7. Merindukan Dia (Republished)

7.1K 582 22
                                    

Bismillah,

Pagi itu terasa canggung, karena Firnas masih diam. Sedangkan Shabrina masih diliputi perasaan bersalah. Semalam dia sulit tidur karena merasa tidak bisa memahami banyak hal dalam hidup barunya. Belum lagi ada perasaan kalau dia tidak penting untuk Firnas, dan merasa keberadaannya diabaikan. Mata Shabrina sembab. Dia banyak menangis.

Ummi merasa ada yang tidak beres melihat Shabrina yang sepertinya murung. Sedangkan Firnas beberapa kali menghindari bertatapan dengan Shabrina.

"Kamu sakit, Brin?" tanya Ummi akhirnya

"Eh nggak kok, Ummi, cuma kurang tidur aja," jawab Shabrina sambil menghindari pandangan menyelidik Ummi.

Ummi masih belum puas. Dia mendekati Shabrina yang sekarang menuangkan jus untuk bekal Hisham dan Amr. Disentuhnya bahu Shabrina, gadis itu mau tak mau menoleh. "Suamimu mau ke Jakarta katanya, kamu ikut nganter ke bandara, kan?!"

Shabrina bingung harus menjawab apa. Matanya tertuju pada Firnas yang sedang menikmati kopi di ruang makan. Shabrina yakin suaminya mendengar pertanyaan Ummi, tapi lelaki itu bersikap datar saja.

"Saya kayanya nggak bisa, Um, hari ini ngajar," gagap Shabrina. Dia kecewa dengan sikap Firnas yang terlihat abai.

"Apa nggak bisa ijin sebentar, Brin?"

Shabrina dilanda bingung, dia tidak tahu harus menjawab apa. Akhirnya dia hanya menggeleng dan tersenyum kaku. Ummi menatapnya dengan curiga, perempuan 60 tahun itu yakin Firnas dan Shabrina sedang ada masalah.

"Ya sudah kalo nggak bisa ijin nggak papa. Biar Ummi sama Ayah yang nganter Firnas ke bandara," kata Ummi akhirnya.

"Jiddah, Hisham sama Amr mau ikut nganter Ayah ke bandara, Boleh ya?" Hisham mendekati Ummi yang sedang merapikan bekas sarapan.

Ummi melirik Shabrina, dia tiba-tiba mendapat ide untuk membujuk Shabrina. "Boleh, gimana kalo kita ajak Mama Brina juga?" saran Ummi sambil melirik Shabrina.

Firnas langsung menatap Shabrina, yang juga sedang menatapnya. Keduanya sama-sama tidak menduga kalau Ummi akan melontarkan ide itu. Detik berikutnya, Hisham dan Amr mendekati Shabrina, merayu gadis itu untuk ikut mengantar. Dengan berat hati Shabrina akhirnya mengangguk.

Tak lama mereka berenam sudah meluncur di jalanan yang mulai ramai. Mobil itu masih hening, karena 6 orang penumpangnya seakan-akan kompak untuk diam. Shabrina diam, Firnas pun juga begitu. Sedangkan Ummi hanya saling melirik dengan Ayah, memberi kode lewat tatapan mata. Mereka paham Shabrina dan Firnas sepertinya sedang ada masalah. Karena itu Ummi duduk di depan mendampingi Ayah. Sedangkan Brina dan Firnas duduk di tengah bersama Hisham dan Amr.

Tiba-tiba Hisham mulai berceloteh, duduk di pangkuan Shabrina dan bertanya ini itu. Amr tidak mau kalah, bahkan bocah itu bertanya dengan gaya orang dewasa tentang Shabrina yang diam saja. Shabrina tersenyum mendengar itu, ternyata kedua bocah itu memperhatikannya.

"Pesawatmu berangkat jam berapa, Nas?" Ayah bertanya sambil melirik Firnas dari spion tengah.

"Jam 9.45 Yah. Check in maksimal jam 9.15," jawab Firnas.

"Kamu pergi sama siapa aja?" lanjut Ayah.

"Sama orang kantor, Yah, bertiga. Pak Yoni dan Anita."

"Oh gitu, trus di Jakarta nginep di mana?" tanya Ayah, matanya mengedip pada Ummi.

"Di Hotel Century, Yah, kamis Firnas sudah balik kok. Tapi pesawatnya turun di Surabaya. Soalnya dapet tiket yang jam 5 sore. "

"Oh gitu, jangan lupa ngabarin Ayah sama Ummi. Kabarin istrimu juga," kata Ayah akhirnya. Lelaki 65 tahun itu sengaja bertanya macam-macam supaya Shabrina mendengar dan tahu acara Firnas di Jakarta. Ayah yakin Firnas belum memberitahu Shabrina tentang pekerjaannya di Jakarta.

Menikahi Firnas (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang