——
Disinilah mereka sekarang. Terkurung rasa canggung dan bingung. Sebab sehabis adegan introgasi tadi, bukannya menjawab Irel malah balik memaki soal denim dan ojol yang tanpa persetujuan di antar ke kediamannya. Menjadikan si pengirim diam dan berakhir duduk di kursi bawah eskalator.
Keduanya duduk tanpa aba-aba, saling membelakangi layaknya tak pernah saling kenal. Saling beradu argumen dengan pikiran sendiri, mencari cara agar bisa keluar dari atmosfer ini.
Yang membuat Irel berbesar hati untuk mengeluarkan kata duluan.
"Maaf," katanya singkat, masih dalam posisi membelakangi. "Maaf udah ngasih nomor telepon lo sembarangan." Bimo masih bertahan dengan bungkamnya, merasa masih bukan kapasitasnya untuk angkat bicara. "Jujur, gue ngasih nomor lo ke Kak Shania bener-bener tanpa paksaan, gue mikirnya ga bakal jadi masalah toh elo bilang sendiri, lo sering ngasih nomor lo ke banyak orang, terutama cewek."
"Yang gua bilang itu jauh dari kebenaran. Sekalipun itu bener, ga sepantesnya lu ngasihin nomor gua seenak—"
"Iya tau, gue sepenuhnya salah. Gue ga lagi nyari alesan buat ngelindungin diri kok. Tapi tetep aja, buat apa lo bohong soal gituan apalagi ke anak baru kayak gue yang notabenenya ga kenal baik lingkungan dan warga sekolah ?"
"Iseng."
"Cih, tipe orang yang sampe mati pengen gue hindarin."
"Siapa?"
"Elo." Jawaban Irel sukses membuat yang dijawab menoleh dan terkekeh singkat sebelum merubah posisi menjadi duduk bersampingan.
"Sebaliknya, gua pengen nempelin lu terus sampe mati."
Berani sumpah, Irel ingin memuntahkan nasi goreng yang tadi sore ia makan ketika mendengar jawaban dari cowok disampingnya. Namun berakhir tidak menghiraukan, terlampau bosan menghadapi, karena Bimo Prakasa itu benar-benar menyebalkan.
"Kenapa sebegitu marahnya pas tau gue ngasihin nomor ke Kak Shania?"
"Jangan geer," tukas Bimo cepat. "Gua marah bukan karena itu elu, tapi karena itu Kak Shania siapapun yang ngasih reaksi gua bakal tetep sama kayak sekarang."
Irel mendengus, "iya terserah, jadi kenapa?"
"Gua ga suka aja kalo ada cewek yang ngejar gua sebegitu kencengnya, sampe bikin gua sesak ga nyaman. Karena memang pada dasarnya, cewek itu ga tau tata cara 'mengejar' dengan benar," menjadikan Irel mendecih meremehkan. "Lho, serius! Cowok itu ibarat udah ada SIM buat urusan kejar-mengejar cinta."
"SIM?"
"Surat Izin Mencintai," entah ini sudah dengusan keberapa yang Irel lakukan, berbicara dengan Bimo memang membutuhkan ekstra kesabaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOSARELLA
Teen FictionBagaimana bisa hubungan yang awalnya hanya berlandas hukuman berubah menjadi cinta tanpa paksaan? "Gila, kok, hukumannya nagih?" --- Copyright© hanadulsetdet,2020