04

341 52 0
                                    

Ara menatap dirinya di cermin. Entah perasaannya saja atau memang berat badannya menurun drastis? Karena ia sadar. Tubuhnya saat ini sangat kurus. Padahal ia tidak diet sama sekali. Ya, tapi gak heran sih. Makan ati kan juga bisa sama pacarnya.

Gak lama, seorang gadis keluar dari salah satu bilik toilet. Lami.

“Eh, ada Ara.” kalimat yang Lami ucapkan seperti meremehkan Ara. Bukannya harusnya Lami memanggil Ara dengan embel-embel “kak”? Gimanapun juga, Ara itu kakak kelasnya. Ya mungkin karena sudah terbiasa memanggil Haechan dengan nama saja.

Ara hanya tersenyum menanggapinya.

“Eh, ra. Kemaren Haechan nemenin gue ke bioskop. Dia udah bilang ke lo belom?” tanya Lami tanpa rasa bersalah.

“Udah.” jawab Ara singkat, padat dan jelas.

“Dia juga ngante—”

“—Lami. Tolong ya, sebagai sesama perempuan. Aku minta kamu buat tau batasannya. Haechan udah punya pacar. Bukannya kamu harusnya lebih meminimalisir minta tolong ke Haechan? Dia juga harus punya waktu sama aku. Jangan egois.”

“Loh? Tapi dianya mau-mau aja kok gua minta tolongin.” nada Lami semakin meremehkan.

Ara menghela nafasnya, “Aku minta tolong sama kamu itu aja.” Ara hendak keluar dari toilet, namun, Lami kembali melontarkan kalimat lain.

“Pacar bisa putus. Sedangkan sahabat enggak. Coba lo ngertiin Haechan.”

Ok, Ara tidak tahan. Ia berbalik dan menatap tajam Lami.

“Heh nenek lampir. Denger ya. Lo itu perempuan paling gak tau diri yang pernah gua liat. Masih bisa ya lo ngaku-ngaku jadi sahabat Haechan? Ngotak dong. Kenapa lo pergi gak ngabarin Haechan? Kemana lo waktu Haechan sakit parah? Waktu Haechan butuh tempat sandaran, lo kemana?! Lo balik aja gak ada kabar buat Haechan. Bisa-bisanya ya lo dengan muka tanpa dosa ngebabuin Haechan buat nganterin lo ke rumah sakit lah, nemenin nonton lah, nemenin belajar lah. Sahabat? Halah tai.”

Lami tampak ingin membalas, namun, Ara maju selangkah demi selangkah mendekat dengan Lami. Membuat Lami reflek mundur hingga punggungnya menempel dengan tembok.

“Oh ya, gua ini kakak kelas lo. Bisa sopan? Diajarin sopan santun kan?”

Lami menatap Ara sinis walaupun kakinya sudah bergetar, “L-lo!”

“Masih gue pantau lo, macem-macem lagi gue acak-acak tuh lipstik.” ancam Ara lalu pergi meninggalkan Lami gitu aja.

Ya. Sifat Ara bisa berubah tertantung dengan siapa yang tengah ia hadapi. Kalau orang itu lembut, Ara bisa jauh lebih lembut. Tapi, kalau orang itu kasar, Ara bisa mengajari orang itu apa yang lebih dari kasar.

 Tapi, kalau orang itu kasar, Ara bisa mengajari orang itu apa yang lebih dari kasar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ra! Tadi dicariin Haechan.” ucap Renjun.

Ara mengangguk, “Ok.”

Ara dan Haechan memang tidak sekelas. Ara malah sekelas dengan sahabat laki-laki Haechan. Renjun dan Jeno.

Saat ini mereka sedang pelajaran olahraga. Materi Badminton. Kesukaan Ara tentunya.

“Berikutnya, Alya lawan Ara.” teriak bapak olahraga.

Ara dan Alya bersiap di tengah lapangan. Ara mendapat kesempatan untuk melakukan servis pertama kali.

“Satu, dua, tiga!”

Permainan dimulai.

Pada menit ke 20 semuanya masih tampak baik-baik saja. Siswa-siswi juga asik memperhatikan permainan badminton yang sengit antara Alya dan Ara. Pak guru juga sibuk mencatat nilai.

Tapi tak lama, Ara mulai merasakan sesak pada dadanya. Ia berusaha untuk fokus. Tapi gagal. Lama-lama ia merasa seperti tidak ada lagi oksigen yang dapat ia hirup. Akhirnya ia ambruk.

Buru-buru Renjun dan Jeno menghampiri pacar sahabatnya itu.

Jeno memegang bahu Ara, “Ra! Woi kenapa?!”

Nafas Ara kian memberat. Ia membuka mulutnya selebar mungkin untuk mengambil oksigen. Tapi nihil.

“S-sesek.” lirih Ara.

“Kita ke dokter!” teriak Renjun.

“Jangan. G-gue—”

Belum sempat Ara menyelesaikan kalimatnya, ia sudah pingsan. Untung saja Jeno menahan punggungnya.

“Jeno! Bawa ke uks!” teriak pak guru.

Fidèle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang