8. That Beautiful Love

563 85 0
                                    


















❄️Happy Reading❄️




















Lalice termenung, menatap sendu ke arah luar jendela kamar. Ia mengerat cengkeramannya pada kursi roda. Dengan tubuh bergetar, dan mata yang berair, Lalice mati-matian menahan agar tidak terisak.

Ia menulikan pendengaran. Berusaha untuk mengabaikan dering ponselnya yang tak kunjung berhenti sejak setengah jam lalu. Itu Sehun, Lalice tahu. Dan ia sedang menghindari pemuda tersebut.

Entahlah. Rasanya... Ia belum siap. Lalice tak memiliki cukup keberanian untuk berbincang dengan Sehun lagi. Semoga saja hanya dalam beberapa saat.

Ia bingung. Atau mungkin, mencoba berdamai dengan takdir. Pasrah.

Sekarang, tersisa satu pertanyaan di benaknya. Yaitu... Bagaimana? Bagaimana selanjutnya? Lalice tak bisa mengerti ini, bahkan setelah sang ibu datang memberi nasihat tadi pagi.

Ia lantas menggeleng. Menghapus air mata di sudut netranya, yang jatuh tanpa disadari. Gadis itu mengambil napas banyak-banyak, mengusir jutaan emosi yang bergerumul di dadanya.

"Aku bisa. Aku pasti bisa. Aku harus bisa." Ia berujar, menyemangati dirinya sendiri. Meski matanya malah semakin basah, Lalice justru mengembangkan senyumnya.

Perempuan cantik tersebut mulai menapakkan satu kaki pada lantai. Ia tak peduli, walau ketakutan timbul menghinggapi pikirannya. Lalice berupaya untuk masa bodoh dengan itu.

Ia kemudian mendorong tubuhnya dengan tangan. Mencoba untuk bangkit berdiri, melupakan fakta kalau ia hanya seorang gadis cacat yang lumpuh.

Lalice menguatkan kaki di bawah sana. Menurunkan satu lainnya, lalu melempar kursi rodanya dengan kencang. Mengakibatkan ia kehilangan tumpuan, dan akhirnya jatuh. Lalice tersungkur tak berdaya.

Badan gadis itu kini teramat-sangat nyeri, terlebih lagi ditambahkan dengan rasa sakit, yang menjalar di hatinya. Lalice memukuli dadanya, benar-benar menyesakkan. Lalice benci! Ternyata ia sudah tidak berguna. Sungguh tidak berguna!

Ia mencoba lagi.

Lagi.

Lagi.

Dan lagi.

Untuk terakhir kali, namun masih sama. Nihil. Ia gagal.

Lalice lantas menyeret paksa tubuhnya. Membiarkan kulit putihnya lecet karena bergesekan di lantai. Entahlah, tiba-tiba ia tidak merasakan apa pun. Lalice, mati rasa.

Ia tetap berusaha, berjalan menggapai nakas dengan menarik badannya pada ubin tanpa henti. Mengabaikan tetes demi tetes air mata yang kembali berjatuhan membanjiri pipi. Suasana di sana juga semakin lengkap, diiringi suara telepon yang masih terus berbunyi nyaring.

Gadis itu berjuang, tak menyerah. Sampai pada akhirnya, ia berhasil. Tak ingin terlalu lama menunda waktu, Lalice langsung menggenggam laci kecil tersebut. Membawa tubuhnya untuk berdiri, menahan bobot hanya dengan bertopang lengan.

"Merepotkan!"

PRANG

"Parasit!"

PRANG

"Sampah!"

PRANG

"Argh!"

BRUK

Call Me Before You Sleep || Hunlice ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang