Pagi yang cerah, matahari bersinar seperti biasanya, tidak terlambat walau sedetikpun. Hari selasa, bukan pertama kali masuk setelah liburan atau tahun ajaran baru. Namun, ada yang janggal hari ini. Wajah menjengkelkan itu kembali. Gadis berambut panjang, memakai aksesoris warna-warni dengan rok sekolah pendek. Dia tengah berbincang ria sambil mengomentari siswa lainnya."Ih, konu banget." Tidak masalah jika dia disana hanya untuk mengomentari, atau membicarakan gosip terbaru dengan kelima dayangnya. Satu setengah tahun Refa bernafas lega, akhirnya tidak satu sekolah dengan wajah pemakai aksesoris warna-warni. Tak apalah kalau lima dayangnya satu sekolah denganku, lagipula Hani, Mona, Linda, Selvi dan Akila tanpa Tika bagai taman tak berbunga.
Hmm... bukannya itu lagu dangdut ya?
Oke, stop. Jangan teruskan liriknya. Apalagi sampai joget, karena itu tidak mengembalikan suasana hati yang terlanjur buruk. Serasa di sekeliling Refa mendung, siap menurunkan hujan. Berarak awan columbus datang bersamaan, menebar hawa dingin.
Lihat, dia berdiri di depan kelas dengan seragam almamater sekolah. Semuanya berubah abu-abu seakan datang monster jahat menghisap warna. Suram. Mungkin jika boleh aku memberi saran, kenapa tidak enyahkan saja makhluk pengacau itu?!
"Eh, ada Refa juga di sekolah ini." Dia terlihat puas melihat wajah Refa penuh amarah. Lima dayangnya cekikikan. Jelas tangan kanan kiri Tika itu menceritakan tentang Refa, tidak bisa disangkal. Kalau tidak bagaimana dia memonopoli pintu kelas Refa, sedang lima dayangnya tidak menghuni kelas itu.
"Aku kira cuma Evan yang sekolah disini." Lanjutnya.
"Permisi, aku mau masuk kelas."
"Lho? Nggak muat ya? Padahal nggak ketemu aku baru setengah tahun, ternyata kamu tambah gemuk. Haha." Hani dan Akila ikut tertawa. Hah? Mereka berdua menertawankan Refa? Mereka seperti tentara yang kembali mendapat kekuatan. Komandan mereka kembali.
Semoga saja mereka berlima tidak lupa, selama setengah tahun ini mereka menjadi jarum di antara tumpakan jerami. Tersembunyi di antara kerumunan.
"Aku mau masuk kelas." Tika memandang lekat, Refa masih hafal tatapannya. Merendahkan, menganggap seolah-olah dia ratu jagat raya yang wajib disanjung.
Setengah tahun lalu dia pindah ke Jakarta, senang mendengarnya. Refa pikir dia akan menempati ibu kota untuk selamanya. Nyatanya sekarang dia disini. Segera Refa langkahkan kaki masuk dari kelas, menerobos mereka. Enam serangkai pengacau.Ia tidak mau ada adegan drama pagi ini, mungkin lain kali boleh. Tapi tidak untuk saat ini. Refa masih syok. Cepat ia letakkan tas di kolong meja dan pergi.
"Pasti dia mau ngadu ke Evan." Cibir Mona.
Anjing menggonggong tuan putri berlalu.
###
Di bawah pohon beringin, kursi berjajar dan berhadapan. Evan dan teman-temannya duduk mendominasi tempat. Refa bergegas menghampiri mereka, berniat menyampaikan berita duka.
"Pagi, Ref! Masih pagi muka udah kayak benang kusut." Tegur Dewa. Tiga pasang mata ikut memerhatikan. Sorot mata mereka penasaran.
"Ya ampun pasti deh rambut kamu," Dewa beranjak, seakan menyambut kehadiran. Ah, tapi dia selalu begitu. Pertemuan dengan Dewa diawali dengan mengomentari rambut, kemudian setelah itu dia akan merapikan bak staylish rambut artis ternama.
"Bentar aku pinjam sisir Meghan dulu."
Tersisa ruang di samping Evan, tapi karena ingat kata-kata Mona tadi, Refa mengambil posisi duduk di samping Johan, masih tersisa sedikit ruang. Risih rasanya setelah mendengar kalimat pengacau itu, Refa membulatkan tekad tidak akan mengadu pada Evan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Dalam Etalase
General FictionNadia Alfirofa merasa nyaman dengan dunianya sendiri. Acuh akan kehadiran orang sekitar, hingga kakak sulungnya merasa gerah dan ingin mengubahnya. Mawar merah tertancap kokoh, menyatu seirama tangkai dan duri. Hingga ia terpaksa asing, terkurung da...