Bagian VII

88 2 0
                                    

“Hihihihihi, selamat malam Ona! Apa kabarmu malam ini? Kau terkejut? Lalu ketakutan? Atau kebingungan?” kuntilanak itu merasuki tubuh Dira. Sebentar! Ada hubungan apa Dira dengan kuntilanak itu? Kenapa dia begitu mudah merasuki tubuh Dira?
“Hei, setan! Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau merasuki Dira?” bentakku pada kuntilanak itu. Untungnya Sinai dan Juriah tidak terbangun. Kali ini bukan rasa takut yang menghampiriku. Tetapi justru rasa amarah dan penasaran yang menggebu-gebu. Dengan secepat kilat Dira sudah berada tepat dihadapanku.
“Ona! Kuperingatkan padamu! Jangan pernah kau mendaki Sunung Sigara dan menemui dukun itu. Atau kau akan kehilangan segalanya”
“Maksud kamu apa?”
“Hihihihihihihihiiii...anak bodoh! Sudah jelas di gunung itu sangat berbahaya! Aku hanya tidak ingin kau celaka. Lalu aku akan kehilangan Onaku, huhuhuu” raut sedih seketika menghiasi wajah Dira yang dirasuki kuntilanak itu.
Aku masih tidak mengerti dengan apa yang dibicarakannya. Berbagai kekalutan menghampiriku. Manakah yang harus aku percaya? Dapatkah makhluk lelembut itu dipercaya ucapannya? Ya Tuhan bantu aku untuk keluar dari semua ini.
Tubuh Dira ditinggalkan dan kini ia telah sadar kembali. “Dira! Apa sebenarnya yang terjadi?” desakku seraya menggenggam kedua bahu gadis itu. “Ummmmm ti...tid..daak, a..aku tidak tahu Kak” sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu. Tetapi apa?
Perasaanku semakin tidak karuan setelah kejadian barusan. Rasanya ingin segera pagi menjelang dan aku segera mendaki Gunung Sigara. Lalu menemui dukun yang disebut-sebut sakti. Akhirnya aku memutuskan untuk menahan diri dan tidak mendesak Dira atau semua rencanaku akan gagal total.
Pukul delapan pagi kami telah berkumpul di kaki gunung bersama pendaki lainnya. Pagi ini ada sekitar sepuluh orang menunggu di depan ruangan permohonan mendaki. Satu persatu kuperhatikan dengan seksama. Deg tiba-tiba aku melihat sosok yang sangat familiar. Aku berusaha merapatkan diri ke Juriah yang sibuk menghabiskan roti panggang yang ia bawa dari penginapan. “Ju, kamu melihat seseorang gak?” tanyaku berbisik padanya. “Hah? Siapa?” ia memperhatikan sekeliling di antara kerumunan orang dan “Ah Okan!” serunya dengan terperanjat. Alhasil semua mata tertuju pada kami berdua termasuk Okan. Disamping Okan ada Kira dengan senyum kemenangan. Maksudnya apa coba?
Sinai segera menghampiri kami berdua. Sementara Dira tetap berdiri di antrian karena tugasnya yang akan mendaftarkan kami berempat. Kira segera keluar dari barisan dan menghampiri kami.
“Heh! Kalian. Dan kau Sinai, kali ini aku menang! Hahah”
“Maksudmu apa!” Sinai terlihat emosi.
“Jangan kau pikir aku bodoh. Beraninya kau mengelabui Bibi hanya untuk menemani mereka yang lebih bodoh. Ingat Sin, kita itu saudara. Jadi biar bagaimanapun juga kau harus tetap berada di pihakku. Bukan di pihaknya! Atau –“
“Hei! Jangan sekali-kali kau mengancamku. Apa urusanmu yang belum selesai denganku, hah?”
“Haaha, tidak ada! Aku hanya ingin kau mengikutsertakan aku dan Okan untuk bergabung dikelompokkmu! Atau aku akan laporkan kebohonganmu pada bibi?”
Sinai benar-benar emosi melihat tingkah kira yang menjengkelkannya. Tetapi aku berusaha menenangkannya agar tiak terjadi pertengkaran hebat antara mereka berdua. Setelah diadakan perembukkan antara kami berempat, akhirnya mereka berdua bergabung dalam kelompok kami.
“Oke, hari ini ada sepuluh orang yang akan mendaki. Dibagi menjadi lima orang perkelompok. Ingat! Jangan lakukan hal-hal yang membuat penghuni ghaib di gunung ini marah. Atau kalian akan celaka dan tidak dapat kembali selamanya!” peringatan itu berkali-kali disampaikan panitia registrasi. Semuanya mengangguk tanda mengerti. “Dan satu hal lagi, jangan pernah kalian membawa bekal telur mentah!” lanjut sang panitia dengan nada tegas. “Kenapa Pak?” tanya salah satu anggota kelompok lain. “Begitu aturannya. Jika kalian nekat membawanya maka kalian bersiap untuk hidup selamanya menajdi abdi mereka!” semua orang mengerti dan memahami maksud peringatan itu.
Semuanya sudah dipersiapkan dengan baik. Tepat pukul sepuluh pagi, kami mulai memulai perjalanan memasuki jalur barat. Begitupun kelompok kedua yang berada di depan kami dengan jarak satu kilo. Mereka lebih dahulu memulai perjalanan.
Aku berjalan paling belakang, bersebelahan dengan Dira. Sementara di depanku ada Juriah dan Okan dan barisan dipimpin Sinai sebagai ketua. Sementara Kira tergabung dengan kelompok yang ada di depan. Aku tahu, pasti gadis itu tengah merencanakan hal-hal buruk untukku. Tetapi sedikitpun aku tidak akan gentar dengan kehadiran Kira dipendakian ini. aku tetap fokus dengan misiku menemui sang dukun dan melepaskan diri dari kuntilanak itu.
Semakin memasuki hutan, maka semakin gelap dan menyeramkan suasananya. Dira meminta pindah ke barisan depan sehingga harus bergantian dengan Okan. Aku dan Okan berjalan beriringan, tetapi kami saling tidak bicara, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tepat pukul dua belas siang, kami sampai di pinggang gunung. Kami berlima memutuskan untuk beristirahat sekaligus menikmati makan siang. Ditempat peristirahatan, Okan sengaja duduk di sebelahku.
“Hai!” sapanya.
“Iya” jawabku singkat.
“Hmmm Ona!”
“Ya”
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan kamu? Apa cerita Kira benar? Tentang kamu?”
“Maksudnya?”
“Hmmmmm aku yakin, kamu mengerti. Aku hanya tidak ingin mengundang petaka, jika aku jelaskan dengan detil”
“Lalu? Apa urusannya denganmu?” jwabku jutek.
“Hmmmm aku hanya tidak percaya. Dan –“
“Dan kamu ingin membuktikan! Sehingga memutuskan untuk mengikuti ingin Kira?”
“Bu..bukan begitu On –“
Aku beranjak meninggalkannya sendiri di pojok kanan. Sementara yang lain sibuk menikmati makan siang masing-masing. Aku kehilangan selera makan siang ini, dan menghabiskan waktu melamun di pinggir sungai kecil tak jauh dari mereka.
Suara gemersik di balik semak seberang sungai menggangguku. Kucoba untuk memfokuskan pandangan ke semak tersebut. Tiba-tiba seekor ular berwarna hitam muncul membawa tikus di mulutnya. Spontan aku terkejut dan melompat meninggalkan sungai. Saat itu jantungku benar-benar tak terkendali. Tanpa sadar aku memeluk Sinai yang keheranan memperhatikan tingkahku.
“Kenapa Kak?” tanyanya heran.
“Dia kesurupan kuntilanak!” tiba-tiba Kira muncul entah darimana.
“Husstttt jangan aneh-aneh kamu Ra” Okan menegurnya.
“Habis, dia kaya kesurupan begitu!” jawab kira tak acuh.
“Heh, sudah sudah, kalian ini apa-apaan sih. Sudah tahu kita ditempat yang bukan wilayah kita. Kenapa kalian ribut-ribut gak jelas” Juriah mencoba meredam suasana siang itu.
“Ya sudah, ayo kita lanjutkan perjalanan!” seru Sinai seraya melihat kompas.
“Eh Kira, kamu kan bukan kelompok kami!” seru Juriah.
“Kata siapa? Sekarang aku ada dikelompok kalian”
Aku memperhatikan sekeliling dan mencoba menghitung jumlah kami. Aku, Juriah, Sinai, Kira dan Okan.
“Dira mana!” tanya Sinai terperanjat.
“Hahaha, aku membujuk gadis aneh itu untuk change. Dan dia setuju! Habis dia merasa gak nyaman karena si Ona terus memperhatikannya dengan aneh. Makanya kemana-mana jangana bawa kuntilanak! Menakutkan kan kamunya!” dengan santainya Kira menyenggol bahuku dan terus menggandeng Okan untuk berjalan bersamanya.
“Ah sudah-sudah! Lupakan! Ayo jalan!” Sinai mulai melangkah menuju arah kompas didikuti aku dan yang lainnya.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang penuh dengan tumbuhan berduri. Di kiri dan kanan jalan berdiri pohon-pohon besar yang ditmbuhi akar. Sesekali burung-burung pencari biji melintasi di atas kepala. Kadang mengejutkan hewan melata lain yang sibuk mencari makan di sekitar. Udara terasa sedikit dingin. Begitupun perasaanku yang semakin tak karuan.
Tiba-tiba bulu kudukku merinding saat melewati sebuah batu besar yang terletak di pinggir jalan. Aku berhenti sejenak memperhatikan batu itu. Sementara mereka berempat terus berjalan. Ada yang aneh dengan batu itu. Bentuknya mirip dengan sosok manusia pendek. Memiliki mata dengan sorot yang sangat tajam. Menatapku sangat dalam. Aku mulai merasakan aura mistis dari batu tersebut. Angin sepoi membelai kulitku dengan lembut yang membuat bulu kudukku beridir. Suara burung hantu menambah seram suasana sekitar. Kuedarkan pandangan kesekitar dan teman-temanku tak terlihat lagi. Segera kutinggalkan tempat itu mengejar mereka yang tak sadar meninggalkanku.
“Ju! Tunggu” teriakku dengan keras. Suaraku kembali memantul memenuhi hutan sekitar. Aku terus berlari mengejar mereka sambil terus mengikuti jejak mereka. tiba-tiba diujung jalan kulihat Kira kebingungan, sendirian berdiri di persimpangan jalan setapak. Aku segera menghampirinya.
“Kenapa kamu disini?”
“Hah? Kamu siapa?”
“Aku Ona, kamu Kira kan?”
“Aku...aku...aku tidak tahu”
“Ha?”
Seekor monyet menjatuhkan buah kelapa. Aku mendongak ke atas, dan melihat monyet itu lari tungganglanggang. Kuperhatikan kembali sekitar, tidak kulihat sebatang pun pohon kelapa. Monyet itu membawa buah kelapa darimana? Tiba-tiba aku ingat dengan pesan mendiang nenekku dulu. “Cu, jika kamu berada di tengah hutan kemudian melihat buah jatuh dari bukan pohonnya. Itu berarti pertanda buruk. segera tinggalkan tempat itu” aku baru sadar, kulihat jam tangan menunjukkan pukul setengah enam. Tadinya yang kusangka Kira, tidak ada lagi bersamaku. Lalu itu sipa?
Kucoba untuk menghubungi Juriah, tetapi sayangnya tidak ada signal yang tertangkap. “Huhuhuhuu! Lalalala...la..la...la!” aku mendengar suara seorang wanita bersenandung, sayup-sayup. Semakin lama suara itu semakin dekat, menghampiriku. Kucoba mundur beberapa langkah dan “Braaakkk” aku menginjak kayu lapuk yang membuat tubuhku terjungkal. “Hai anak manis!” seru seorang wanita tua yang terlihat aneh dengan pakaian lusuh membalut tubuhnya. “Nenek siapa?” tanyaku gemetar sambil terus mundur menarik tubuhku.
“Ona! Ona! Kamu kemana saja?” tiba-tiba susana alam berubah menjadi lebih hangat dan sedikit bercahaya. Berbeda dengan keadaan saat aku berhenti di batu tadi. “Juriah?” tanyaku heran. “Nenek tadi?” aku benar-benar bingung dengan apa yang baru saja aku alami. “Nenek? Kuntilanak kali!” pungkas Kira dengan suara ketus. “Husstttt jangan gitu, pamali!” ujar Okan yang membantuku untuk bangun. “Halah, gak usah sok lugu, bilang aja mau diperhatikan sama Okan” masih saja ketus kata-kata yang keluar dari mult Kira. “Apa-apaan sih kalian! Sudahlah, ayo jalan!”
Mereka semua tercengang dan semua pandangan tertuju pada sumber suara. “Dira?” tanya Sinai heran. Ia menghampiri gadis itu seraya mematut-matut sosok yang ada di depannya. “Tadi kita kan berlima?” tanya Sinai bertambah heran sembari menghitung kembali jumlah kami semua. “Iya! Tapi kali ini aku ikut bergabung dengan kalian, karena –“ belum selesai Dira melanjutkan kalimatnya. Mereka semua dikejutkan suara cekikikan yang menggema disekitar.
“Ku..kun..til..annaaa..kk” teriak Kira terbata-bata sambil melompat kepelukan Okan. Sementara aku segera mencari-cari sumber suara yang tidak asing bagiku. Juriah merapatkan tubuh pada Sinai dan Dira? Ah aku tak melihat Dira. Dimana gadis itu?
Aku mencoba memberanikan diri. “Siapa kau?” tanyaku pada suara itu. “Hihihihihihiiihihihiiii...belum sampai satu hari, kau sudah melupakan aku Onaku?” yah tidak salah lagi, kuntilanak yang sering muncul dalam mimpiku. Dan merasuki tubuh Dira semalam, masih dengan makhluk yang sama. “Kau! Apa sebenarnya maumu setan!” teriakku dengan lantang. “Uuuuu uuuuu Ona, ssstttt ssttt jangan marah sayang! Aku kembali memperingatimu. Jangan lanjutkan perjalanan ini atau kalian semua akan mati sia-sia” mendengar pernyataan suara tanpa wujud itu, semua mereka tersentak.
“Aku mau pulang!” seru Kira melompat dari pelukan Okan.
“Hei! Hei! Jangan dengarkan suara itu. Atau kau akan celaka sendiri!” teriak Sinai pada sepupunya.
“Aku akan tetap pulang, sebelum terlambat!” Kira terus berlari dan tiba-tiba sebuah telur jatuh dari tasnya. Dengan wajah ketakutan, Kira terus meninggalkan mereka berbalik arah. Belum habis keterkejutanku dan teman lainnya. Tiba-tiba Kira menjerit dengan sangat keras. Kami semua segera mengikutinya, tetapi hutan menjadi gelap gulita tiba-tiba. Sekelebat bayangan berdiri disebelahku seraya berbisik “Jangan kejar dia, itu akibat melanggar pantangan!” entah suara siapa itu, tetapi aku harus mempercayainya.
“Teman-teman! Jangan kejar dia, ayo lanjutkan perjalanan! Atau kita akan ikut celaka bersama Kira!” jeritku sambil berpegangan pada sebatang pohon. Angin kencang melanda alam sekitar dengan kilat menyambar-nyambar. Juriah segera berlari ke arahku sementara Sinai kehilangan penglihatan. Okan? Dia terus mengejar Kira hingga tak terpantau lagi dari pandanganku.
Berbekal jimat yang diberikan ibu padaku, akhirnya kondisi alam kembali tenang. Waktu menunjukkan pukul enam lewat lima menit. “Hei, kalian tidak apa-apa?” tanyaku pada Juriah dan Sinai. Dengan terbatuk-batuk mereka menggeser tubuh mendekatiku. “Kami tidak apa-apa” jawabnya serentak.
“Sial, semua ini gara-gara si Kira!” gerutu Sinai.
“Kenapa dia bawa telur mentah? Bukankah sudah diperingatkan?” tanya Juriah.
“Entahlah, kebencian telah mencelakakan dirinya” gumamku.
Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan meuju puncak gunung. Tetapi luka yang diderita Sinai tidak memungkinkan dilanjutkannya perjalanan. Akhirnya kami mencari tempat berlindung. Tak jauh dari tempat kami berdiri terdapat bekas pohon besar tumbang. Dengan akar raksasa membentuk goa menuju batang pohon bagian dalam. “Ayo kita bermalam di sini saja” usulku pada mereka berdua. Mereka mengangguk tanda setuju. Berbekal ransel masing-masing, kami tidur di dalam goa pohon itu sambil menunggu pagi.
Tepat pukul dua belas malam, aku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Kubuka mata dan meraih senter untuk mengamati sekitar. Mereka berdua tengah tertidur pulas. Pelan-pelan aku keluar dari goa pohon itu. Kemudian berdiri mengamati sekitar berbekal senter yang cahayanya mulai meredup.
Mula-mula hening suasana, hanya suara deru nafasku dan mereka yang terdengar. Lama kelamaan menyelip suara aneh yang membuatku penasaran. Kupasang pendengaran agar lebih tajam. Benar saja, itu tidak hanya sekedar suara nafas kami. Tetapi ada suara lain dan itu bukan suara nafas.
Seperti suara nyanyian yang diiringi sejenis alat musik pukul dan petik. “Pesta?” pikirku bingung. Padahal ini di tengah hutan, kenapa ada pesta? Aku kembali masuk ke dalam goa pohon. Mencoba membangunkan mereka dan menanyakan apakah mereka mendengarkan suara yang sama. Tetapi sia-sia, mereka benar-benar pulas tidurnya. Terpaksa aku menikmati sendiri suara itu. Semkain larut, suara itu semakin dekat di pendengaranku.
Rasa penasaran mendorongku untuk mencari tahu sumber suara. Aku berjalan ke arah barat mengikuti suara desauan angin yang membuat bulu kudukku terbangun. Semakin ke barat semakin keras suara itu. Dan “Rumah mewah? Ini kan hutan? Kenapa ada rumah mewah?” dengan tak terduga sosok makluk mengerikan berdiri dihadapanku. “Astaga!”

Bala Anak PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang