Putri Langit

28 2 2
                                    

Pernahkah kalian mendengar sebuah dongeng tentang kerajaan langit? Ketika aku kecil dulu, kakek sering mendongengkannya padaku. Bahkan ayahku, ayah juga pernah menceritakannya. Berbeda dengan kakek, ayah selalu menceritakan dengan aku sebagai tokoh utamanya. Katanya, aku adalah seorang putri langit. Tapi, aku adalah putri yang malang. Karena aku terlahir dari rahim seorang wanita penghuni Bumi. Kemudian, saudara-saudaraku di langit membuangku ke Bumi. Dan mereka menceritakan kepada ayahanda kalau aku telah mati dibunuh oleh para makhluk yang ada di Bumi.

Dan cerita itu tak pernah berlanjut lagi.

Dunia yang malang dan aku yang ikut merangkak di atas lembaran bumi hitam yang penuh dengan lubang-lubang kehampaan. Setiap hari harus bergumul bersama keegoisan makhluk di sekitarnya. Sudah belasan tahun, tetap saja seperti ini. Mengalah demi ego mereka yang tak mau berlaku adil terhadap diriku.

Hujan, kemarau, siang, malam, panas, dingin, semuanya itu tak pernah berubah. Dongkol sekali rasanya berada terus di tempat ini. Kebisuan, selalu menyapa setiap pagi. Tidak ada yang bisa diharapkan lagi, karena di sini harapan telah mati dan di sini tempatnya untuk bertahan. Ya, bertahan supaya tidak menjadi korban seleksi alam.

Malas, memang selalu menghampiri hati yang lengah, mengalir bersama aliran darah dalam tubuh, melalui pernapasan, masuk ke celah pori-pori kulit dan masih banyak cara lagi untuk senantiasa hinggap dalam jiwa-jiwa yang tenang.

Aku yang saat ini tengah bergumam dengan kotak-kotak huruf yang timbul di atas keyboard. Ya, sebuah alat yang telah mengalami evolusi teknologi semakin canggih buatan orang-orang jenius jauh di sana. Dan aku sedikit menikmati suguhan karya yang brilian ini.

“Apa? Kau mau pergi lagi dengan geng berandalanmu itu?”

“Cukup! Ayah tidak berhak berkata seperti itu pada mereka!”

“Kenyataannya memang seperti itu kan! Kuliahmu terbengkalai. Padahal ayah menginginkanmu menjadi penerus ayah, Arai!”

“Tidak ayah, aku tidak tertarik dengan ilmuwan sepertimu itu. Biarkan saja Emili yang meneruskanmu.”

“Tidak Arai, ayah sudah..-“

“Pranngggg!!!!”

Aku meremas seprei kasurku yang bermotif bunga matahari. Selalu saja dihiasi pertengkaran seperti itu. Kak Arai yang selalu pergi bersama gengnya membuat kuliahnya tidak jelas, hal ini yang menjadi penyebab ayah marah besar. Padahal ayah memasukkan kak Arai ke sebuah universitas dengan jurusan nuklir tidak lain adalah untuk menjadikannya pengganti ayah sebagai peneliti yang cukup terkenal di desaku. Tapi kak Arai selalu menolak.

Aku tahu, setiap pertengkaran pasti diakhiri dengan suara piring pecah. Tidak salah lagi itu adalah perbuatan kak Elisa. Dia selalu tidak tahan mendengar pertengkaran yang sering terjadi di keluarga kami. Satu-satunya cara yang dilakukannya untuk melampiaskan emosinya dengan melempar piring.

Begitulah, masih mending malam ini ibuku tidak ikut dalam insiden pertengkaran. Jika ibu hadir juga, maka jangan salahkan jika kak Elisa selalu mendapat tamparan pedas dari ibu.

Aku. Kupikir aku hanyalah seorang pecundang yang tidak mau tahu dengan pertengkaran yang ada. Aku lebih memilih diam, mengunci kamar, atau pergi dari rumah secara diam-diam. Nangis, mungkin tidak biasa. Kupikir menangis juga tidak boleh sembarangan, harus ada tempatnya. Seperti yang kupilih saat ini adalah kamar mandi. Terlalu introvert.
.
.

MARSTEROIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang