Laboratorium Profesor Carota

12 0 0
                                    

Masih banyak kejanggalan yang kutemui, bahkan sampai saat ini pun aku tidak bertemu dengan Sei. Ah, handphoneku. Aku baru ingat mungkin semalam Sei mengirimiku pesan dan aku belum membacanya.

From: Makhluk Astral (10:13 p.m)
Emi, besok aku tidak akan berangkat ke sekolah. Ada sesuatu yang harus ku selesaikan.

From: Makhluk Astral (10:17 p.m)
Emi, kau tidak penasaran denganku? Bahkan kau tidak membaca pesanku.

From: Makhluk Astral (10:20 p.m)
Jangan mencariku besok.

Ah rupanya memang benar dia tidak berangkat sekolah hari ini. Tapi apa yang dilakukannya, ah kenapa semalam aku tidak membaca pesannya.

From: Manusia Aneh (01:12 a.m)
Apa kita bisa bertemu dan membicarakan masalah tadi pagi?

Hufff, baru saja aku ingin tidur siang Rio memintaku untuk menemuinya. Rasa ingin tahunya sangat kuat, dia berbeda dengan teman-temanku yang lain. Ketika semua orang acuh tak acuh menanggapi masalah kehadiran para Marsteroid – istilah ini yang akan kugunakan untuk menyebut para makhluk Mars itu, berdasarkan kesepakatanku dan Rio – ke Bumi, tapi bagi Rio masalah ini membuatnya penasaran dan ingin mencari tahu lebih dalam mengenai para Marsteroid itu. Sepertinya ia ingin melanjutkan penelitian kakeknya.

Aku dibawa ke ruang penelitian kakek Rio, profesor Carota. Sebuah ruangan yang cukup megah berisi peralatan-peralatan canggih, terutama alat-alat astronomi yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Ini menakjubkan, bahkan aku tidak tahu seluruh nama benda-benda canggih ini. profesor Carota dengan jas putih kebesarannya mempersilakanku masuk ke sebuah ruang bawah tanah yang terisolasi. Di sana terlihat ada beberapa kursi dan meja, kemudian kami duduk di sana. Cahaya neon yang menjadi latar ruangan kedap suara ini.

“Aku telah mendengar tentangmu dari cucuku, apa kau ingin menanyakan sesuatu?” Profesor membuka pembicaraan kami dengan suara tua nya.

“Ku rasa akulah yang akan menjawab pertanyaan kalian hari ini.” Kataku yang sudah menduga-duga bahwa mereka akan banyak melontarkan pertanyaan padaku.
Ku lihat Rio mendengus kesal, dan aku membalasnya dengan tatapan sinis.

“Hahaha, ternyata kau sangat cerdas nak.” Profesor bangkit dari duduknya dan hendak berjalan dengan santai. “Marsteroid, dulu aku sangat tertarik dengan kasus itu. Bagaimana bisa mereka memusuhi makhluk Bumi.”

“Mereka tidak akan memusuhi manusia jika tidak ada penyebabnya.” Sanggahku, “Ini bukan berarti pembelaan. Aku hanya ingat pepatah yang mengatakan ‘tidak ada asap kalau tidak ada api’, kupikir mereka hanya ingin mempertahankan kehidupannya yang terancam.”

Profesor menghela nafas, “Kau memang benar nak, kalau begitu aku akan menceritakan kisah yang sesungguhnya pada kalian berdua. Sudah waktunya kalian harus mengetahui kebenarannya.”

Aku dan Rio saling tatap tanpa kata, kemudian kembali menatap profesor dengan seksama. Kemudian profesor memulai penjelasannya.

Tiga puluh tahun yang lalu, para ilmuan bumi diguncangkan dengan penemuan barunya mengenai planet Mars. Mereka menemukan hawa kehidupan di Mars. Lalu dengan alat-alat canggih yang mereka buat pada akhirnya menghantarkan mereka kepada kepuasan atas jawaban yang selama ini mereka inginkan. Mengenai Mars, mengenai kehidupan.

Aku, ilmuan muda yang pada saat itu masih berusia tiga puluh tahunan, telah menyadari sesuatu. Entah apa yang ada di dalam pikiranku saat itu, aku hanya penasaran dengan pendapat yang menyatakan adanya kehidupan dimensi lain. Aku diam-diam melakukan percobaan pada sebuah benda, benda yang nantinya akan kusulap menjadi sebuah alat yang bisa melihat para Marsteroid. Dan pada akhirnya hanya sebuah kacamata yang bisa kubuat. Sebenarnya aku tidak berharap banyak pada sistem kerjanya kacamata itu, tapi setidaknya aku sudah berusaha.

Aku masih ingat pada malam itu, untuk pertama kalinya aku memakai kacamata buatanku. Aku sengaja naik ke atap gedung penelitian, mendongakkan kepala ke atas langit malam yang kelam, taburan bintang seperti garam yang dituangkan ke dalam masakan, memberikan cita rasa dan membuat langit terasa nikmat dipandang. Mataku menyapu hamparan langit yang luasnya sejauh mata memandang, lalu aku terhenti di sebuah benda langit sebulat bulan purnama dan berwarna kemerahan, kupikir itu adalah sebuah planet. Ya, aku melihatnya dengan jelas, sesuatu yang bercahaya seperti ekor komet yang jatuh membelah langit.

Benda langit yang jatuh itu menimbulkan jejak cahaya yang terpendar melintang dari planet yang berwarna kemerahan hingga membentuk garis setengah lingkaran, entah di mana ujung pemberhentiannya. Tiba-tiba kumparan cahaya lain datang ke arahku, cahaya itu sangat menyilaukan sekali dan membuatku refleks menutup mata dan pergi dari tempatku berdiri.

Perlahan kelopak mataku terbuka, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di hadapanku kini. Apakah ini mimpi atau bukan, apakah ini ilusi atau bukan, kenyataan memang saat ini aku menyaksikan dari kumparan cahaya yang terpendar itu membentuk sebuah lubang, entahlah aku juga tidak mengerti apa namanya. Lubang itu tingginya setinggi orang dewasa yang paling tinggi dan berbentuk agak oval dengan diameter ke samping sekitar satu meter tiga puluh centi, memancarkan cahaya terang keunguan. Setelah itu aku menamainya sebagai lubang antar dimensi.

Daripada aku mati penasaran sambil berdiri, lebih baik aku melihat langsung dengan mata kepalaku apa yang sebenarnya berada di dalam lubang itu, aku mendekat hingga tinggal dua langkah dari lubang cahaya itu. Aku melihatnya, ya melihat seperti jalan membentang menuju suatu perkampungan. Tapi jalan itu lebih mirip seperti sekumpulan cahaya yang membentuk garis lurus seratus delapan puluh derajat, dan memiliki gaya tarik yang cukup kuat. Seperti menerobos ruang dan waktu dengan kecepatan yang hanya bisa diukur dengan kecepatan cahaya.

“Lalu, kapan aku bisa melihat lubang antar dimensi itu?” Aku menyela penjelasan profesor Carota.

“Ketika malam hari, tepatnya pada waktu tengah malam.” Profesor Carota kemudian berjalan perlahan mendekatiku dan duduk di hadapanku sambil tersenyum.

“Aku ingin melihatnya! Aku ingin melihat ruang antar dimensi itu profesor!” Aku mulai antusias, sedangkan Rio melihatku dengan ekspresi penuh kemenangan. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini.

“Sebenarnya sumber-sumber itu sering kali sukar dideteksi, karena boleh jadi terdiri atas zat biasa yang sekedar terlalu samar atau jauh, atau mungkin itulah zona zat gelap, seperti yang menempati pusat gugus galaksi dan sekelilingnya. Yang jelas, di mana ada massa, di situ ada gravitasi. Itulah sebabnya profesor bilang ada gaya tarik yang sangat kuat.” Tiba-tiba Rio menimpali dengan nada bicara tanpa ekspresi.

Aku sedikit sebal dengan argumennya. Kenapa dia bisa berfikir sejauh itu, mungkin karena dia cucu dari seorang profesor.

“Lalu, apakah kita bisa pergi ke sana?” Lagi-lagi pertanyaan gila keluar dari mulutku.

Profesor menghela nafas dan membuangnya perlahan. “Tak ada yang tak suka ruang antargalaksi, tapi ruang itu bisa berbahaya bagi kesehatanmu jika kau memutuskan untuk pergi ke sana.”

“Mungkin kau akan mati beku di sana Emi, dan sel-sel darahmu akan pecah selagi kau sesak nafas karena tidak ada tekanan atmosfer. Haha.” Sambung Rio seolah sedang mengejekku. Rasanya kepalan tanganku ingin segera mendarat di wajahnya.

“Itu semua bahaya yang biasa-biasa saja.” Profesor bangkit dan berdiri membelakangiku. “Ruang antargalaksi sering ditembus zarah subatom bermuatan, bergerak cepat, berenergi amat sangat tinggi. Kita menyebutnya sinar kosmik. Satu zarah subatom dengan kecepatan yang begitu cepat punya energi yang cukup untuk memukul bola golf sampai masuk lubang. Haha.”

Kepalaku mulai terasa pening mendengar penjelasan profesor. Rasanya aku belum sanggup untuk mencerna semua teori yang dikatakannya.

“Aku rasa materi hari ini dicukupkan dulu. Kalian pasti sudah sangat lapar. Aku akan membuatkan kalian makanan. Dan setelah makan, kalian boleh pulang.” Kata profesor yang rupanya sudah bisa menebak keadaanku yang mulai jenuh.

Kami bertiga pun keluar dari laboratorium ruang bawah tanah profesor Carota. Udara segar sore hari mulai tercium kembali. Namun, senja tak muncul sore ini. Kami bertiga kemudian pergi ke dapur profesor, membuat makanan dan memakannya bersama. Setelah itu, aku dan Rio pamit pulang. Meski berjalan bersisian, tidak ada apatah kata yang terucap dari mulut kami. Kami membisu dalam waktu. Tenggelam dalam lamunan asing-masing.

“Meskipun kau setengah Marsteroid, aku akan tetap menjadi temanmu Emi.” Tiba-tiba Rio berkata seperti itu ketika hendak berbelok ke arah rumahnya. Aku terdiam di belakangnya dan tidak mengucapkan apapun.
.
.

MARSTEROIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang