Bagian VI

98 2 0
                                    

Aku lupa memberitahu Okan bahwa aku tidak boleh bermain ke laut manapun. Termasuk juga sungai dan danau. Sore itu aku diganggu makhluk halus penghuni laut. Aku melihat mereka dengan tampang yang menyeramkan. Melakukan sejenis ritual di permukaan laut. Sehingga membuat pendengaranku hanya tertuju pada bunyi-bunyian dalam ritual itu. Dan bunyi-bunyian itu membuatku terhipnotis dan gejala-gelaja seperti yang terlihat oleh Okan, itu sudah sering kualami setiap kali bermain ke laut.
Kali ini aku berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar. Sesekali aku manyadari keadaan sekeliling. Aku dapat melihat lelaki itu panik dan beberapa orang disekitarnya berusaha membantu. Tetapi seketika aku juga sangat menikmati bunyi-bunyian itu, seakan menarikku untuk bergabung bersama mereka di permukaan laut. Tentu saja itu tidak mungkin kulakukan. Sekuat mereka menahanku, sekuat itu juga aku ingin melompat ke permukaan laut yang di dunia nyata terlihat tenang dan damai.
“Hei! Lepaskan dia dari jerat kalian!” jeritan itu menyentakkanku sehingga menarikku ke alam sadar. Orang tua dengan pakaian serba putih mengusap wajahku sebanyak tiga kali dengan air yang berada di tangan sebelah kirinya. Lantas ia melemparkan gelas berisi air itu ke arah laut. Seketika suasana laut menjadi tenang seperti sedia kala, dipandanganku tentunya.
“Kalian berasal darimana?” tanya orang tua itu pada kami.
“Dari Kecamatan Teratai Pak” jawab Okan.
Orang tua itu mengangguk dan menatapku agak lama. Kemudian berlalu dari hadapan kami. Sementara pemilik warung itu hanya tersenyum ramah pada kami. Akhirnya Okan memutuskan untuk membawaku pulang ke rumah.
Di perjalanan kami tidak saling bicara. Mungkin dia masih syok melihat aku yang bertingkah aneh tadi. Begitupun aku yang tidak berani untuk memulai pembicaraan. Bukannya aku takut, tetapi aku belum sepenuhnya percaya pada lelaki yang sedang membawa sepeda motor ini.
“Terimakasih, aku masuk dulu” dia balas dengan anggukkan dan berlalu dari hadapanku tanpa sepatah katapun. Aku melangkah dengan gontai menuju kamar. untungnya di ambang pintu tidak ada siapa-siapa. Rasanya tubuhku benar-benar lemas dan hanya ingin tidur pulas. Sesampainya di kamar aku langsung merebahkan badan dan terlelap mengarungi alam bawah sadar. Seraya berharap tidak ada gangguan yang datang.
Hari pertama liburan, sesuai dengan kesepakatan yang telah kubuat dengan Juriah. Pagi ini kami akan berangkat ke Pulau Alakan yang terkenal dengan destinasi wisata alam yang masih sangat alami. Setelah ransel kami siap untuk di bawa, sebuah mobil kijang memasuki halaman rumah. Teman Juriah, Sinai dan Dira turun dari mobil itu. Sebelumnya mereka sudah aku beri peringatan bahwa tidak boleh berbicara anyak dengan ibuku. Aku khawatir mereka tanpa sengaja akan menceritakan tentang misi kami ke pulai itu. Tentu saja akan gagal jika ibu mengetahuinya. Yang ibu tahu, kami pergi liburan selama empat hari untuk berburu foto terbaik. Kebetulan aku dan Juriah juga sedang mengikuti lomba fotograpy. Sangat tepat sekali alasan kami untuk menjalankan misi, mendaki Gunung Sigara yang terkenal angker itu.
“Bu, ini teman-temanku. Kami berangkat menggunakan mobil itu”
“Oh, hati-hati kalian di jalan. Jaga diri, soalnya kalian semua perempuan”
“Siap Mom! Yaudah aku pamit dulu”
Usai bersalaman dengan ibu dan bapak, kami memasuki mobil dan melaju menuju jalan raya. Di antara keempatnya aku adalah yang paling tua usianya. Sehingga teman-teman Jurah memanggilku dengans ebutan ‘Kakak’ dan bagiku tidak terlalu masalah, mereka panggil namaku juga tidak apa-apa sebenarnya, biar lebih akrab.
“Eh, kamu tau tak si Kira juga ngebet pengen ikut loh”
“Lah, kenapa gak sekalian dibawa anak manja itu?”
“Taulah, bibiku kan super protektif. Kemana-mana anaknya selalu di kawal”
“Termasuk pergi kerja juga?”
“Ya, enggaklah, lu lama-lama kok jadi bego ya?”
“Lah kan kamu yang bilang kemana-mana dikawal, haha”
Percakapan Juriah dan Sinai membuatku sedikit terkejut. Ada hubungan apa Sinai dengan Kira? Wah jangan-jangan Sinai menceritakan tentang misi aku ke wanita iblis itu? Ya Tuhan aku terjebak. Eh tapi tunggu dulu, dilihat dari cara gadis itu berbicara, sepertinya dia juga tidak menyukai Kira.
“Eehhhmmm, kalau boleh tahu Kira itu siapa Sin?” tanyaku menyelidik.
“Oh, dia anak bibiku. Emaknya adik kakak sama bapak aku Kak”
“Oh gitu toh. Kenapa dia gak di ajak sekalian?”
“Wah ribet Kak. Dia banyak bacot. Yang ada nanti kita jadi repot, hahaha!”
Ok, jelas sudah sekarang. Ternyata tidak hanya aku yang tidak menyukai Kira. Bahkan saudara sepupunya sendiri juga tidak menyukainya. Berarti terang sudah dia mencuri dengar pembicaraanku dengan Sinai waktu itu ditelpon. Apalagi beberapa kali Sinai menyebut namaku. Oh, begitu ternyata, kita lihat saja nanti siapa yang benar-benar mampu menarik simpati guru baru itu.
Selama dua jam diperjalanan melewati lurah dan bukit. Akhirnya kami sampai juga di Pantai Alakan. Sebenarnya Alakan merupakan sebuah desa kecil yang berada di pinggir pantai. Desa itu memiliki sebuah pulau yang indah dan belum terjamah oleh banyak turis. Sehingga masih terjaga kealamiannya. Uniknya pulau itu adalah memiliki sebuah gunung yang ketinggiannya lebih kurang 3000 kaki. Gunung yang berbentuk kerucut utuh itu terkenal angker. Pernah beberapa kali para petualang mendaki gunung itu. Berdasarkan ceritanya, mereka banyak menemukan hal-hal gaib dan terjebak di alam lain selama berminggu-minggu hingga akhirnya diselamatkan oleh seorang petapa di puncak gunung itu. Tetapi tak banyak juga di antara mereka yang hilang tanpa jejak.
Aku pernah membaca beberapa artikel tentang Gunung Sigara di Pulau Alakan itu. Jika dibayang-bayangkan mengerikan juga untuk mengunjunginya. Tetapi beberapa menit lagi aku akan berada di sekitar gunung angker itu. Dahulu, ibu juga pernah bercerita padaku. Sebenarnya aku memiliki sepasang saudara. Yang pertama laki-laki, namanya Agaranta, tetapi di usia remaja ia meninggal dunia karena sakit yang tidak tahu jenisnya. Kemudian ibu melahirkan lagi seorang anak perempuan namanya Rintani. Kata ibu sih dia sangat cantik, berbeda denganku. Sayangnya di usia 18 tahun ia meninggalkan rumah tanpa jejak. Sampai sekarang tidak ada kabar darinya. Setahun sesudahnya lahirlah aku yang diberi nama Ona Primata, ah namnya tidak indah. Sehingga ketika aku masih sekolah dasar sering di ejek dengan sebutan hewan primata. Dan itu sangat menjengkelkan.
Sebentar! Kenapa jarakku dengan Rintani sangat jauh? Ibuku menikah usia berapa ya? Ah aku tidak peduli, Ona jangan memikirkan hal yang aneh-aneh, ingat kamu sedang berada di wilayah angker dan penuh kegaiban. “Oon, ooooiiiii ngelamun aja lu! Mau ikut gak? Atau mau kami tinggal?” teriakan Juriah menyentakkanku dari lamunan yang rasanya panjang sekali. Dengan tergesa-gesa aku berlari ke arah mereka yang sudah lebih dahulu naik ke kapal.
Lima belas menit terombang-ambing di permukaan laut aku merasa was-was. Bagaimana tidak? Aku telah melanggar pantangan sebenarnya. Tetapi untungnya ibu memberikanku semacam jimat yang terbuat dari bawang putih tunggal. Dan itu harus aku bawa kemana-mana selama aku berada di luar rumah, terutama di tempat-tempat yang ada genangan airnya.
Aku diberikan itu semenjak aku masih bayi. Katanya untuk menangkal setan yang senang mengganggu. Begitu cerita ibu, tetapi kenapa sampai sekarang aku masih harus menggunakan ini? Lalu kenapa aku harus selalu menghindari laut, sungai danau dan sumur? Sebenarnya ini sangat aneh bagiku, tetapi setiap kali aku menanyakan pada ibu selalu jawabannya tidak memuaskan. Atau aku dimarahi dengan embel-embel ‘jangan melawan perintah orang tua, pamali’ kata ibu.
“Akhirnya sampai!” seru Dira dengan wajah sumringah. Sepertinya dia sangat bahagia mendarat di pulau ini. Sementara Sinai terlihat biasa saja, begitu juga dengan Juriah. Sementara aku, beribu pertanyaan muncul di benakku. Sehingga wajahku terlihat sarat akan beban. “Oooii mestinya kau bahagia Oon, ngapain pasang wajah kaya orang bego gitu?” lagi-lagi Juriah mengganggu monologku dengan diri sendiri. “Ah apa-apaan sih!” dengusku dengan kesal.
Juriah dan Sinai memesan kamar penginapan untuk kami tinggali beberapa hari. Aku dan Dira menunggu di bawah pohon beringin sambil menikmati udara sore ini. Serta pemandangan yang indah. Pandanganku mengedar ke sekeliling dan tiba-tiba tertumbuk pada puncak gunung Sigara yang benar-benar terlihat seperti kerucut utuh.
“Ra, kamu tahu apa saja tentang gunung itu?”
“Kenapa Kak?”
“Ya gak apa-apa, siapa tahu kita bisa berbagi pengetahuan, hehe”
“Oh, setahu aku nih, gunung ini tidak boleh di daki, kecuali kita minta izin dulu dengan empunya. Di gunung itu banyak sekali bahayanya kak. Hanya orang-orang yang sangat perlu bantuan saja yang boleh mendaki, itu pun harus dengan niat yang tulus”
“Maksudnya?”
“Ya benar-benar ingin mencarisesuatu yang gaib yang sering menghampiri kita!”
“Kalau boleh tahu, apa yang membuat kamu nekat untuk datang kemari?”
“Hmmmm aku...aaa... – “
“Ayo! Kita menuju penginapan!”
Jurah dan Sinai berseru dari jauh untuk mengajak kami segera meninggalkan tempat itu menuju penginapan yang sudah dipesan. Dan pembicaraan kami pun terputus. Tetapi ada yang aneh dengan Dira. Sesampai di penginapan kami memasuki kamar dan memilih tempat tidur masing-masing. Sinai memilih tidur di bagian bawah, begitupun Juriah. Nah aku dan Dira menjadi penghuni di bagian atas.
Percakapan singkat tadi membuatku penasaran sehingga selalu mencuri-curi kesempatan untuk melanjutkan pembicaraan dengan Dira. Tetapi gadis dengan perawakan kurus itu sepertinya berusaha menghindar dariku. Sikapnya membuatku semakin penasaran, apa sebenarnya yang terjadi dengan dia. Aku hanya ingin tahu dan bisa belajar dari pengalamannya. Tetapi dia terus menghindar hingga larut malam tiba dan kami pun bersiap untuk tidur.
Sayangnya aku tidak bisa tidur. Sementara Sinai dan Juriah sudah terlelap, suara dengkuran mereka begitu keras terdengar. Aku membalikkan badan ke arah Dira, betapa terkejutnya batinku menyaksikan Dira yang duduk menghadap ke dinding. Tetapi dia dududk di udara dan di puncak kepalanya muncul cahaya kemerahan. Segera kututup wajah dengan selimut, tetapi aku berusaha mengintip dibalik celahnya. Gadis itu memutar arah duduknya, kini wajahnya jelas terlihat olehku. Tetapi itu bukan wajah Dira, lalu itu wajah siapa?

Bala Anak PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang