“Kim Ara divonis kanker paru-paru stadium lanjut.”
Tatapan Doyoung kosong seketika. Sedangkan Jaehyun benar-benar tidak tau lagi harus berekspresi seperti apa lagi. Ia terlalu terkejut. Ralat, mereka berdua terlalu terkejut. Ara terlalu muda untuk divonis kanker stadium lanjut.
Dokter menepuk bahu Doyoung, “Yang tegar..”
Sepeninggalnya dokter, Doyoung merosot hingga terduduk di lantai.
“D-doy.. k-kanker p-paru-paru d-darimana.…?”
Di sela tangisnya, Doyoung menjawab, “Papa. Keturunan papa.”
Setelah menenangkan dirinya, Doyoung masuk ke dalam kamar Ara. Disusul dengan Jaehyun.
Bodohnya Doyoung. Harusnya ia bertanya dari kemarin. Setidaknya, Ara kamu gapapa?.
Doyoung memang bekakangan ini menyadari ada yang berubah dengan tubuh Ara. Tentu, sekarang Ara terlihat sangat kurus. Tinggal tulang sama kentut. Suara Ara juga dari kemarin serak.
“Kak Doyoung?” panggil Ara.
Doyoung tidak berkata apa-apa dan langsung memeluk Ara.
“A-ara..”
“Loh? Kak Doyoung kok nangis?” Ara tentu menyadarinya. Bahu Doyoung bergetar hebat dan Doyoung juga terisak.
Akhirnya Ara tersenyum teduh, “Ara sakit parah ya kak?” tanyanya.
Pertanyaan Ara berhasil membuat Doyoung dan Jaehyun membeku di tempat.
“Kak, ayo pulang..” pinta Ara.
Doyoung melepas pelukannya dan menatap Ara dengan mata berkaca-kacanya.
“Gak bisa ra..”
“Kak, Ara mau pulang.” pinta Ara sekali lagi.
“Ara.. tolong..” lirih Doyoung.
“Ara mohon kak.”
“Gak bisa! Kamu sakit! Kanker paru-paru stadium lanjut, Kim Ara!” bentak Doyoung.
Ara terkejut bukan main. Sakit parah yang ia kira tidak sedekat ini dengan kematian.
“Doy.” ucap Jaehyun memperingatkan.
Ara menghela nafasnya, “Kak, Ara mau pulang. Ara mau sekolah seperti biasa. Ketemu Haechan, ketemu Renjun, Jeno, Jaemin. Ketemu guru-guru. Setidaknya untuk kali terakhir.. Setelah itu, terserah kakak.”
Ara akhirnya berhasil datang ke sekolah. Semalam, mama dan Doyoung tidur bersamanya sambil menangis. Perasaan itu, perasaan yang telah lama mereka tidak rasakan kembali muncul. Perasaan takut akan kehilangan.
Hari ini, Ara sudah bertekad akan menempel seharian penuh dengan Haechan. Oh, Haechan belum tau tentang penyakit Ara.
Tadi, Haechan sudah mengantar Ara hingga ke kelas. Haechan juga sudah menemani Ara hingga guru masuk.
Saat guru sedang lengah, Renjun berbisik kepada Ara, “Weh ra, lo pucet banget. Gapapa?”
“Gapapa, njun. Santai..”
Teneneneneneneneetttt..
Bel istirahat berbunyi.
“Ra! Kantin bareng yuk.” ajak Jeno.
Tentu Ara tak menolak. Karena di kantin pasti ada Haechan. Dan Jaemin tentunya.
“Yuk.”
Ara duduk di samping Haechan dengan senyumnya.
“Hai cantik.” sapa Haechan.
“Haii..”
“Gimana pelajarannya?” tanya Haechan.
“Seru.”
Mereka semua menatap Ara aneh. Siapa sih yang sepemikiran sama Ara? Dari sudut mana matematika tuh seru?!
“Eh, kalo dipikir-pikir, kita udah lama ya gak ngumpul bareng gini.” ucap Jaemin.
“Hooh, suka mencar kita kalo makan.” sahut Jeno.
Mereka menikmati makanan mereka. Dengan penuh canda dan tawa tentunya. Di sekolah ini, hanya mereka teman Ara. Tidak, bukan karena Ara benci atau dibenci murid lain. Tapi, hanya karena Ara lebih nyaman dengan Haechan, Jeno, Jaemin dan Renjun. Malah, semua murid disini senang dengan kehadiran Ara. Mereka mengenal Ara sebagai siswi dengan kebaikan tanpa batas.
“Haechan.” panggil seseorang.
Yang tak lain adalah Lami.
Sontak, Jaemin melempar sumpitnya, Jeno membanting minumannya, dan Renjun memutar bola matanya malas.
“Nenek lampir ini..” gumam mereka bertiga.
“Kenapa?”
“Tolong anterin aku ke uks. Palaku pusing nih.”
“Oh, yaudah yuk.” Haechan hendak berdiri. Tapi Ara menahannya.
“Gak boleh.”
Haechan mengerutkan keningnya, “Ara?”
“Disini aja. Sama aku.” ucap Ara.
“Ara? Kok kamu jadi begini?!”
“Haechan, cepetan, aku pusing..” ucap Lami.
Ara ikut berdiri dan menghela nafasnya, "Kamu pilih aku atau sahabat kamu? Aku gak rela perhatian kamu ke aku dibagi ke perempuan lain!"
"Ara!"
"Haechan, sesusah itu ya buat fokus sama aku?"
“Apa-apaan sih ra?!” Haechan melepaskan tangan Ara paksa.
“Woi anjing.” tegur Jeno.
Haechan menarik Lami untuk pergi. Tapi, gerakan mereka terhenti saat Ara teriak. Tidak, tidak hanya mereka. Tapi seluruh orang yang ada di kantin saat ini.
“aKU SAKIT, HAECHAN! AKU KANKER PARU-PARU STADIUM LANJUT! AKU YANG LEBIH DEKET SAMA KEMATIAN, BUKAN LAMI!” teriak Ara dengan mata berkaca-kacanya.
Waktu di kantin seperti berhenti untuk sesaat. Semua membeku.
Semua menatap Ara tak percaya. Bahkan Haechan langsung menghampiri Ara dan memegang kedua bahu Ara.
Lami yang tadinya menatap sinis kepada Ara langsung menatap Ara dengan rasa bersalahnya. Lami gak nyangka. Sama sekali enggak. Lami malu udah ngelakuin hal-hal bodoh yang jadi ancaman buat hubungan Ara sama Haechan.
“Ra? S-serius..” Haechan menatap Ara benar-benar tak percaya.
Ara dengan tangisnya yang mulai tak terkontrol menatap Haechan, “Aku divonis sama dokter semalem. Aku bela-belain buat sekolah hari ini. Aku pengen punya kenangan sama kamu. Tapi, seperti biasa, kamu malah lebih milih Lami daripada aku! Hiks...”
Renjun menutup mulutnya, “A-ara..”
“S-sekarang.. aku tanya sekali lagi sama kamu. Kamu pilih pacar kamu, Ara atau sahabat kamu, Lami.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Fidèle
Short Story𝘍𝘪𝘥𝘦𝘭𝘦 𝘢𝘳𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢 "Kamu pilih aku atau sahabat kamu? Aku gak rela perhatian kamu ke aku dibagi ke perempuan lain!" "Ara!" "Haechan, sesusah itu ya buat fokus sama aku?"