankah di ujung sana tidak ada apa-apa? Dan tepat dihadapanku berdiri sosok yang tidak asing lagi bagiku. Kucoba mengusap-usap mataku, mungkin pandanganku sedang tidak waras. Lantas kulihat lagi sosok itu seraya mematut-matutnya. “Ku...ku..kun...tiiiii...laaaa – “ segera kututup jendela kamar dan kembali bersembunyi di balik selimut. Hingga adzan subuh berkumandang barulah aku keluar dari persembunyian.
Pagi ini aku merasa sangat mengantuk. Jelas saja, semalaman aku tidak dapat merasakan tidur nyenyak. Selama upacara bendera berlangsung aku hanya berdiri mematung tanpa mengacuhkan apa yang tengah terjadi disekeliling. Bahkan aku tak menyadari bahwa Okan berdiri tepat di hadapanku. Lebih parahnya lagi, dengan tidak ada rasa malu si Kira bersikap manja dan berusaha mencuri perhatian Okan si guru baru.
Rasanya upacara telah berakhir, aku segera memasuki ruangan dan duduk di kursi dekat ruangan piket. Beberapa siswa menyapaku, sebagian besar seperti ketakutan melihatku. “Hei, kamu kenapa?” Farah mendekatiku seperti khawatir dengan kondisiku. Aku menggelengkan kepala dan berusaha memebrikan senyum termanis untuknya. “Kamu yakin?” tanyanya kemudian. Sebelum aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba segerombolan siswa berlari-lari di lapangan seiring dengan teriakan histeris dari salah satu kelas. “Wah ada yang kesurupan kayanya!” seru Jodi guru penjaskes. Ia pun berlari menuju sumber suara dan segerombolan siswa tadi kembali membawa sebuah tandu. Mungkin untuk membopong temannya yang kesurupan.
Kesurupan? Baru kali ini ada siswa yang kesurupan. Rasa penasaran membawaku mendekati dia yang kesurupan menuju ruang UKS. Aku ikut menyeruak di antara kerumunan siswa/i yang penasaran dengan kejadian pagi ini. Tak lama kemudian bel berbunyi pertanda seluruh siswa/i diperintahkan masuk ke kelas masing-masing untuk memulai pelajaran pertama. Kini ruangan UKS tidak ramai lagi. Aku mencoba memperhatikan mereka yang ahli membereskan orang yang kesurupan. Tiba-tiba kepalaku pusing dan terasa mual. Penglihatanku menjadi kabur dan “Astaga!” teriakku spontan. Semua mata tertuju padaku, dengan gelagapan aku segera meninggalakn ruangan. Mereka terheran-heran melihatu dan aku tak peduli. Sesampainya di ruanganku, kucoba tenangkan diri. Semoga saja apa yang kulihat barusan hanya sebuah halusinasi.
Beberapa waktu kemudian suasan di ruangan UKS menajdi lebih tenang. Sepertinya setannya sudah keluar. Perutku terasa lapar dan ingin makan. Aku segera menuju warung yang berada tak jauh dari tempatku. Ibu kantin sudah sangat hapal dengan seleraku sehingga tanpa dipesan dia sudah tahu pesananku. Aku duduk di bagian paling belakang karena pagi ini sedang malas berinteraksi dengan orang-orang. Di bagian depan kulihat ada sekelompok guru muda tengah sarapan juga. Samar-samar terdengar mereka sedang mebahas guru baru itu. Aku berusaha memasang pendengaran untuk menangkap beberapa informasi. Barangkali ada hal-hal penting yang harus aku ketahui.
“Eeh guru baru itu masih singel ya?”
“Iya, kenapa? Kamu suka dia?”
“Ah bukan, tapi dia terlihat agak aneh, apalagi pas mengobati si Putri tadi”
“Aneh darimananya?”
“Ya aneh saja! Mungkin dia punya indera ke enam kali ya!”
“Ah jaman sekarang masih percaya yang begituan”
Suara tawa pecah di antara mereka. Aku justru menjadi penasaran dengan sepenggal cerita mereka. Apa iya dia bisa menyembuhkan orang kesurupan? Karena bel telah berbunyi dan aku harus masuk kelas di jam berikutnya. Maka segera kuakhiri makan pagi ini dan bergegas menuju kelas tujuan.
Hari ini terasa sangat melelahkan sehingga aku pulang ke rumah lebih cepat dari jam biasanya. Sesampainya di rumah, aku segera masuk kamar dan “Tadaaaaaaaaa!” dari balik pintu kamar muncul Juriah yang berhasil membuatku hampir mati berdiri. “Ahhhhh kamu ini!” seruku seraya menarik rambut panjangnya yang dikuncir dua.
“Oon ada infotemen terbaru, mau tau gak?” ujarnya dengan antusias.
“Lagi males ngegosip!” jawabku malas lalu menghempaskan tubuh di kasur.
“Meskipun tentang pembebasan diri dari gangguan kuntilanak?”
Aku segera bangkit dan duduk mendekati Juriah yang berhasil merubah moodku sore ini. Dengan mata berbinar-binar aku memaksanya untuk segera bercerita. Tetapi yang namanya Juriah selalu banyak maunya jika aku butuh bantuannya. Dengan terpaksa aku harus mengeluarkan selembar uang duapuluh ribu dan memebrikan padanya.
“Nah, gitu dong! Katanya sodara jangan pelit, hahaha”
“Ayo buruan, gimana tentang rencana kita kemarin?”
“Begini Oon, setelah aku browsing di google, rupanya ada dukun yang lebih keren!”
“Dimana? Kamu sudah catat alamatnya? Kapan kita ke sana? Apa deskripsinya?”
“Ya Tuhan Oon, jangan serang dengan pertanyaan gitu. Tenang! ku akan jelaskan satu persatu. Yang penting mental kamu harus siap mendengarkan setiap penjelasan aku. Nah, sekarang kamu sudah siap?”
“Ya, siap gak siap aku harus siap. Daripada aku diganggu terus”
Juriah menjelaskan dengan sangat detil dan hati-hati. Bahkan Juriah memberikan ide bagaimana cara mengelabui orang tua kami agar tidak terjadi kecurigaan. Disamping itu, Juriah juga membawa dua orang temannya yang mengalami nasib sama denganku. Jadi, misi ini merupakan misi bersama yang akan kami lakukan secara diam-diam. Tetapi aku agak enggan dengan ide Juriah. Karena bagaimanapun juga sebuah pekerjaan tanpa sepengetahuan orang tua akan mendatangkan malapetaka. Katanya begitu, meskipun aku tidak terlalu percaya dengan hal-hal yang demikian.
Setelah membicarakan beberapa pertimbangan. Akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti usul Juriah. Kami juga semat diskusi dengan teman Juriah yang dua orang lagi. Kebetulan tiga hari lagi libur semester dimulai. Aku punya kesempatan satu minggu penuh untuk menjalankan misi ini. Dengan tersenyum penuh kemenangan aku membulatkan tekad untuk membebaskan diri dari kuntilanak busuk itu.
Hari ini merupakan hari terakhir di sekolah. Artinya usai pembagian laporan hasil belajar aku dapat merasakan kebebasan. Tentu saja itu sangat mempengaruhi moodku. Aku terlihat lebih ceria, meskipun sebagian besar siswa masih menyatakan aku itu guru yang jarang senyum.
Pukul dua siang seluruh penghuni sekolah berebut gerbang, saling mendahului untuk pulang ke rumah. Mereka sangat bahagia menyambut musim liburan. Begitupun para guru yang tidak sabar melemaskan pikiran jenuh selama enam bulan menghadapi berbagai jenis perangai siswa. Termasuk aku yang lebih banyak jengkel setiap kali masuk kelas menghadapi mereka-mereka yang bervariasi perangainya.
Usai berkemas aku bergegas menuju gerbang. Di lorong sekolah, Kira mencegatku. Dengan tampang masam dia mendekatiku. Aku yang tak suka berurusan dengan Kira yang terkenal judes, tidak mempedulikannya.
“Ona! Kau kira aku gak tau tentang semua rahasiamu!” suaranya menggema di lorong itu. Aku segera menghentikan langkah dan membalikkan badan. Dengan heran aku membalas sorot matanya yang penuh kebencian terhadapku. “Aku tahu, kau pemelihara kuntilanak! Dan aku juga tahu misimu untuk mendaki Gunung Sigara di pulau Alakan itu!” seketika darahku berdesir dan bibirku menjadi kaku. Siapa yang memebritahunya? Padahal aku tidak pernah bercerita tentang kehidupan pribadiku, kecuali pada Juriah! Tanyaku pada diri sendiri. “Halah pakai pura-pura bengong! Kau pikir aku ini bodoh. Dan jangan pernah sekali-kali kau dekati lelaki impianku!” dengan mimik wajah yang tak ubahnya seperti kuntilanak itu. Kira mendekatiku dan menyenggol bahuku dengan keras. “Lelaki impian?” tanyaku tak mengerti. Kira hanya melemparkan senyum sinis dan berlalu dari hadapanku.
Di gerbang sekolah aku masih mebawa kejadian di lorong itu dalam pikiran. Tiba-tiba Okan muncul di hadapanku. Sia sengaja berhenti untuk mencari tahu sesuatu dariku. Itu dapat kurasakan dari auranya yang berbeda dari hari-hari biasanya.
“Nunggu ojek atau oplet?”
“Oplet, kenapa?”
“Bareng sama aku aja Ona, mau?”
“Hmmm aku sama oplet aja Kan”
“Ona, sebenranya ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan ke kamu”
“Lalu?”
“Ya makanya aku ajak pulang bareng”
“Hmmmm tentang apa?”
“Ona, ayo naik ke motor, gak enak dilihat orang”
Dengan terpaksa aku harus naik ke atas sepeda motornya. Perasaan ku menajdi semakin tidak enak melihat tingkah Okan yang aneh. Ditambah lagi dengan sikap Kira yang menjengkelkan dan membuatku membawa banyak pertanyaan di benak ini.
Diperjalanan ia menawarkanku untuk menemaninya bermain ke pantai dua minggu lalu. Meskipun aku sedikit enggan, akhirnya aku menyetujui usulannya. Selama tiga puluh menit diperjalanan kami saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesampainya di pantai kami mengambil tempat yang sama dengan pesanan yang sama. Cukup lama kami sibuk dengan pikiran sendiri-sendri. Pada akhirnya dia membuka pembicaraan terlebih dahulu.
“Ona, kamu kenapa terlihat aneh akhir-akhir ini?”
“Aneh? Maksudnya?”
“Ya, aku melihat kamu tidak seperti pertama kali kita bertemu”
“Ah, itu perasaanmu saja”
“Oh, hubunganmu dengan Kira gimana sih?”
“Ha? Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?”
“Hmmm, maaf tadi gak sengaja aku mendengar pembicaraan kalian di lorong”
“Oh, hmmmm itu cuma kesalahpahaman. Aku dan Kira baik-baik saja kok”
“Yakin?”
“Ya yakinlah. Ah kamu ini, jangan aneh-aneh mikirnya. Kan jadi gak enak, hahaha”
Tiba-tiba tubuhku menjadi kaku dan tak bisa bergerak. Mataku melotot menghadap ke laut. Pendengaranku sepertinya tak berfungsi lagi. Karena berkali-kali Okan menegurku tak kuacuhkan. Aku sibuk dengan bayangan yang mengganggu pemandanganku di permukaan laut itu. Aku menjadi pucat pasi dan terasa dingin seraya keringat mengucur. Okan benar-benar panik menyaksikanku yang bertingkah seperti orang kerasukan. “Pergi! Pergi kau setan!” teriakku seraya menutup wajah dengan kedua lutut dan telapak tangan.

Bala Anak PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang