Posisi kami saat ini adalah di atap gedung perpustakaan. Cepat sekali bukan, tidak perlu dipertanyakan, kami naik lift ke lantai tiga lalu naik tangga atap. Perpustakaan memang ditutup ketika sudah jam Sembilan malam. Sebenarnya sedikit curiga juga dengan lelaki bernama Rio ini.
Angin sore selalu menegur lembut, menari-nari di atas jingganya senja, membelai daun-daun di bawah sana, memeluk awan-awan yang sendu. Alam memang selalu romantis.
“Sebenarnya aku tertarik padamu Emi.”
Ck. Apa katanya? Tertarik? Apa aku tidak sedang berimajinasi. Oh tentu saja tidak. Aku merasakan gelagat yang aneh.
“Untuk apa?”
“Ketika kau sedang berbicara sendiri.”
“Uhukk. Uhukk!” Aku mengangkat wajahku, memberi kesan tidak paham akan pembicaraan Rio. Berbicara sendiri? kapan aku mulai melakukannya?
“Ya Emi, kau sering berbicara sendiri. aku yakin kau bisa melihat makhluk gaib.” Dia antusias sekali dan kini mendekatiku hingga jarak kami tinggal dua langkah.
“Apa benar kau bisa melihat mereka Emi? Kau ingat ketika aku memberikan kartu namamu dulu ketika kita pertama kali bertemu?”
“Eh, ya. Kau kan yang memberikan kartu namaku yang terjatuh itu, Rio.”
“Ketika itu aku bertanya padamu, tapi kau malah menjawab kata-kata yang lain, entahlah itu sangat tidak nyambung dengan pertanyaanku. Kau mengabaikan semua pertanyaanku bahkan sepertinya kau tidak sadar dengan kehadiranku, padahal aku menghampirimu yang sedang bermain dengan kucing kuningmu itu, aku lupa namanya kalau tidak salah Thomson.”
Benarkah aku berbicara sendiri. tidak. Ini tidak dibenarkan oleh penguasa mana pun. Sudah sangat jelas saat itu aku bicara dengan .. Sei!
“Ketika itu aku bertanya ‘Hei siapa namamu?’ tapi kau menjawab ‘Apa hakmu mengurusiku’ dengan nada yang sedikit jengkel, padahal aku betanya baik-baik.”
Aku berusaha memutar otakku ke masa lalu. Ke masa pertama kali bertemu Rio dan bertemu Sei. Jelas bukan, bukan Rio yang bertanya padaku tapi Sei. Dia yang pertama kali menegurku dan bertingkah sok kenal seperti itu. Ah aku masih belum bisa mencerna semua ini, belum bisa. Oh Tuhan adakah cahaya pencerahan untuk masalah ini.
“Tunggu dulu Rio, saat itu memang aku tidak sedang bicara denganmu bukan? Aku berbicara dengan Sei, bukan denganmu.”
“Ah itu dia, kau selalu menyebut-nyebut nama itu. Sei, siapa dia? Apa dia temanmu?”
“Tentu saja dia adalah temanku. Apa mau kuperkenalkan dengannya?”
“Belum ingin aku bertemu dengannya. Oh iya, maafkan aku, karena rasa penasaran membuatku selalu memata-mataimu di sekolah.”
“Aku tidak mengerti Rio dengan semua yang kau katakan. Tapi ketika pelajaran tadi, Sei mengirimku sms. Bukan, bukan short message lebih tepatnya long message.”
“Bisa aku lihat long message nya?”
“Tentu saja.” Aku memberikan handphoneku pada Rio. Dia memijit-mijit tombol yang diperlukan, sekarang dia mengerenyitkan dahinya, matanya memicing berusaha memahami kata demi kata.
“Emilia, ini bukan sekedar informasi tentang Mars. Menurutku ini lebih mirip dengan sebuah pesan- “
“Memang itu pesan kan, hanya saja sangat panjang.”
“Bukan itu maksudku, ini seperti curhatan seorang penghuni Mars yang ingin diselamatkan manusia bumi.”
“Maksudmu Sei adalah alien Mars?!!”
Aku melotot setengah tidak percaya, Rio terdiam.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARSTEROID
FantasyJangan menyelami ceritanya jika kalian tidak ingin tenggelam dalam sebuah kegilaan.