2 Menerima Firnas

10.3K 712 32
                                    

Bismillah

Segera setelah Firnas menghilang, Shabrina melangkah lebar, memasuki kamarnya. Dengan wajah letih dia menutup pintu kamarnya, lalu menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Lelah dan moodnya hancur! Benaknya masih berputar pada lamaran Firnas tadi. Badai apa yang membuat lelaki itu melamar Shabrina?! Entahlah, Shabrina juga pusing memikirkannya.

Gadis itu berbaring tanpa melepas seragam mengajarnya, mengerjapkan mata dan mengulas lagi pertemuan kakunya dengan Firnas. Lelaki itu tak pernah sekali pun menyapanya dengan ramah, tidak seperti orangtua lainnya. Firnas hanya menjawab salam, meliriknya sekilas dan mengajak Hisham dan Amr pergi.

Shabrina mendengkus sebal. Perlahan matanya mulai berat, dan dia pun tertidur saking kesal dan lelahnya diterpa kejadian mengejutkan di hari itu.

"Brin, ... bangun. Udah duhuran belum?" Shabrina membuka matanya yang masih berat. Bulik berdiri di samping tempat tidurnya, menepuk-nepuk bahunya.

"Belum, Bulik, Brina ketiduran." Shabrina mengerjapkan mata, mengumpulkan kesadaran sebelum akhirnya beranjak dan berwudhu.

"Brin, gimana?" tanya Bulik. Perempuan itu tersenyum-senyum, memandangi Shabrina yang sedang makan bersama Hayu -sepupunya, anak Paklik yang nomer dua-. Shabrina melirik Buliknya, berusaha memahami apa maksud pertanyaan Buliknya.

"Apanya, Bulik?"

"Ya Pak Firnas lah, Nduk, kamu ini gimana to? Kalo masalah cinta-cintaan kok lola," kekeh Bulik. Perempuan itu menatap Brina dengan sinar mata hangat.

"Mmmm ... kalo ... Brina nggak mau gimana, Bulik?" ragu Brina, matanya memandang Bulik takut-takut.

"Ya kalo nggak mau, nggak apa-apa to, Nduk. Tapi orangnya ganteng loh, kalo senyum masya Allah, pasti bikin cewek-cewek klepek-klepek. Masak kamu engga to, Brin? Bulik terkekeh lagi.

"Tapi dia duda, Bulik. Anaknya juga sudah dua, dan ... umurnya berapa Brina juga nggak tau, bisa jadi udah tuwir." Brina menghindari tatapan Bulik, mulai menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.

Hayu yang duduk di sebelahnya mulai mengikik, karena ekspresi Shabrina yang terlihat lucu ketika menolak. Mau tak mau Bulik ikut mengikik, terbayang reaksi Shabrina ketika mengantar Firnas pulang tadi siang.

"Kalo Bulik tebak sih umurnya sekitar 35-40, Brin. Tapi kan masih gagah."

"Kok rentangnya jauh amat, Bulik? Kok nggak 35-36 gitu?" Shabrina menautkan alis, sekarang dia sedikit bergidik. Tak sanggup membayangkan akan menikahi seseorang dengan jarak usia yang cukup jauh dengannya.

"Ya nggak taulah, Brin, tapi kan masih cocok sama kamu. Ganteng loh orangnya. Tinggi besar gagah, kaya yang jadi Sayyidina Umar bin Khattab di filem itu loh, nduk," lanjut Bulik lagi, senyum masih menghiasi bibir perempuan 50 tahun itu.

Uhuk uhuk

Shabrina tiba-tiba terbatuk mendengar kata-kata Buliknya. Tangannya dengan sigap meraih gelas air di depannya, sekarang dia khawatir dengan Bulik. Perempuan yang sudah mengasuhnya ini, terlihat sekali mendukung Firnas. Memang tidak salah apa yang dibilang Bulik. Firnas ganteng dan gagah, tapi Shabrina sudah punya pilihan sendiri.

Lagipula bagaimana kelak nasibnya jika menikahi duda beranak dua. Bukannya Shabrina tidak suka anak-anak atau alergi pada perbedaan status, tapi impian setiap gadis rata-rata menikah dengan perjaka. Masih bisa pacaran setelah menikah, dan bermesraan tanpa direpotkan dengan tingkah anak-anak.

Bukan berarti Shabrina tidak suka anak-anak, hanya saja selama ini dia sudah menjaga diri dari pacaran. Rasanya wajar jika setelah menikah dia ingin merasakan yang namanya pacaran halal dengan suami. Tapi, keinginan manusia belum tentu baik menurut Allah. Seperti keinginan Shabrina untuk menjadi istri seseorang yang diam-diam sejak lama disukai dan disebut dalam doa-doanya.

Menikahi Firnas (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang