10; Second

13K 1.6K 1.2K
                                    

Hai!

Ramadhan + Liburan + Quarantine = paket sempurna untuk update.

Kepalaku mulai panas. Tapi aku harap pembaca bisa tetap dan mau bagi feedbacks ke aku. jangan bosen buat kasih vote dan komentar di tiap line.


__ __ __


Perawakan Enso mirip ayahnya (itupun kalau Eunjo bersedia mengakui). Matanya bulat. Bila tersenyum serupa bulan sabit. Pupilnya secerah perunggu, diwariskan sang ibu. Namun tulang hidung besar-lonjong-tegas dan bentuk wajah Enso justru melengkapi fitur sang ayah.

Semakin Enso dewasa, perasaan lega itu justru tidak Eunjo temukan. Seiring waktu Enso semakin tumbuh mirip pria itu. Tidak ada yang salah dari Enso. Anak laki-laki itu meneruskan kemampuan akademik ibunya.

Enso menyukai sains sejak balita. Nilai matematikanya selalu diperingkat pertama. Namun, kemampuan nonakademiknya tak jauh berbeda dengan si ayah. Maka setiap kali melihat Enso, ada waktu dalam satu detik ia teringat Neru. Mereka sama-sama suka sepak bola.

Neru adalah ketua tim sepak bola saat di sekolah. Begitu pun Enso yang memiliki tekad bergabung dalam tim nasional Korea. Awalnya Eunjo berharap Enso mengambil kegiatan mengembangkan bakat di bidang lain.

Walaupun mahal, Eunjo bersedia membayar les piano, atau les lainnya asal jangan sepak bola. Hanya agar bisa membuang sosok Neru dari hidup mereka.

Tetapi sampai sekarang pun, Eunjo masih belajar menekan dirinya agar tidak egois pada Enso.

Dan sayangnya, Eunjo lebih memilih tak mengatakan kebenaran. Ia berjuang menyembunyikan rahasia ini dari Enso bertahun-tahun lamanya. Lambat laun ia juga mulai terbiasa menjalani kehidupan mereka berdua serta membuang sosok pria yang menghancurkannya.

"Paman Theo rindu masakan Mama."

"Sungguh?"

Sekarang Minggu pagi. Eunjo turun ke dapur lebih awal untuk membuatkan Maru sarapan. Terakhir dihubungi, pria itu sedang dalam perjalanan.

Bukannya Eunjo mulai luluh, dia cuma sekedar membalas kebaikan kemarin.

"Paman Theo juga memuji kimchi jjigae buatan Mama katanya melekat di kepala."

Eunjo tersipu malu membayangkan bagaimana ekspresi Theo saat menyanjungnya. "Dia bilang begitu?"

"Eoh," seru Enso sumringah. "Biar kutebak, pasti sekarang muka Mama merah padam."

"Jangan bicara sembarang."

"Suara Mama yang bilang. Diam-diam aku juga memperhatikan Mama kalau kalian bicara berdua. Aku dan Isey tak masalah kalian pacaran."

Eunjo tersenyum menggeleng-geleng seraya mengisi air ke panci. Isey adalah putra Theo satu-satunya sekaligus teman dekat putranya sejak kelas dua sekolah dasar. Enso banyak cerita mengajari Isey bermain bola.

"Jangan menggoda Mama."

Enso tertawa pelan. "Mama cocok dengan paman Theo. Kalian sama-sama sendiri. Sangat cocok."

"Hei, kami sama-sama punya kalian. Mama punya Enso begitupun paman Theo memiliki Isey. Kami jelas tidak sendiri."

Enso menolak pemikiran itu. "Tetapi paman Theo bilang padaku tertarik pada Mama dan akan membicarakan sesuatu kalau waktunya pas."

Jantung Eunjo kembali berdebar-debar mendengar serentetan kalimat Enso. "Di Korea memasuki jam tujuh pagi, bukankah artinya tengah malam di sana? Kau menguhubungi ibumu untuk ini dan bukannya tidur, Shin Enso?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Play OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang