08; Remind

6.8K 1.4K 689
                                    

Halo outta, lama banget ya? udah rindu?

Btw, sebelum baca mau tanya, kalian tim Maru atau Neru?

atau masih pusing mereka yang sebenernya gimana haha. santai aja baca pelan-pelan.


__ __ __





"Eunjo! Shin Eunjo!"

Eunjo pikir suara Maru adalah sesuatu yang bisa menyusup ke mimpinya. Awalnya. Hanya pada awalnya sampai ia yakin suara itu bukan bunga tidur.

Dengan setengah malas, Eunjo menyibak selimut dan menyisir rambutnya dengan kelima jari. Ia meraih jubah tidurnya dan memakai sandal tidur sebelum berderap ke pintu menyambut tamu tak diundang.

Lagi pula orang gila macam apa yang berteriak depan apartemen orang lain jam enam pagi. Setidaknya hanya si idiot itu yang melakukannya. Dan Eunjo semakin yakin, bahwa Maru memang Maru, bukan Jeon Neru yang pernah menghancurkan hidupnya. Karena jika dibandingkan dengan Neru, Maru seribu kali lebih konyol.

Kini bisa ia lihat Jeon Maru berdiri di depan pintu apartemennya, berpakaian necis dengan kaca mata hitam sambil memasukkan sebelah tangan ke saku celana hitam.

"Bisakah kau tidak berteriak di depan pintuku sepagi ini?"

"Bisakah kau langsung membuka pintunya sejak panggilan pertama?"

Eunjo mendengus sambil melipat tangan dan membuang wajahnya sesaat. "Sekarang aku sudah membuka pintu untukmu. Apa maumu?"

"Eunjo, aku mimpi buruk."

"Dan kau datang ke tempatku sepagi ini hanya untuk mengatakan itu?"

Eunjo nyaris melayangkan pukulan di kepala Maru kalau tetangga apartemennya tidak tiba-tiba keluar.

"Kau sudah punya kekasih?" tanya pria yang baru keluar dari balik pintu tanpa basa-basi. Kadang kala ucapan beberapa tetangga apartemennya menjadi sangat menyebalkan. Biarpun begitu, Eunjo selalu memberikan jawaban bernada manis.

Kali ini bukan Eunjo yang menjawab melainkan Maru. Pria itu melepas kacamatanya dan mengangguk sopan. Dia menunjuk Eunjo meskipun pandangannya tetap tertuju pada si lelaki paruh baya pekerja kantoran.

"Kekasihku," katanya bangga.

Eunjo melotot marah pada Maru. Tetapi tentu saja kedua pria itu belum terlalu peduli dengan keberadaannya.

"Pujaan hatiku," kata Maru lagi, "Sebentar lagi kami akan menikah," ujarnya tanpa ditanya. "Menikah sungguhan."

"Sungguh?" Pria itu berdecak kagum. Lalu berpaling pada Eunjo. "Aku sudah menganggapmu seperti putriku, kenapa menyimpan kabar gembira ini sendirian."

Maru meringis prihatin. "Wah, Paman. Kalau begitu maafkan kami. Seminggu ini dia sibuk sekali mengurus ini dan itu. Nanti akan kupesankan satu undangan atas nama Paman. Bila perlu ajak keluarga paman datang."

"Baiklah, baiklah." Lelaki itu mengangguk antusias. "Titipkan saja undangannya pada calon istrimu."

Maru mengangguk seperti pria lugu.

"Omong-omong, kalian terlihat cocok satu sama lain," Pria paruh baya itu memuji dengan jujur. "Kalau begitu aku harus pergi bekerja sekarang. Aku punya shift pagi."

"Ah, ya." Maru buru-buru bediri siaga dengan kedua tangan ditempelkan di samping tubuh. Kemudian ia membungkuk sembilan puluh derajat. "Selamat bekerja," serunya lantang. Ia membungkuk sekali lagi ketika pria itu sudah berjalan membelakanginya. "Hati-hati di jalan."

Play OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang