Ada berapa banyak, mereka yang lebur dalam pikiran. Sedang ada orang lain yang ingin ikut menyelam.
###
Bandung, hari minggu yang cerah. Suara telpon berdering dari ruang keluarga milik Keluarga Hidayat. Tak ada seorang yang merespon. Tuan Hidayat beserta keluarga sedang asyik menikmati udara segar di alun-alun kota. Bersepeda mengelilingi Bandung, penelpon di seberang kembali memutuskan panggilan untuk keempat kalinya.
Raut muka lelaki maskulin itu terlihat kecewa dan putus asa. Rencana untuk mengajak Alfirofa pergi ke toko buku akan batal, pikirnya. Alfirofa memang tidak mengiyakan, hanya saja ia memaknai senyuman sebagai pengiyaan. Rendy kembali mencoba menghubungi nomor Alfirofa, tersambung. Tidak ada yang mengangkat, Rendy melempar handphone ke atas kasur.
“Ah, sial! Kenapa Al tidak memberikan nomor handphonenya saja! Apa aku langsung ke rumahnya saja? Sebentar, pak Dayat ada tidak ya? Mana berani aku kesana kalau ada Pak Dayat, dari mukanya saja terlihat seram!” Gerutunya. Rendy merebahkan tubuh di atas kasur, menatap satu per satu foto gadis yang terpampang di dinding kamar.
“Kenapa tidak kuajak Melodi, dia pasti mau.” Rendy kembali mengambil handphone.
###
Keluarga Hidayat menikmati bubur ayam milik Pak Hun di pinggir alun-alun. Alfan putra sulung Hidayat baru saja datang tadi malam, ia terlihat lahap menyantap sajian. Tanpa memedulikan Alfirofa yang hanya mengaduk-aduk makanan.
“Fan, pelan-pelan!” tegur Nyonya Hidayat. Alfan hanya tersenyum.
"Nanti tersedak, Nak!” lanjutnya.
“Mas Alfan kayak orang yang gak pernah makan, emangnya di Bogor gak ada makanan?” Salsa memasukkan sesendok bubur ke dalam mulut setelah menggoda Alfan, tapi Alfan tidak menghiraukan, tetap fokus menghabiskan suapan terakhir.
“Biasa Mbak, orang sibuk!” Fahri menambahkan.
“Sibuk apa? Sibuk mencari mertua di Bogor.” Ucap Salsa sambil menyenggol lengan Alfan. Tuan dan nyonya Hidayat hanya menggelengkan kepala.
“Al, kamu sudah kenyang?” Tanya Alfan setelah menghabiskan semangkuk bubur. Diambilnya tisu kemudian mengelap mulut. “Kalau kamu sudah kenyang, biar aku yang menghabiskannya.” Lanjut Alfan. Alfirofa memandang Alfan dengan tatapan sinis.
“Berikan saja Mbak, Mas Alfan kelaparan tuh! Lagian Mbak Al kan lagi gak fokus.” ucap Salsa sambil mengangkat sebelah alisnya. Mata Alfirofa langsung memelotot.
“Oops….. Sorry!” Dengan perlahan Salsa menutup mulut, namun tersenyum nakal setelah Alfirofa memalingkan wajah.
“Nih!” Alfirofa menyodorkan mangkuk kehadapan Alfan.
“Makan!” Perintah Alfirofa. Alfan nyengir lalu menyantap bubur milik Alfirofa.“Alfan,” tegur nyonya Hidayat, Alfan mendongakkan kepala, memamerkan senyuman.
“Al sudah kenyang, Bunda!” Ucap Alfirofa, jemarinya terus mengetuk-ngetuk meja.Semua mangkuk sudah kosong kecuali mangkuk yang sedang disantap Alfan. Ayah beranjak dari tempat, menghampiri Pak Hun untuk membayar enam mangkuk pesanan. Alfan mengakhiri suapan terakhir dengan bersendawa, membuat yang lain risih terutama Alfirofa.
“Ih, jorok!” Gerutu Alfirofa.
###
Kriiiiiiiing…. Kriiiiiiiing …. Kriiiiiiiing …
"Salsa, jangan angkat telponnya!”
Teriak Alfirofa sambil menuruni tangga. Salsa hendak mengangkat gagang telpon, ia termangu melihat tingkah kakaknya. Alfirofa langsung menyuruh Salsa menjauh dari ruang keluarga. Salsa pergi dengan wajah cemberut. Sebelum mengangkat telepon, Alfirofa mengatur nafas. Mendadak detak jantungnya berderu lebih kencang. Semoga saja suaranya tidak terdengar gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Dalam Etalase
General FictionNadia Alfirofa merasa nyaman dengan dunianya sendiri. Acuh akan kehadiran orang sekitar, hingga kakak sulungnya merasa gerah dan ingin mengubahnya. Mawar merah tertancap kokoh, menyatu seirama tangkai dan duri. Hingga ia terpaksa asing, terkurung da...