Aku pikir dia adalah manusia yang dikirim Tuhan dari belahan bumi yang lain. ketika itu aku sedang bermain bersama kucing sekolah yang kuberi nama Thomson. Seorang lelaki keluar dari kerumunan.
“Thomson. Nama yang bagus.” Tiba-tiba kalimat itu membuatku mendongak.
Aku berdiri, tidak berkata-kata untuk membalas ucapannya. Sungguh, tidak ada yang tahu nama kucing ini selain aku dan Syila.
“Tenanglah, aku hanya bercanda.” Dia mengulum senyum yang menurutku senyuman mengejek. “Kau gadis yang suka menyendiri kan?” Lanjutnya.
“Apa hakmu mengurusiku?” Aku membela diri.
“Kamu Emi kan? Perkenalkan namaku Sei, dari kelas 12A.” Ucapnya tanpa perlu menjawab pertanyaanku. Sial, dia mengabaikanku.
“Dari mana kamu tahu namaku?” Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan percakapan kami, hanya basa-basi.
“Aku berpikir, maka aku tahu.” Jawabnya simpel, sesimpel ekspresinya.
Daripada aku mati berdiri menghadapi manusia sok tahu yang menyebalkan ini, lebih baik kutinggalkan, dengan membawa Thomson tentunya. Sial, ketika hendak pergi, wajah-wajah horor menyorotiku, bukan horor tapi sinis, ya itu istilah yang tepatnya. Ternyata gadis-gadis di sekolah ini mengidolakan laki-laki dari luar angkasa ini, mungkin.
“Maaf nona, kartu namamu terjatuh.” Seorang lelaki berkulit putih bersih tiba-tiba menyeruku dan memberikan kartu namaku yang terjatuh. Aku segera membawa kartu nama itu dan segera pergi.
Sejak saat itulah hidupku mulai dihantui sosok lelaki misterius itu. Mulai dari pesan singkat hingga pesan yang abnormal, absurd atau apalah aku tidak tahu istilahnya. Menganggu, sangat mengganggu.
“Kenapa kau hanya diam di situ? Sana masuk!” Dia membuyarkan kebekuanku.
Aku memasuki ruangan yang luasnya seperti ruang kelasku, bedanya di sini mejanya diberi taplak dan tempat berkas-berkas dokumentasi yang disusun secara vertikal. Tepat sekali, meja yang kutuju persis di barisan paling pojok dan orang yang akan kutemui pun sudah ada di sana dengan posisi menulis.
“Ada perlu denganku, Emili?” Sepertinya manusia ini sudah menyadari kehadiranku. Lihat, sekarang dia menatapku fokus.
“Eh, anu. Aku mau menanyakan soal Syila.”
“Sudah kuduga kau akan menanyakan hal ini padaku.” Kali ini dia membenarkan posisi duduknya lebih santai, dengan isyarat darinya aku duduk di kursi barisan depannya.
Kami duduk berhadapan.
“Syila hendak mencelakakan Alina, anak dari kelas 12A,” gelagat yang buruk mengenai Syila “Syila mencoba mendorong Alina dari atas gedung perpustakaan.”
Apakah aku tidak salah dengar dengan berita yang barus saja aku dapat di pagi hari ini.
“Woi Emi! Kau mau ke mana lagi?” Suara itu lagi, ternyata dia terus menguntitku.
“Aku mau mencari Syila.” Jawabku tanpa menghiraukan Sei yang masih menungguku di meja presensi.
Sepertinya hari ini aku membolos lagi. tidak apalah, yang terpenting sekarang bagiku adalah kejelasan dari Syila. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Syila sehingga dia berani melakukan hal bodoh seperti itu. Setahuku selama aku bersamanya, Syila adalah anak yang pemalu sekali dan tidak mudah akrab dengan orang lain.
Pukul 10.20
Dengan berkendaraan sepeda, aku memberanikan diri untuk menemui sahabatku di rumahnya, tidak terlalu jauh juga. Taman bunga, pesawahan, ilalang, hutan bambu dan tibalah di sebidang tanah yang agak mengasingkan diri dari tetangga. Rumahnya sederhana, tidak mewah juga tidak reyot. Hanya cat dindingnya saja yang sudah pudar dan kusen-kusen rumah yang sedikit dimakan rayap. Ya, aku meihat, sosok itu menyembul di balik daun pintu. Menyapu kesana kemari dengan lihai, sesekali dia memungut benda-benda yang menurutnya masih perlu diselamatkan.
Aku menyebut namanya, dia terperangah, menoleh. Aku menghampirinya.
“Kenapa Emi? Kau pasti mau menuduhku juga kan?” Suaranya sedikit serak. Oh tidak, dia tidak bisa menahan air matanya.
“Aku tidak menuduhmu, aku hanya meminta penjelasan darimu. Itu saja.” Kataku memohon.
Dengan kata isyarat darinya, aku paham bahwa dia mempersilakanku masuk. Tidak mungkin, Sei lebih dulu masuk, cepat sekali dia. Padahal tadi aku tidak melihatnya di belakangku. Ah sudahlah, dia memang sudah seperti makhluk astral. Sepertinya kedua orang tua Syila sedang bekerja. Seorang tukang pos dan pengrajin souvenir.
“Video itu, aku sama sekali tidak mendorongnya Emi.”
Kali ini kami sedang membicarakan video yang diberikan wali kelasku tadi pagi. Sebuah video singkat yang mengisahkan dua orang perempuan berada di atas bibir gedung perpustakaan, aku melihat gadis yang membelakangi kamera mencoba untuk menjatuhkan Alina, hanya itu. Alina belum jatuh.
“Tidak! Itu bukan aku Emi, bukan!” Syila ngotot menyanggah.
“Emi! Apa kau mempercayainya?” Tiba-tiba Sei masuk dalam percakapan kami.
“Aku masih belum bisa menyimpulkan itu Syila atau bukan.” Aku menutup laptopku. “Syil, bolehkah kau menceritakan kegiatanmu pada hari minggu sebelum pukul delapan tiga lima.”
Pukul 08:35 adalah kejadian itu terjadi. Dan gadis yang terekam itu seperti Syila.
“Pada hari minggu, aku memang pergi ke sekolah. tapi bukan untuk membunuh.” Syila menunduk. “Aku hanya mengikuti latihan club sastra. Aku memang sempat menemui Alina pada sore harinya, tapi tidak mengajaknya ke atap gedung. Alina memanggilku, dia..” Syila menghentikan bicaranya. Aku penasaran.
“Apa yang dikatakan Alina padamu?”
“Dia mengancamku.” Berhenti. Tidak ada sound effect dari ruang tamu, hening dan senyap.
.
.
![](https://img.wattpad.com/cover/223027839-288-k197126.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MARSTEROID
FantasyJangan menyelami ceritanya jika kalian tidak ingin tenggelam dalam sebuah kegilaan.