9. Not The Right Time

565 86 0
                                    



















❄️Happy Reading❄️




















Lalice kini sedang duduk di kursi riasnya. Ia hanya diam, tak melakukan apa pun. Karena justru Sohee-lah yang bergerak. Wanita itu mendandani wajah Lalice dengan cekatan.

"Ibu, tidak usah terlalu tebal," rengek sang putri, mengingat sejak satu jam lalu, aksi rias-merias ini belum juga selesai.

"Tidak, kok, Lice. Kau bisa lihat sendiri di cermin," elak Sohee membantah tuduhan Lalice.

Lantas, gadis berponi itu mendengus. Ia memajukan bibirnya, sedikit merasa kesal. "Sudah, Bu. Lalice hanya ingin berkencan, bukan pentas menjadi hantu."

Ibunya langsung terkikik geli. "Tapi memang harus begini, Lice. Kau perempuan. Sudah semestinya kau mengerti cara mempercantik diri," ujar Sohee, yang sukses membuat Lalice mendelik tak suka. "Perempuan itu butuh waktu yang lama untuk berdandan, Lice. Bahkan untuk hasil yang natural, Ibu biasa menghabiskan satu setengah, hingga dua jam, kau tahu?"

Mendengar hal tersebut, si anak sontak menghembuskan napasnya panjang. "Lalice selalu bermain dengan Ayah, Bu. Mana paham Lalice dengan alat-alat kecantikan? Lalice hanya tahu oli, obeng, paku..."

Seketika, aktivitas Sohee terhenti. Ia beralih mata ke arah bawah---menunduk. Lalu kembali menatap Lalice, dengan pandangan sendu. "Maaf karena Ibu terlalu sibuk selama ini. Ibu melewatkan segalanya," ujar wanita itu lesu.

Manik Lalice membola. Ia memukul pelan bibirnya, yang bicara tanpa disaring terlebih dulu. Gadis cantik tersebut juga membatin, merutuki kebodohannya yang telah asal berceletuk barusan.

"Bukan begitu maksud Lalice, Bu---"

"Ah, sudahlah. Lebih baik kita lanjutkan saja. Kau bisa terlambat nanti," potong Sohee cepat. Jujur, Lalice dapat menangkap suara serak sang ibu saat berujar tadi.

Dan karena permasalahan itu, suasana diantara mereka tiba-tiba menjadi hening. Mereka terdiam, dengan Lalice yang melihat ke cermin, sedangkan Sohee fokus pada kegiatannya. Tak ada yang berniat memulai perbincangan kembali.

Lalice merasa canggung. Padahal dengan ibu sendiri, tapi mengapa mereka seperti orang asing yang baru pertama kali bertemu?

"Ibu..."

"Hm?"

Ia berhela pelan sejenak. "Maaf, ya? Lalice sungguh tak sadar kalau telah mengungkit masa lalu," cicitnya. "Mulut ini memang terkadang tak bisa diajak berkompromi, Bu. Sorry."

Si lawan bicara terkekeh. "Tak apa. Jangan dibahas lagi."

"Tapi Ibu tidak marah, kan?" tanya Lalice.

Sohee langsung mengernyit. "Kau bicara apa, Nak? Bagaimana mungkin Ibu bisa marah dengan anak semanis dirimu?" titah wanita itu membalikkan pertanyaan Lalice.

"Ish, Ibu. Pasti bisa, lah. Lalice anak yang nakal." Ia merengut lucu, dan lagi-lagi berhasil membuat Sohee tergelak.

"Kalau terlalu kalem untuk dikatakan nakal, Lice." Sohee menggelengkan kepalanya, menyaksikan tingkah si putri. Huft, benar-benar, perempuan bersurai panjang tersebut sudah seperti anak kecil saja.

Mereka kembali bungkam untuk beberapa saat. Kini Sohee sudah beralih pada rambut. Dan mengetahui itu, Lalice sedikit menunduk. Ia memperhatikan kuku-kukunya dengan saksama. Teramat-sangat cantik, karena telah dihias oleh Sohee.

Call Me Before You Sleep || Hunlice ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang