Aku mengenalnya belum lama, beberapa bulan yang lalu saat dia menjadi murid pindahan dari sebuah sekolah terkenal di negeri nun jauh di sana. Tidak kusangka, dia tertarik dengan sekolah yang terkenal dengan murid bermasalah.
Tidak! Kupikir hanya kelasku saja yang seperti itu, tidak memandang kedua orang tuaku adalah ilmuwan terkenal. Dia sudah pasti ditempatkan di kelas istimewa para anak jenius. Memang tidak adil dunia ini. Umurku saat ini menginjak delapan belas tahun, itu artinya sekarang aku duduk di bangku SMA.
Seperti biasa, suasana kelas yang gerah, membuatku enggan berlama-lama di dalamnya. Aku berniat untuk membolos lagi hari ini. Tempat yang menjadi favoritku adalah perpustakaan lantai tiga. Di sana aku bisa melihat gedung-gedung kelasku dengan jelas. Semuanya terlihat kecil, seperti dapat kugenggam. Aku juga bisa melihat orang-orang sibuk dengan profesi masing-masing hanya untuk mendapatkan sebuah materi guna kepuasan dirinya. Aku rasa aku tidak mau menjadi seperti kebanyakan orang itu.
“Sudah kuduga kau akan pergi ke tempat ini, Emi.”
“Kau sudah tahu keadaan kelasku bagaimana.” Jawabku tak terusik dengan kehadirannya.
Dia mendekati rak-rak buku dan mencari sesuatu. yang pasti mencari judul buku.
“Kau tidak ikut pelajaran hari ini, Sei?” Tanyaku kembali.
“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu.” Dia membolak-balikkan sampul buku yang kini sudah dipegangnya. “Aku tadi izin untuk tidak mengikuti kelas bahasa.”
“Emi, apakah kau ada masalah dengan keluargamu?”“Eh, dari mana kau tahu?”
“Sudahlah, wajahmu terlalu sulit menyembunyikan kesedihanmu.”
Sei memang cerdas. Bahkan dia mampu menebak keadaan psikologis lawan bicaranya. “Owh, baiklah akan kuceritakan semuanya padamu. Jika sudah kuceritakan, kuharap kau memberiku solusi untuk semuanya.”
Dia mengangguk pelan dan kini dengan posisi siap menjadi pendengar yang baik. Aku bercerita padanya, mulai dari ayah memarahi kak Arai, sampai insiden tari piringnya kak Elisa. Faktor penyebab problem di keluargaku dan semuanya, semuanya yang memang perlu untuk diceritakan.
“Seperti itulah. Bagaimana aku harus menyikapi semua ini?”
Dia mengangguk lagi, entah paham atau tidak yang jelas dia memberikan anggukan. “Sebaiknya kau jangan terlalu terbawa suasana. Pahami semua kejadian yang terjadi di keluargamu.” Katanya sembari bangkit dari duduknya.
Eh tunggu dulu, sekarang dia menggandong tas ranselnya.
“Kau mau ke mana Sei?” Terlalu singkat jika dia hanya memberiku saran seperti itu. Tapi sekarang dia hendak pergi begitu saja, apa maksudnya.
“Kau tahu, sekarang sudah saatnya jam pelajaran kedua. Aku mau ke kelas.” Dia dengan santainya melangkah.
Lalu menoleh kepadaku, “Ini salahmu Emi, kau terlalu banyak bercerita. Pikirkan baik-baik saranku!” Dia tersenyum penuh kemenangan.
Menyebalkan sekali orang itu, dia selalu saja seenaknya. Tapi, setidaknya dia mau menjadi pendengar yang baik. “Aaarghhh Seii!! Sialannn-“
“Maaf mbak, harap tenang. Ini adalah perpustakaan bukan pasar swalayan.”
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARSTEROID
FantasyJangan menyelami ceritanya jika kalian tidak ingin tenggelam dalam sebuah kegilaan.