Bagian VIII

92 2 0
                                    

Tiba-tiba penglihatanku gelap. Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Kali ini aku serasa melayang dan kakiku tidak menginjak tanah lagi. Tubuhku terasa dalam cengkeraman yang sangat kuat. Aku berusaha untuk meronta, sayangnya tak berdaya. Cengkeraman makhluk itu semakin kuat. Tubuhku dibawa terbang ke angkasa, menuju puncak Gunung Sigara.
Tak lama kemudian, aku sadarkan diri. Punggungku terasa dingin dan basah. Kucoba meraba-raba dengan tangan. Terdengar riak air, kubuka mata perlahan. “Kau sudah bangun anak manis?” suara yang bergetar menggema ke sekeliling. Sebenarnya aku sangat terkejut, tetapi berusaha untuk menyembunyikannya. Aku baru sadar, tubuhku di ikat di atas dua batang pisang dan direndam di dalam kolam berbatu yang ditaburi bunga-bunga dengan macam warnanya. Aroma daun pandan menusuk hidung bercampur dengan bau mawar dan bunga cempedak.
Persaanku tiba-tiba menjadi horo. Apakah aku sudah mati? Demikian yang terlintas dalam pikiranku. Segera kugenggam tangan, masih terasa seperti tangan manusia. Kugerakkan ujung-ujung jari kaki, juga terlihat sama. “Aku dimana?” tanyaku pada Pak Tua dengan jenggot memutih menghiasi dagunya. Sebuah topi terbuat dari kain batik menutupi kepalanya. ah bukan topi, lebih tepatnya balkon. Dilihat dari pakaiannya, dia seorang dukun, mungkin. Tapi entahlah, dia masih tersenyum-senyum mengamatiku.
“Anak manis, namamu siapa? Apa tujuanmu untuk datang ke gunung ini? tidakkah kau mendengar cerita-cerita mengerikan tentang gunung ini?” aku diserang dengan beberapa pertanyaan yang membuatku semakin bingung. “Mmaa..Ma...kksus..suudd kakek apa?” tanyaku terbata-bata, lebih tepatnya ketakutan. Bagaimana tidak, dari setiap pertanyaannya membuatku berpikir ke belakang. Sebelum ke gunung ini aku tak banyak tahu keangkerannya. Yang aku tahu gunung ini angker, tetapi tidak terlalu detil penjelasan yang kudapat. Entah aku yang malas mencari tahu, atau memang sengaja tidak di ekspos?
Dira? Tiba-tiba aku teringat dengan gadis aneh itu yang tidak suka senyum dan selalu menyendiri. Kejadian di penginapan muncul lagi di benakku. “Hahaha...anak manis, seharusnya sebelum kau sampai di sini, kau cari tahu terlebih dahulu tentang aku. Sehingga tak perlu lagi kujelaskan siapa aku” ujar orang tua itu memutuskan monologku.
“Ha?” mataku segera menuju ke orang tua itu. Wajahnya semakin terlihat menyeramkan. Tubuhku mulai menggigil ketakutan, tetapi juga air kolam itu mulai merembes ke punggungku melewati pohon pisang. “Aku benar-benar tidak mengerti dengan maksudmu hei orang tua!” seruku agak keras, mengusir ketakutan dengan berpura-pura kesal.
“Hahahahahahaaa...ckckckck anak muda tidak baik melewan pada orang tua. Kau akan terkena sial nanti. Bukankah begitu yang diajarkan para guru di sekolah? Huuuuummmm, tetapi aku sangat terkejut dengan kehadiranmu Nak! Kau begitu berani! Padahal begitu banyak bahaya yang mengancam...termasuk nyawa teman-temanmu” mendengar pernyataan terakhir orang tua itu jantungku tiba-tiba bergetar hebat.
“Ttaapi.. bagaimana nyawa mereka bisa terancam? Bukankah mereka masih jauh berada di pinggang gunung?” tiba-tiba tubuhku melemas dan mataku terpejam sejenak. Sepintas kulihat Kira dan Okan tengah berjuang melawan makhluk aneh yang sangat besar. berkepala singa tetapi badannya seperti manusia, juga bersisik. Kulihat tubuh kira penuh luka, sementara Okan berusaha mengusir makhluk itu agar menjauh dari Kira. Artinya Okan berjuang mati-matian untuk menyelamatkan Kira. Bayangan mereka hilang, digantikan dengan bayangan Sinai dan Juriah yang dikepung ribuan ular berkepala dua. Mereka menggapai-gapai pohon, berusaha menyelamatkan diri.
“Hahahahahahaha...gadis manis mulai ketakutan?” tanya orang tua itu seraya menyentuh daguku dengan sebilah keris berwarna kuning emas. Tangkai keris itu terbuat dari gading yang mengkilap. Bau kemenyan sangat menusuk hidungku, dan ternyata berasal dari keris itu. Aku meludah ke samping kiri dengan wajah bengis. Tetapi orang tua itu tetap saja tertawa bahagia melihat tingkahku. Sedikitpun tak terbesit wajah benci apalagi marah terhadap sikapku yang tak sopan itu. “Ibumu dan Dira!” seru orang tua itu dan melangkah menjauhiku, membelakangiku.
“Ona! Ona! Bangun!” teriak Juriah bersama Sinai yang suaranya terdengar jelas ditelingaku. Aku segera tersadar dan melihat sekeliling. Suasananya berbeda dari sebelumnya. Hanya hutan belantara, tak ada orang tua berjenggot, air kolam dengan bunga-bunga dan bau-bau kemenyan yang membuatku ingin muntah. “Aa..ak..kku di..dimmaa..naa?” tanyaku terbata-bata. “Ih kamu darimana aja? Kita udah nyariin dari tadi, gak taunya molor di sini” ujar Juriah dengan kesal. “Kalian? Bubu..buk..kkan..kah kalian...uuulaaaarr!” aku mencoba menjelaskan apa saja yang baru kulihat beberapa menit yang lalu. Yah rasanya baru beberapa menit yang lalu. Tetapi menurut Juriah dan Sinai aku telah hilang sehari semalam hingga mereka menemukanku di sini. Di pinggir telaga bening dengan lumpur disekelilingnya.
“Ju, si Dira dimana?”
“Sin, mana Dira?”
“Ha? Tadi katanya nunggu di depan gua itu”
“Lah kenapa? Eh On ngapain nanyain anak aneh itu?”
“Ha gak, gak kenapa-napa. Nanti aja aku ceritain”
“Yaudah ayo kita tinggalkan tempat ini!”
Kami bertiga melangkah meninggalkan rawa dengan lumpur dan telaga bening di tengahnya. Setelah bersusah payah menyeret tubuhku menuju goa yang katanya dira menunggu di sana. Akhirnya aku dan mereka berdua berhasil sampai, meskipun kakiku penuh luka.
Kulirik jam tangan, menunjukkan pukul dua siang. “Ehmm kalian masih ada persediaan makan gak?” tanyaku pada mereka bertiga yang serentak memanahku dengan tatapan sayu. “Udah habis!” serntak Sinai dan Juriah menjawab dengan nada memelas. “Aku lapar, kita makan apa? Lemas banget tubuhku setelah sehari semalam gak makan” ucapku dengan nada lemah seraya mengusap-usap perut. Sejenak suasana hening, sibuk memikirkan akan makan apa siang ini. padahal perjalanan masih sangat jauh.
Beberapa ekor burung ruak-ruak melintasi goa dengan santainya. Aku segera melempar dengan batu dan tepat mengenai kepalanya. Burung yang lain masih santai berjalan. Aku pikir kesempata untuk melempar beberapa ekor lagi untuk makan kami bertiga. Segera kulempari dengan batu-batu di sekitarku. Semuanya tepat sasaran. “Wuaahhh kamu hebat ya!” seru Juriah seraya bertepuk tangan. Enam ekor burung tergeletak dihadapan kami, Sinai berusaha mengumpulkan beberapa ranting kayu di sekitar. Sementara Juriah mencari-cari pemantik apai dari dalam ranselnya. “Ketemu!” teriaknya bahagia, suaranya menggema di dalam goa. Sinai menusuk empat ekor burung ke salah satu kayu yang sudah dibersihkan. Tetapi tiba-tiba Dira menyatakan dia tidak suka burung sehingga, kami menyimpan tiga ekornya lagi untuk makan malam nanti.
Usai melahap daging burung, kami meninggalkan goa dan berjalan ke arah utara mengikuti Dira yang katanya pernah sekali mendaki. Jadi Dira satu-satunya petunjuk jalan kami untuk sampai ke puncak gunung. Perjalanan terasa lama dan melelahkan, tanpa terasa sudah pukul enam menjelang magrib. Kami memutuskan untuk berhenti di bawah pohon beringin yang membentuk goa. Tujuan kami agar terlindung dari dingin malam dan hujan jika malam ini hujan. Karena terlalu lelahnya, Sinai dan Juriah tertidur di atas ransel mereka masing-masing. Sementara aku mulai melayang menuju alam mimpi. Dan Dira? Yah entah ini kebetulan atau tidak. Tetapi aku yakin ini merupakan petunjuk. Saat aku berjuang meninggalkan ambang pintu sadar, mataku melirik ke arah Dira yang samar-samar terlihat tengah membongkar ikatan kaki burung mentah yang kami peroleh tadi siang. Aku benar-benar terkejut, tetapi berusaha menahan diri. Dengan tanpa bergerak sedikitpun, aku terus memperhatikan dan menajamkan pandangan ke arah Dira.
“Astaga! Dira kamu makan daging burung mentah?” dengan spontan aku bangkit dari tidur. Teriakkanku membuat Juriah dan Sinai ikut terbangun. Dira membalikkan badan, mulutnya penuh darah dan sisa-sisa bulu burung di pipinya. Dengan sigap Sinai dan Jurah mengambil senter dan mengarahkan ke Dira. Yah terlihat begitu jelas, gadis aneh itu memakan daging burung mentah-mentah. Sebentar! Sorot matanya, persis sama dengan sorot mata saat di penginapan beberapa hari lalu. “Kkaa...kkaaa..mmmuuu sebenarnya ssii..ssii..aappaa?” tanya Sinai tergagap sembari menggeser duduk menjauh dari Dira.
Wajah gadis aneh itu terlihat sangat pucat. Lingkar matanya lebih berwarna gelap dibandingkan sebelumnya. Soro mata yang sangat tajam memanah kami satu-persatu. Juriah bergidik takut, bersembunyi di belakangku, begitupun Sinai. “Hihihihihiiii” Dira tertawa seperti kuntilanak dengan menampakkan giginya yang penuh darah. Terlihat lebih menyeramkan dari kuntilanak biasanya. Kami bertiga memutuskan untuk lari meninggalkan Dira.
Kami bersembunyi di balik gundukan tanah galian yang dipenuhi rerumputan. Seraya terus mengawasi dari berbagai arah. Khawatir kalau-kalau Dira muncul tiba-tiba.
“Sin, kamu kenal Dira dimana? Sudah berapa lama?” tanyaku.
“Hah? Baru tiga hari sebelum memutuskan untuk berangkat!” jawab Sinai.
“Hah! Tiga hari? Berarti – “
“Iya, dia itu jelmaan makhluk lain yang menyerupai manusia!” ujarku.
“Bbee..ber..arti?” tanya Sinai penasaran.
“Coba kalian ingat-ingat lagi. Berapa kali kalian menemukan Dira yang muncul tiba-tiba di antara kita?”
“Lebih dari tiga kali. Mungkin?” jawab Juriah.
“Yup benar. Karena dia bukan berasal dari manusia. Jadi, dia dapat memantau keberadaan kita dimana saja. Sehingga dengan mudah dia muncul seketika. Kemudian, waktu dipenginapan. Aku menyaksikan hal aneh. Dira terlihat seperti kerasukan kuntilanak. Tetapi anehnya usai kerasukan dia terlihat biasa saja. Berbeda dengan kita manusia normal, yang terasa lemas setelah dirasuki makhluk lain. Dan tadi, kalian dapat menyaksikan sendiri bukan? Dira memakan daging mentah!”
“Berarti?” tanya Sinai bingung.
“Bisa jadi Dira jelmaan kuntilanak!”
“Yap, kamu benar Ju!”
Sementara kami membahas tentang dia, gadis aneh itu muncul dengan tampilan aneh. Dia melayang-layang di angkasa dengan kepala tanpa badan melainkan hanya organ tubuhnya yang bergelantungan. Terlihat semua isi dalam tubuhnya yang membuat pemandangan menjadi sangat menyeramkan.
“Paaa..paallaaa..sssiiikkk!” seru Sinai dengan terbata-bata. Mereka berdua berusaha berlindung di belakangku. Untungnya mentalku kuat untuk menghadapi makhluk sejenis lelembut dan demit. Kali ini aku akan mencari tahu segalanya lewat Dira si Palasik yang menjebak kami hingga sampai ke gunung ini.
“Hei Kau!”
“Hihihihii, Ona! Ona! Akhirnya kau dapat juga mengetahui identitas asliku, ckckck!”
“Iya, dari awal bertemu kau, aku sudah curiga!”
“Uuuuhuhuuuu menyedihkan, tapi ada hal yang lebih menyedihkan lagi, hihihi!”
“Apa!”
“Kau lihat ini”
Di permukaan tanah muncul seberkas cahaya yang membentuk lingkaran. Di dalam cahaya itu terlihat bayangan Okan dan Kira. Aku memperhatikan dengan seksama, begitupun Sinai dan Juriah. Mereka berdua lebih penasaran dariku sehingga memperhatikan setiap kejadian yang ada di dalam cahaya itu.
Okan dan Kira terlihat berjuang untuk kembali ke kaki gunung. Mereka sangat kompak dan terlihat sangat serasi. Seakan-akan mereka tim yang patut diacungkan jempol. Mulai dari melawan binatang buas hingga makhluk halus yang mengganggu perjalanan mereka. Sikap manja Kira kepada Okan membuat diriku tersulut cemburu. Semkain lama adegan dalam cahaya itu semakin mebuatku muak dan ingin mengejar mereka berdua.
“Hihihihihii...kau lihat mereka! sungguh serasi! Oh Tuhan andai aku yang berada di samping lelaki itu!” palasik Dira benar-benar membuat api cemburuku bergejolak. Selain itu aku merasa sangat terluka dan merasa dibohongi selama ini oleh sosok yang kuanggap akan menjadi seorang yang mampu mengalihkan duniaku.
“Ona! Jangan lemah! Sadarlah! Kau ingat, iblis tidak akan pernah berhenti merayu manusia!” bisik Juriah ke telingaku. Seketika aku tersadar dan mengucap istighfar. Cahaya itu menghilang dari pandanganku. Wajah palasik itu berubah menjadi masam ketika melihat reaksiku kembali ke alam sadar. Hampir saja aku terjerumus ke dalam jebakan iblis itu.
“Hei kau! Jangan coba-coba untuk melindunginya!” seru palasik pada Juriah yang semakin ketakutan. Kami mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak dengan palasik yang berusaha mendekati kami. “Baiklah, aku akan memberitahu kalian satu hal!” ujar palasik itu dengan nada suara lebih rendah. “Apa?” tanyaku penasaran dengan gelagat setan aneh itu. “Hihihihiiiii...ibumu ikut terlibat Ona! Gemerlap dunia membutakan mata hati ibumu! Hihihihiihiii!” pandangan Juriah dan Sinai beralih ke araku. Mereka seolah menunggu jawaban dariku.
Aku tidak mempedulikan mereka berdua. Justru aku semakin penasaran dengan pernyataan palasik itu. “Maksud kau apa? Kenapa kau menyebut-nyebut ibuku? Sama seperti dukun itu!” sengaja aku terlihat terpancing dengan ceritanya seolah aku sangat tertarik dengan ceritanya. Sinai dan Juriah berusaha menjaga kesadaranku dengan terus berbisik. Mereka pikir aku kembali ke ketidaksadaran. Aku tidak sempat untuk menjelaskan ke mereka bahwa aku masih dalam kesadaran penuh, hanya saja aku berpura-pura untuk menggali informasi yang lebih dalam dari palasik bodoh itu.
“Hihihihiiii...ibumu adalah sumber bala! Manusia tak bersyukur itu telah menghancurkan masa depan anak-anak tak bersalah. Sama seperti dirimu! Hihihiii dan kau tunggu saja giliranmu!” palasik itu semakin mendekatiku. Bau amis darah yang berasal dari organ tubuhnya membuatku benar-benar mual. Tetapi aku harus tetap bertahan agar tidak muntah. “Aku akan memberitahumu jalan cepat agar sampai ke puncak gunung, tapi – “ si palasik itu menatap ke arah Sinai yang sangat ketakutan. “Aku lapar! Aku ingin menyantap daging manusia, aku bosan memakan jabang bayi dalam rahim kotor! Hihihihihiiii” ia menjilat-jilat pipi Sinai yang terus berusaha menghindari palasik itu.
Aku sudah dapat menangkap ingin palasik itu, dengan menggenggam jimat di tangan. Aku segera memukulkan ke salah satu organ palasik. Meskipun menjijikkan bagiku, tetapi aku tidak mau kehilangan Sinai dan Juriah. Palasik itu terpental sejauh beberapa meter. Aku segera mengintruksikan lari pada mereka berdua. Kami terus berlari menembus gelap malam tanpa mempedulikan apapun yang ada di depan kami.
Aku benar-benar menyesal telah mengambil keputusan ini. Tetapi semua sudah terjadi dan sudah kumulai. Aku harus mengakhirinya juga, paling tidak jika aku mati tidak membawa rasa penasaran lagi. Tiba-tiba pagi menjelang, cahaya matahari menyembul kemerahan di ufuk timur. Kami mulai merasa lelah karena berlari menembus semak-semak. Aku melihat sebuah pondok di dekat tikungan, kami bergegas berjalan ke pondok itu. Sesampai di pondok kami merebahkan badan untuk beristirahat sebentar.
“Hei, siapa kalian?” serang nenek tua keluar dari pondok itu.
“Maaf Nek, kami pendaki gunung. Kami lelah, hanya menumpang tidur sebentar!”
“Oh kasihan, kalian pasti lapar?”
“ii..iyaa nek, kami lapar” jawab Sinai spontan.
“Ah kebetulan, aku baru saja memasak sup hangat. Sebentar, aku siapkan dulu ya!”
Sembari nenek itu menyiapkan makan, kami bertiga masih duduk di luar pondok. Sebenarnya aku agak sanksi menerima tawaran orang tua itu. Tetapi aku kasihan juga dengan Juriah dan Sinai yang sangat kelaparan setelah semalaman menghabiskan tenaga untuk menyelamatkan diri. “ayo, mari masuk! Makanan sudah siap” ujar orang tua itu sembari tersenyum aneh.
Aku menaruh curga pada orang tua itu, tetapi mereka berdua tidak. Mereka sudah dikuasai oleh nafsu lapar sehingga tak mampu lagi menggunakan akal sehatnya. Di dalam pondok sudah terhidang berbagai makanan. Aku duduk berhadapan dengan orang tua itu, sementara Sinai dan Juriah berada di kiri dan kananku. Tanpa menunggu-nunggu lagi mereka berdua segera menyantap makanan yang terhidang. Tetapi tidak denganku, yang masih mematut-matut makanan seraya berpikir menggunakan akal sehat.
“Kenapa tidak makan Cu?” tanya orang tua itu, masih dengan senyum anehnya.
“Aku belum lapar nek!” ujarku berbasa-basi.
“Ayolah makan, lihat teman-temanmu begitu lahapnya makan”
“Iya Oon, enak ini sambal sama lalapnya!” seru Juriah.
“Apalagi supnya, uuuuuuuffhhh nikmaattt” Sinai tak mau ketinggalan.
Tiba-tiba seekor belatung mengejutkan Juriah yang menyuap makanan ke mulutnya. Begitupun Sinai dan semua hidangan berubah menjadi belatung dan nanah serta darah. Mereka berdua menjadi muntah-muntah. Aku segera berlari keluar seraya memberi isyarat pada mereka berdua. Nenek itu berubah menjadi kuntilanak seraya cekikikan, seolah bahagia melihat kami berhasil masuk dalam jebakannya.
Saat aku dan Juriah sampai di luar dan agak jauh dari pondok. Tiba-tiba pondok itu berubah menjadi lumpur hidup. Sinai? Yah karena Sinai terlambat meninggalkan pondok, ia terjebak di dalam lumpur hidup. Kami ingin membantunya tetapi suara kuntilanak itu menyakitkan pendengaran kami. Dengan perasaan tak tega, kami harus meninggalkan Sinai yang menjadi makanan lumpur hidup.
Kini tinggal aku dan Juriah yang bersusah payah mendaki sebuah bukit terjal. Kami menemukan petunjuk jalan yang ditempel di salah satu pohon kelapa. Dengan menyusuri tebing kami akhirnya sampai di dataran baru yang lebih luas. Hamparan ladang menghijau, menenangkan jiwa kami yang dilanda ketakutan. Sejenak kami melepas lelah di antara ladang itu. Di sebelah utara ada sebuah aliran sungai dengan air yang bening. Kami mendekati sungai seraya meneguk airnya sekedar melepas dahaga yang tak tertahankan.
“Ehhmmm” suara deheman itu mengejutkan kami. Serentak kami membalikkan badan. Seorang petani berdiri tepat di belakang kami, wajahnya begitu menenangkan. Dia tersenyum pada kami seraya terus mendekati kami berdua. Tahukah kalian apa yang terjadi selanjutnya? Tentu saja sesuatu yang mengejutkan!

Bala Anak PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang