Rindu menguras hati

2.4K 188 28
                                    

😑 ahhh, menyebalkan sekali rasanya ...😑

****

"Messy!"

"Hadir, Pak!"

Messy terkejut ketika secara tiba-tiba Kiano datang menghampiri meja kerjanya. Lipstik yang harusnya dioleskannya ke bibir, justru meleset membentuk coretan panjang hingga ke pipi.

"Nanaz ke mana? Kok, dia nggak ada?"

Messy menunjuk ke arah pintu keluar. "Katanya sih tadi sama Messy pergi ke makam, Pak."

"Apa? Makam? Makam siapa?"

"Memangnya ada perlu apa, ya, Pak? Telpon aja, Pak, suruh balik. Pasti entar Mbak Nanaz-nya gercep. Soalnya, dia pernah bilang, mending digigit buaya ketimbang digigit Bapak. Eh!"

Kiano menatap Messy dengan alis berkerut-kerut. "Memangnya saya apaan mau gigit-gigit anak orang? Monyet?"

"Kalau kata Mbak Nanaz, sih, bukan monyet, Pak. Tapi, kucing garong."

Kiano mendengus. "Kalian sering gibahin saya, ya?"

"Ehhhm, nggak sering, sih, Pak. Tapi, ada sih sesekali kalau lagi gabut. Hehehe."

Kiano menggelengkan kepalanya, tak habis pikir bagaimana dia bisa mempertahankan karyawati seperti Nanaz maupun Messy yang menurutnya terkadang bukan seperti perempuan pada umumnya. Yang satu kurang ajar, yang satunya kelewat polos dan bego.

"Kamu tahu di mana makamnya?"

"TPU Pondok Kelapa sih kalo nggak salah, Pak."

Kiano diam sejenak, ekspresinya seolah terkejut mendengar nama tempat itu.

"Oke, makasih," lanjutnya lantas beranjak menuju pintu keluar gedung.

"Ah, Bos bangsul. Ngangetin aja. Tuh, kan, jadinya muka gue kecoret!" cibirnya ketika melihat pantulan wajahnya di cermin kecil yang selalu dibawanya ke mana-mana.

***

Sudah lebih lima belas menit Nanaz di sini, di depan makam dengan nisan bertuliskan Arkan Wicaksono, yang wafat tahun 2017 silam. Ia mungkin bersedih, namun air matanya sudah kering, sehingga ia tidak bisa menangis lagi.

"Aku rindu ...," lirihnya. Menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Aku udah kuat kan, Ar? Aku udah nggak nangis lagi kalau ke sini. Itu artinya, aku mulai baik-baik aja, tanpa kamu ...."

Arkan merupakan pacarnya sejak di SMA sampai di bangku kuliah. Di mata Nanaz, Arkan adalah suami yang baik, pengertian dan penyayang. Yang paling Nanaz suka darinya ialah, Arkan tidak pernah berbicara dengan nada tinggi padanya sekalipun jika ia sedang marah. Dia hanya akan mendiamkan Nanaz selama satu hari, lalu keesokan paginya ia akan memeluk Nanaz dan bersikap seolah-olah masalah kemarin tidak pernah ada.

Ia murah senyum dan sangat menyukai anak kecil. Meski selama dua tahun pernikahan Nanaz belum memberikannya keturunan, namun kasih sayangnya tidak pernah luntur sedikit pun. Ia mencintai Nanaz apa adanya, dengan segala kekurangannya.

Namun, Tuhan begitu menyayanginya sehingga ia dipanggil begitu cepat. Arkan meninggal karena kecelakaan tunggal dua tahun yang lalu di sebuah jalan raya. Ia pergi meninggalkan Nanaz, tanpa pesan, tanpa pertanda.

Kepergiannya meninggalkan banyak luka, menciptakan ruang rindu yang setiap saat terasa kosong. Nanaz merindukannya. Sangat merindukannya. Itu sebabnya ia ada di sini sekarang.

When Janda Meet DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang