09

371 49 0
                                    

Hari-hari terus berlalu. Kondisi Ara bukannya membaik, malah semakin parah. Tubuhnya benar-benar selangsing layangan. Kurus, pucat, tak berdaya. Tidak ada lagi Ara dengan muka segarnya yang selalu berbuat kebaikan kepada orang-orang. Kini ia hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

Seperti biasa, Ara disini ditemani mamanya. Doyoung? Belum pulang kerja tentunya. Haechan? Masih sekolah. Tapi, biasa, jam segini, ada Jaehyun yang selalu datang menjenguk Ara. Membawakan mie instan diam-diam untuk Ara makan sebulan sekali.

Ceklek.

“Loh? Hae—uhuk..uhuk..” Ara kembali batuk darah.

Haechan yang baru datang dengan sigap mengambil tisu dan mengelap telapak tangan juga mulut Ara.

“Halo tante.” sapa Haechan walaupun telat.

“Iya nak Haechan.”

“Aku pulang lebih awal karena jamkos, Araaaa. Bukan bolos. Negatif mulu ih.” ucap Haechan kepada Ara.

“Ara, mama tinggal dulu ya, ada urusan administrasi nih. Haechan, titip Ara ya.”

“Siap tante.”

Mama Ara kemudian keluar dari kamar. Haechan langsung memeluk Ara.

“Aku rinduuu~”

“Ya ampun, kamu cuman ninggalin aku ke sekolah.”

Haechan melepas pelukannya.

“Kamu makan dikit ya? Kok kurus banget sih..” Haechan memasang wajah murungnya.

Ara mengacak rambut Haechan, “Aku makan banyak tau.”

“Aku ke toilet dulu.” ucap Haechan.

Sepeninggalnya Haechan ke toilet, Ara meminum air putihnya.

uhuk..uhuk..uhuk..hooh..hooh” batuk dan sesak kembali menyerang Ara.

Gelas yang Ara pegang akhirnya terjatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping.

Ara memegang dadanya yang sesak dan nyeri bukan main.

Ceklek.

“aRA!” Haechan menghampiri Ara dan memencet tombol yang ada di samping ranjang Ara.

“Ara.. tahan ya ra..”

Haechan ingin sekali menangis. Rasanya ia ingin menyerah dengan doa nya. Ia tak sanggup lagi melihat Ara berjuang melawan sakitnya. Tubuh sekurus ini harus menanggung penyakit yang keras.

Ceklek.

Dokter masuk disusul dengan suster dan Mama Ara. Tunggu. Ternyata ada Doyoung juga.

“Silahkan tunggu diluar ya..” ucap susternya.

Mereka bertiga keluar dari ruangan Ara dengan perasaan campur aduk.

“Ara.. mama mohon kamu harus kuat dong ra. Mama gak sanggup ditinggal siapa-siapa lagi..” gumam Mama Ara.

Mereka menunggu dalam diam. Tak ada percakapan. Semua terlalu kalut dengan pikirannya masing-masing.

Hingga 15 menit kemudian, Dokter Lee akhirnya keluar.

Ceklek.

“D-dok.. gimana?” tanya Mama Ara.

Dokter Lee menggeleng, “Kita semua sudah harus mempersiapkan diri. Kondisi Ara sudah tidak memungkinkan lagi. Hidupnya juga diprediksi tidak lebih panjang dari seminggu. Mohon ketabahannya..”

Haechan memasuki ruangan Ara dengan senyumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haechan memasuki ruangan Ara dengan senyumnya. Senyum terpaksa tepatnya. Karena Ara, Haechan harus merasakan sakitnya cinta.

Haechan duduk di samping Ara yang tengah tertidur pulas. Jujur saat ini Haechan sangat menyesal. Waktu yang ia pakai bersama Lami, harusnya ia habiskan bersama Ara.

eungh..

Haechan melihat Ara membuka matanya. Haechan menatap kedua bola mata yang menurutnya sangat sempurna. Sedih yang Haechan rasakan saat ia tersadar kalau mata ini sebentar lagi tak bisa ia tatap setiap hari.

“Haechan..”

“Iya? Kenapa? Mau apa? Mau minum?”

Ara menggeleng pelan, “Haechan, aku..uhuk..mau ngomong serius.”

Haechan menunduk. Ia sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan Ara.

“Terimakasih udah jadi pacar yang setia menemani aku di saat-saat terakhir aku hidup. Aku takut gak sempat ngucapin salam perpisahan karena nafasku bisa berhenti kapan aja.”

Haechan tak lagi bisa menahan air matanya. Pertahanannya runtuh.

“Semenjak sakit, aku sadar. Kalo pacarku ini orang yang setia. Padahal aku pernah yakin kalo kamu bakal sibuk sama Lami kalo aku sakit.” Ara terkekeh pelan.

“Aku gak bermaksud melukai perasaanmu. Tapi aku juga gak nyangka bakal sakit kayak gini. Aku dengar omongan dokter tadi—” Ara mengusap air mata Haechan yang berjatuhan.

“—tandanya, aku gak bisa semangatin kamu waktu ujian tiba. Tapi, kamu harus tau. Aku bakal terus mendoakan yang terbaik buat kamu, Lee Haechan.”

“Maaf aku gak bisa lagi mengisi hari-hari kamu. Maaf aku gak bisa lagi jadi seseorang yang selalu ada di sisi kamu saat suka maupun duka. Maaf kalau aku belum menjadi pacar yang baik selama ini. Dan maaf udah mengajari kamu pahitnya cinta yang berujung perpisahan.”

Ara menjatuhkan air matanya, “Sekarang hanya waktu yang akan mengerti bahwa perpisahan ini sangatlah berat. Tapi aku berharap semoga cerita cinta kita akan selalu menjadi kenangan indah di memori kamu.”

Haechan tersenyum pedih, “Padahal aku selalu berdoa sama Tuhan dua puluh empat jam di setiap hari. Aku mohon biar kamu sembuh. Tapi ternyata kali ini Tuhan gak dengar doa-doaku.”

Kamar Ara diisi dengan isak tangis mereka berdua. Ini terlalu menyakitkan untuk Haechan maupun Ara.

Fidèle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang