Ambyar

2.4K 167 28
                                    

Typo koreksi, ya. Penulis lebih seneng kalo pembacanya memberi komentar ketimbang vote, gaes. Makasih atas pengertiannya. 😊
****

Jam menunjukkan pukul sebelas siang ketika Nanaz dihampiri oleh seorang nenek-nenek berusia sekitar 60 tahun. Nanaz pun menyambut kedatangannya dengan baik.

"Selamat siang, Nek, ada yang bisa saya bantu?"

Selama Nanaz bekerja di sini, baru kali ini ada seorang nenek yang datang ke kantor. Ia bertanya-tanya dalam hati siapakah gerangan nenek ini dan apa tujuannya.

"Jangan panggil Nenek, ah. Panggil aja aku, Mbah," ralat beliau dengan logat jawa yang kental. Ia membuka tas yang diapitnya di bawah ketiak, kemudian mengambil ponsel pintar dari dalamnya. "Sebentar, ya. Aku telpon dulu."

Nanaz mengangguk, masih dengan ekspresi penuh tanya.

"Halo, Kiano? Ini aku, si Mbah. Aku udah di kantormu. Lah, iya, sekarang. Kamu di mana?"

Nanaz mengamati nenek tersebut dengan seksama, masih menerka-nerka. Apakah ini neneknya si Bos? Tapi, sepertinya bukan. Setahunya, Kiano sudah tidak punya nenek lagi.

Terus, kok, bicaranya ... aku-kamu, ya?

Tiba-tiba, pintu ruangan milik Kiano terbuka dengan dramatis, lalu sosoknya yang rupawan muncul.

"Mbah?!" seru Kiano, seolah-olah sedang menemukan oase di padang pasir.

"Nah, itu dia orangnya!" kata si Mbah pada Nanaz yang masih berpikir keras.

"Ayo, Mbah! Saya udah nggak tahan lagi!" Kiano mendekat, menarik tangan keriput si Mbah dengan semangat.

Nanaz mengamatinya dengan curiga. Dan tanpa bisa dicegah, otak korengannya langsung terkontaminasi.

Ditambah lagi ketika Kiano berseru padanya, "Kalau ada yang nyari saya, bilang aja saya lagi makan siang di luar. Dan jangan panggil saya sebelum kami selesai. Oke?"

Nanaz mengerjapkan mata. "Memangnya Bapak mau ngapain?"

Bukannya menjawab, Kiano segera masuk ke ruangannya sambil menyeret nenek tadi dengan antusias. Kiano juga menutup seluruh tirai jendela seperti biasa saat ia mengajak pacarnya untuk ajojing di dalam sana.

"Astaga!" Nanaz menutup mulut dengan kedua tangannya. Pikirannya mulai kotor, membayangkan kalau-kalau Kiano dan si Mbah tadi akan melakukan hal-hal yang tidak dinginkan. Dilihat dari cara Kiano menatap si Mbah saja pun sudah terlihat mencurigakan.

Awalnya, Nanaz berusaha untuk berpikir positif. Otaknya memang senantiasa berpikiran kotor, namun kali ini ia berharap ia salah. Mungkin Kiano ada urusan penting dengan si Mbah. Tapi, kenapa tadi dia bilangnya sudah tidak tahan lagi?

"Nggak mungkin, otak korenganku plis berpikirlah positif," katanya pada dirinya sendiri.

Lima menit kemudian, ia mendapati dirinya tak lagi konsentrasi melakukan pekerjaannya. Ia lalu beranjak, mengendap-endap menuju pintu ruang kerja Kiano lalu menempelkan telinganya di pintu.

"Aaaah! Jangan di sana, Mbah! Geli!"

Nanaz merosot jatuh ke lantai dengan mulut terbuka lebar ketika mendengar suara Kiano barusan.

"Yang ini, geli ndak?"

"Yang itu nggak. Aaaah, agak ke bawah sedikit, Mbah!" kata Kiano terdengar seperti sedang mendesah keras.

Hidung Nanaz kembang kempis mendengar percakapan tak senonoh tersebut.

Gimana bisa mereka?!

"Iya, gitu, Mbah! Ehmm, enak banget, Mbah! Ahhh!"

When Janda Meet DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang