Pada sejatinya, mendapat perhatian sangat menyenangkan. Namun semua tidak bisa diterima begitu saja.
###
Sepanjang perjalanan pulang, mulut Fina tidak berhenti mengucapkan kemungkinan yang membuat Farhan menghampirinya dan memberikan sebotol air.
"Mungkin dia merasa bersalah karena telah membuatmu masuk rumah sakit. Kan dia yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. Lalu dia meminta maaf dengan cara tidak menghukum kita dan memberikanmu air. Iya kan?" Al tidak menggubris kecerewetan Fina. Dia tetap menolak pendapat Fina.
"Atau mungkin dia merasa bersalah karena meninggalkan rumah sakit tanpa izin. Membuat Mas Alfan khawatir saja." Fina memamerkan wajah terjeleknya. Al belum menerima kemungkinan itu.
"Atau mungkin....." Al menatap Fina sekilas. Kembali menatap layar handphonenya.
"Kemungkinan dia menyukaimu. Kan kata Mbak Dina kamu cantik!" Al tersenyum kecut menanggapinya tanpa berhenti menatap layar handphonenya.
Tanpa Al sangka, Fina merampas handphonenya. Rasa penasaran Fina meningkat, ingin mengetahui apa yang membuat Al tidak meresponnya. Al hanya menatap sebuah nomor baru di daftar panggilan masuk. Dahi Fina mengerut. Ditatapnya Al, meminta penjelasan. Al mengambil handphonenya .
"Dia orang yang kutelpon, tapi salah sambung. Kupikir dia Alfan, ternyata bukan. Beberapa mnggu kemudian dia menalponku. Entah mengapa aku sengaja tidak menghapus nomor itu. Waktu itu dia menelponku, dia menanyakan namaku. Aku tahu namanya walaupun dia hanya menyebutkan namanya dua kali. Tapi aku amat menghafal namanya. Namanya Farhan Zidani Ahmad. Ketika bertamu dirumah sakit entah kenapa mataku tidak berhenti memperhatikannya. Setelah aku mengetahui bahwa namanya Farhan, aku ingin sekali berbicara dengannya. Sayangnya dia pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu."
Fina terkekeh mandengarkan.
"Jadi intinya, kamu ingin mengeahui dia lebih dalam?"
"Jangan su'udhon dulu!" ralat Al.
"Terus disebut apa kalau seperti itu?"
"Entahlah!" Fina menepuk jidat mendengarnya.
Tit... tit... tit...
Al mengambil handphone dari tasnya. Tertera sebuah nomor baru. Al memandangnya. Bukan nomor yang diharapkannya.
"Assalamu'alaikum ada yang bisa saya bantu?"
"Ya ampun Al! akhirnya aku bisa menemukan nomor handphonemu...."
Al langsung menjatuhkan handphone dari telinganya. Matanya melotot. Dia amat mengenal suara itu. Suara yang tidak asing di telinganya. Suara yang menelpon ke rumahnya di Bandung. Al memberikan handphonenya kepada Fina. Menyuruhnya untuk tidak mengaku kalau yang memiliki handphone itu adalah Nadia Alfirofa. Fina hanya menuruti perintah Al melihat wjah Al yang kepanikan.
"Maaf, ini siapa? Mungkin anda salah sambung, disini tidak ada yang bernama Al."
"Tapi, tadi aku mendengar suaranya. Aku sangat mengenal suara itu. Aku tidak mungkin salah. Tadi itu suara Al. kamu jangan bohong! Ini pasti nomor handphone Al kan?"
"Oh... tadi itu Mbak saya. Dia sudah menikah. Namanya Nadia, apa anda mau berbicara dengannya?"
"Nadia? Tidak mungkin! Itu pasti Al. aku yakin, aku tidak mungkin salah. Aku mendapatkan nomor itu dari adiknya. Jadi mistahil kalau nomor ini salah. Mustahil!"
"Maaf... kalau anda tidak mempunyai kepentingan. Lebih baik saya putuskan sambungan. Assalamu'alaikum!"
"Dia tetap bersikukuh ingin berbicara denganmu. Dia tetap mencari sosok Al!" Fina mengembalikan handphone ke tangan Al.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Dalam Etalase
General FictionNadia Alfirofa merasa nyaman dengan dunianya sendiri. Acuh akan kehadiran orang sekitar, hingga kakak sulungnya merasa gerah dan ingin mengubahnya. Mawar merah tertancap kokoh, menyatu seirama tangkai dan duri. Hingga ia terpaksa asing, terkurung da...