PART 04

386 34 0
                                    

.
.
.

Jangan lupa

Vote

&

Comment

💙💙💙

!!!





______

"Yeay! Anak pintar!" Jilli mengusap rambut Haechan dengan gemas.

______




"Aaaaa! Noona!" Jeno memekik setelah membuka pintu.

Ia melihat sesuatu yang sangat ia benci tiba-tiba muncul di depan matanya. Jeno benar-benar tidak habis pikir kalau tinggal di apartemen sang kakak akan jadi sehoror ini. Jeno benci semua hal yang membuatnya takut. Jeno tidak suka.

Ya, baru saja Jeno membuka pintu menuju balkon dan tiba-tiba saja seekor kecoa terbang ke arahnya; sedikit menyenggol bagian pelipisnya.

Jeno duduk berjongkok di ambang pintu balkon dengan tubuh gemetar. Anak itu bahkan tidak berani bergerak barang satu sentimeter saja. Pandangannya juga hanya terfokus pada satu titik; pandangan kosong.

Jilli yang baru keluar pun terkejut saat melihat adik semata wayangnya itu dalam posisi yang femiliar di matanya; posisi Jeno saat traumanya datang.

Dengan langkah cepat ia menghampiri Jeno dan langsung memeluk remaja tersebut begitu erat. Terdengar olehnya bagaimana deru napas Jeno yang begitu cepat dan seolah sama dengan deru napas seseorang yang baru saja selesai lari maraton seratus meter.

"Tidak ada apa-apa, Jeno-ya. Tidak ada apa-apa," kata Jilli semakin mempererat pelukannya.

"Noona, aku takut!" Jeno lantas menyembunyikan wajahnya di cermin leher sang kakak. Menangis.

"Atur napasmu. Jangan menahannya lagi." Jilli mencium kening Jeno.

Meskipun Jilli benci pada sikap Jeno yang terkadang kekanakan dan suka membuat onar, tetapi ia tidak pernah tinggal diam jika sang adik sedang dalam kesulitan. Ia tidak akan pernah meninggalkan Jeno dalam keadaan sakit sendirian.

Delapan tahun yang lalu, sesuatu terjadi dan membuat Jilli bersumpah untuk terus menjaga Jeno meski hanya sebagai pelindung dari jauh.

Kejadian itu adalah saat dimana Jilli menggoda Jeno kecil dengan mainan karet berbentuk kecoa. Jeno yang benci pada serangga itu pun berlari menghindari sang kakak. Sayangnya, mereka yang bermain di lantai dua itu tidak menyadari kalau lantai anak tangga baru saja dipel dan masih basah serta licin.

Brak!

"Argh!"

"Jeno!"

Bayangkan bagaimana hancurnya hatimu saat melihat tubuh anak laki-laki berusia delapan tahun harus jatuh menggelinding di tangga bak sebuah bola dan berakhir di ujung dengan wajah penuh darah. Pasti sangat sakit.

Dan, itulah yang dirasakan oleh Jilli. Ia menyesal sudah menggoda adiknya. Ia menyesal, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Orang tuanya jelas marah, tetapi tidak sampai membenci Jilli. Hal ini pula yang mendorong Jilli untuk tinggal terpisah dari keluarganya. Ia takut kembali menyakiti Jeno.

Sekarang, rasa sakit itu kembali datang saat melihat Jeno menangis ketakutan seperti tadi. Penyesalan tak berujung itu kembali membuka jahitan luka di hatinya yang belum kering. Isak tangis adiknya adalah kelemahan bagi si Kuat Girlyntya Kim tersebut.

"Jangan menangis lagi, Jeno-ya. Noona ada di sini, jadi kau tidak akan jatuh lagi." Jilli menangis dan kembali mencium kening Jeno.

"Hiks! Noona ... hiks!" Jeno mengeratkan pelukannya. Memberitahukan kepada sang kakak bahwa ia tidak bisa melawan rasa takutnya untuk saat ini.

Beruntung ia sudah makan tadi bersama Haechan, jadi sekarang punya tenaga untuk menggendong tubuh Jeno yang terlihat kecil namun sebenarnya berat tersebut.

Jilli membawa adiknya ke kamar. Membuatnya berbaring di kasur, tetapi Jeno kembali bangun dan memeluk Jilli. Bocah itu merengek meminta Jilli untuk menemaninya malam ini.

Tatapan mata sedih nan polos dengan linangan air mata itu membuat Jilli jadi tidak tega. Ia pun menyetujui permintaan Jeno karena tahu kalau hari esok dia pasti tidak akan melihat sang adik berbuat onar.

"Noona, hiks ... Jeno jatuh."
"Tidak, kok. Jeno tidak akan jatuh lagi."
"Sakit, Noona. Jeno jatuh."
"Sssttt ... sekarang Jeno tidur, ya."
"Hiks! Sakit!"
"Sssttt!"

Dengan penuh kasih sayang, Jilli pindah berbaring di samping sang adik lalu memeluknya erat. Menepuk-nepuk pelan punggung Jeno agar anak itu cepat tertidur pulas.

______



Pagi yang cerah datang. Haechan terbangun dan mendapati tempat di sebelahnya kosong. Ia hanya mengangkat kedua bahunya acuh. Sudah mengira kalau Jilli pasti akan selalu bangun lebih awal.

Haechan duduk di atas kasur sambil melihat-lihat sekeliling kamar milik Jilli. Ia tersenyum karena baru pertama kalinya melihat nuansa kamar seorang perempuan dengan warna yang monoton.

"Jilli Noona memang orang yang sederhana." Haechan turun karena tertarik pada sebuah rak buku.

Ia melihat-lihat koleksi buku milik Jilli dan tertarik pada sebuah buku tebal dengan judul 'Abracadabra' yang sampulnya berwarna merah pudar. Haechan tersenyum dan mengambil buku tersebut. Ia mulai membaca bagian awalnya dan tertarik.

"Wah, ternyata Noona punya buku sebagus ini. Kenapa tidak dari kemarin saja aku tahu? Kan aku tidak jadi bosan." Haechan kembali melanjutkan bacaannya.

Ia benar-benar melupakan bahwa dunia dihuni oleh miliaran orang. Haechan kembali hidup dalam dunianya sendiri. Dunia buku yang membuatnya lupa akan semua hal. Berguling ke kanan, kembali lagi ke kiri, lalu duduk tegak, dan kembali berbaring. Terus seperti itu sampai ia menyelesaikan setengah dari buku yang ia baca.

"Kenapa sampai jam segini Noona tidak bawa sarapan untukku? Kalau aku ambil sendiri, nanti ketahuan adiknya." Haechan menghela napas. "Tapi, kalau aku diam saja, aku kelaparan begini," katanya menatap miris perutnya sendiri.

Aduh ... kemana Jilli Noona?





_________

To

Be

Continued

💙🙏

!!!

__________

IMAGINER •||• NCT - Haechan [Complete ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang